Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kado untuk Kapolri Baru dan Hegemoni Maskulinitas di Balik Aksi Bom Medan

14 November 2019   14:29 Diperbarui: 14 November 2019   14:33 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokasi ledakan bom di Polrestabes Medan | Sumber gambar : newsmaker.tribunnews.com

Bangsa Indonesia kembali dikejutkan oleh sebuah ledakan bom bunuh diri yang terjadi di Polrestabes Medan kemarin (13/11). Peristiwa ini cukup mengagetkan banyak pihak, termasuk juga pihak kepolisian. Peristiwa ledakan yang sungguh tidak disangka-sangka terjadinya. Biasanya, seringkali mucul selentingan terkait pengalihan isu setiap kali terjadi aksi peledakan. Namun menilik beberapa kejadian yang terjadi belakangan sepertinya dugaan perihal pengalihan isu ini cukup kecil.

Belakangan ini bisa dibilang tidak ada peristiwa besar atau kontroversial yang melibatkan pemerintah ataupun lembaga tinggi negara lainnya. Kalaupun ada yang tengah hangat diperbincangkan hal itu mungkin terkait wacana penghapusan IMB dan Amdal, Ahok yang rencananya diangkat menjadi petinggi BUMN, penambahan wakil menteri (Wamen), atau kontroversi anggaran Pemerintah DKI Jakarta. Jadi besar kemungkinan bahwa  teror bom bunuh diri yang terjadi kemarin itu adalah wujud nyata dari radikalisme.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah beberapa kali menyebutkan bahwa pemerintahannya akan menumpas segala bentuk paham radikal. Sikap itu pun sudah ditunjukkan beberapa diantaranya yaitu melalui pemilihan menteri agama berlatar belakang militer, kemudian wacana pelarangan cadar yang disampaikan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi, dan lain sebagainya. Entah ada kaitan atau tidak antara pernyataan sikap pemerintah yang memproklamirkan "perang" terhadap radikalisme dengan ledakan bom yang terjadi di Polrestabes Medan.

Namun yang bisa kita lihat disini bahwa bom bunuh diri di Polrestabes Medan tersebut adalah aksi bom bunuh diri pertama pada periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi. Kabinet Indonesia Maju (KIM) juga belum terlalu lama dilantik oleh presiden. Kalau menurut Ali Fauzi, adik kandung dari terpidana mati bom bali Amrozi, pelaku ledakan bom di Polrestabes Medan itu memiliki afiliasi dengan Jamaah Ansharut Tauhid atau JAD. Adapun motif peledakan adalah para pelaku teror ingin memberi "kado" untuk Kapolri baru, Jenderal Idham Aziz.

Masih menurut Ali Fauzi, pelaku peledakan adalah pendatang baru yang masih belum terlalu paham teknik dan strategi. Hanya sebatas berani. Aksi peledakan di Polrestabes Medan ini oleh Ali Fauzi juga disebut sebagai aksi yang gagal. Bom meledak sebelum waktunya. Terlepas ledakan bom yang terjadi kemarin dicap sebagai aksi yang gagal atau tidak, Bangsa Indonesia kembali mendapati alarm bahaya berbunyi nyaring di negeri ini. Beberapa orang polisi termasuk warga sipil harus terluka akibat efek ledakan ini.

Yang harus kita tanyakan saat ini adalah, mengapa sampai terjadi lagi aksi peledakan bom? Apakah intelegen tidak mampu mendeteksi hal ini? Bahkan dikatakan bahwa pelaku bom bunuh diri ini berhasil melewati pos pemeriksaan. Jikalau lokasi selevel Polrestabes saja mampu dilewati teroris, lalu bagaimana dengan lokasi-lokasi yang lain? Saat ini pasti semua markas polisi diperketat pengawasannya, tapi apakah langkah itu tepat untuk dilakukan? Kita seringkali baru merasa terancam ketika aksi teror sudah terlanjur terjadi.

Aksi peledakan ini bisa jadi merupakan bentuk tantangan langsung pelaku teror kepada pemerintah atau dalam hal ini jajaran kepolisian dengan pemimpin barunya. Mampukah korps berbaju coklat ini memberantas para pelaku teror tersebut? Hanya saja yang harus diperhatikan adalah jangan sampai pemerintah justru menjustifikasi bahwa terorisme ini disebabkan oleh "hasutan" agama tertentu. Kejadian seperti ini sudah berulang kali terjadi dan sepertinya kita masih belum benar-benar belajar dari semua peristiwa itu.

Penyebab Terorisme

Tugas berat sudah menanti pemerintah untuk menanggulangi serta mencegah agar aksi-aksi serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari. Dengan adanya aksi ledakan bom ini mungkin akan kembali muncul anggapan bahwa faktor agama yang menjadi penyebab. Memahami agama terlalu ektrim dan menganggap beberapa pihak sebagai toghut sehingga hal itu menjadi pembenaran untuk dilakukannya aksi teror peledakan bom. Bisa jadi hal inilah yang membuat banyak pihak berpandangan bahwa radikalisme dipengaruhi oleh pemahaman terhadap agama.

Namun, sebuah desertasi berjudul "The Indonesian Foreign Fighters, Hegemonic Masculinity and Globalisation" yang dibuat oleh Noor Huda Ismail di Monash University, Australia, memberikan pandangan yang samasekali berbeda dengan yang dipahami banyak kalangan. Desertasi yang dibuat oleh alumni Pesantren Ngruki, Solo, ini berhasil mendapatkan penilaian "excelent" pada uji doktoralnya. Sehingga penilaian terkait sumber "inspirasi" seseorang menjadi teroris pada desertasi ini sangat patut untuk disimak.

Menurut Noor Huda Ismail, membaca Alqur'an, hadits, hingga buku Osama Bin Laden sekalipun tidak bisa membuat seseorang lantas berubah menjadi teroris. Memang seringkali aksi terorisme menyertakan simbol-simbol agama didalamnya. Namun sebenarnya penyebab utama seseorang menjadi teroris lebih disebabkan oleh proses sosialisasi dari orang-orang sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun