Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Topi Terbalik dalam Definisi Etika Moral Publik

30 November 2019   11:47 Diperbarui: 30 November 2019   12:08 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Topi terbalik gaya para artis | Sumber gambar : cewekbanget.grid.id

Sebuah peristiwa "unik" terjadi baru-baru ini, yaitu ketika salah seorang anggota polisi mendorong warga karena memakai topinya secara terbalik. Warga tersebut dianggap berlaku tidak sopan saat "berkunjung" ke kantor polisi sehingga membuat salah seorang petugas yang berjaga disana tersinggung.

Kronologi singkatnya, ada dua orang warga yang diduga berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) "berkunjung" ke kantor polisi dan diminta untuk meninggalkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di pos penjagaan sebagaimana prosedur kunjungan yang berlaku. Akan tetapi, salah seorang dari warga itu justru berlaku tidak sopan dengan melemparkan KTP miliknya pada kotak yang disediakan. 

Yang lebih membuat petugas polisi jengkel adalah setelah melemparkan KTP-nya ke kotak pos penjagaan, warga tersebut kemudian beraksi membalikkan topi yang dipakainya. Geram dengan tindakan ini, seorang anggota polisi bernama Aipda Wigi yang kala itu tengah berjaga mendorong tubuh warga tersebut sebagai bentuk peringatan agar sang warga tidak berbuat demikian.

Peristiwa ini sebenarnya sudah diselesaikan secara kekeluargaan antara pihak kepolisian dan juga warga anggota LSM tersebut. Seorang warga tadi meminta maaf dan mengaku salah karena dirinya telah berlaku kurang sopan waktu itu.  

Yang paling menarik dari peristiwa ini sebenarnya bukan pada kasus dorongan polisi kepada warga. Akan tetapi lebih kepada alasan dibalik adanya aksi "pendorongan" itu. Menaruh KTP dengan cara dilemparkan memang sudah cukup dianggap tidak sopan. Apalagi ketika hal itu dilakukan dihadapan petugas yang mempersilahkan dengan cara baik-baik.

Akan tetapi bagaimana dengan membalikkan topi? Dalam peristiwa ini, Aipda Wigi menilai bahwa membalikkan topi adalah tindakan yang tidak sopan. Apakah kita sepakat dngan hal ini? Dalam beberapa situasi mungkin kita seringkali menjumpai pemuda-pemuda di kampung atau di kota-kota besar yang memakai topinya secara terbalik.

Dalam kultur masyarakat kita, khususnya yang memandang etika moral dan kesopanan, orang-orang yang mengenakan topi terbalik dinilai sebagai manusia urakan dan bersikap tidak sopan. Coba kita bayangkan, ketika ada seorang murid sekolahan menggunakan topinya terbalik kemudian ia datang menghadap guru Bimbingan Konseling (BK), maka apa yang selanjutnya terjadi?

Bisa-bisa sang murid tadi dimarahi habis-habisan atau bahkan mendapatkan hukuman dari sang guru. Anggapan tidak sopan, bengal, nakal, atau apapun sebutannya memang cukup sering diidentikkan terhadap perilaku seseorang yang memakai topinya secara terbalik.

Situasi berbeda 180 derajat ketika kita menyaksikan para publik figur atau pesohor terkenal yang menggunakan topinya secara terbalik. Bahkan ketika para pesohor itu menghadap seorang presiden sekalipun dengan topi terbalik hal itu bisa jadi masih dianggap keren.

Seandainya pesohor terkenal seperti Cristiano Ronaldo mengenakan topi terbalik ketika bersua Presiden Jokowi, maka hal itu mungkin dianggap biasa-biasa saja oleh publik. Selain itu, dalam beberapa acara bertema bebas dan eksplorasi kreativitas, orang-orang dengan dandanan topi terbalik barangkali malah dianggap biasa atau justru keren secara busana.

Lalu dimana letak permasalahan dari topi terbalik sehingga dianggap sebagai tindakan yang tidak sopan dalam suatu kondisi tetapi pada kesempatan yang lain dinilai sebaliknya?

Dalam hal ini masalah utamanya adalah konteks. Seseorang mesti tahu kapan waktu dan dimana tempat ia bersikap. Dalam ranah formal dan penuh nuansa keseriusan, "aksi" sederhana membalikkan topi bisa jadi dianggap sebagai tindakan yang menodai rasa hormat. Sedangkan dalam suasana yang lebih friendly aksi tersebut akan dianggap wajar-wajar saja.

Lalu bagaimana jika ada seseorang yang baru pulang dari "happy-happy" dengan komunitasnya lantas menghadiri suatu tempat atau bertemu seseorang yang "bernuansa" serius tadi? Dalam hal ini penilaian yang muncul akan dipengarungi oleh perspektif masing-masing orang. Misalnya, kita punya seorang rekan yang baru datang dari luar kota dengan gaya busana santai dan topi terbalik.

Rekan kita itu ternyata bernasib sial karena dompetnya dicopet orang sehingga mendorongnya untuk lapor ke polisi. Masih dengan busana topi terbalik, rekan kita tadi bertemu petugas dan membuat laporan kehilangan. Apakah rekan kita itu layak disebut berlaku tidak sopan?

Pada prinsipnya setiap orang harus memahami konteks dimana ia bersikap dan berperilaku. Filosofi dimana bumi diinjak disitu langit dijunjung jangan sampai kita lupakan. Mungkin dalam beberapa hal tertentu ketika ada aspek yang lebih penting untuk diperhatikan, bisa jadi sisi etika tadi dikorbankan.

Kepekaan diri kita sangat diperlukan disini. Setiap orang harus memahami posisinya dan mengerti akan perbuatannya. Barangkali kita memang masih harus belajar dan memperkaya wawasan perihal etika dan moralitas ini. Bisa jadi dengan "kemodernan" yang terjadi saat ini kita justru berlaku sebaliknya.

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun