Dalam hal ini masalah utamanya adalah konteks. Seseorang mesti tahu kapan waktu dan dimana tempat ia bersikap. Dalam ranah formal dan penuh nuansa keseriusan, "aksi" sederhana membalikkan topi bisa jadi dianggap sebagai tindakan yang menodai rasa hormat. Sedangkan dalam suasana yang lebih friendly aksi tersebut akan dianggap wajar-wajar saja.
Lalu bagaimana jika ada seseorang yang baru pulang dari "happy-happy" dengan komunitasnya lantas menghadiri suatu tempat atau bertemu seseorang yang "bernuansa" serius tadi? Dalam hal ini penilaian yang muncul akan dipengarungi oleh perspektif masing-masing orang. Misalnya, kita punya seorang rekan yang baru datang dari luar kota dengan gaya busana santai dan topi terbalik.
Rekan kita itu ternyata bernasib sial karena dompetnya dicopet orang sehingga mendorongnya untuk lapor ke polisi. Masih dengan busana topi terbalik, rekan kita tadi bertemu petugas dan membuat laporan kehilangan. Apakah rekan kita itu layak disebut berlaku tidak sopan?
Pada prinsipnya setiap orang harus memahami konteks dimana ia bersikap dan berperilaku. Filosofi dimana bumi diinjak disitu langit dijunjung jangan sampai kita lupakan. Mungkin dalam beberapa hal tertentu ketika ada aspek yang lebih penting untuk diperhatikan, bisa jadi sisi etika tadi dikorbankan.
Kepekaan diri kita sangat diperlukan disini. Setiap orang harus memahami posisinya dan mengerti akan perbuatannya. Barangkali kita memang masih harus belajar dan memperkaya wawasan perihal etika dan moralitas ini. Bisa jadi dengan "kemodernan" yang terjadi saat ini kita justru berlaku sebaliknya.
Salam hangat,
Agil S Habib