Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hidup Itu Bukan untuk Bergaya, tapi untuk Bermakna

30 September 2019   07:29 Diperbarui: 1 Oktober 2019   09:29 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidup Bermakna, Bukan Bergaya | Ilustrasi gambar : possibilitychange.com

Ada cukup banyak orang diluar sana yang mengeluhkan kondisi kehidupannya, terutama yang berkaitan dengan faktor ekonomi. Ada yang mengeluhkan mahal-mahalnya harga bahan kebutuhan, ada yang mengeluhkan nominal penghasilan kecil, dan lain sebagainya. 

Pada akhirnya tidak sedikit dari kita yang beranggapan bahwa hidup itu mahal karena semuanya serba harus membayar untuk memenuhi setiap kebutuhan yang ada.

Pernyataan bahwa hidup itu mahal sudah bukan sesuatu yang asing lagi di masyarakat kita. Namun apakah memang pernyataan ini benar adanya? 

Apabila kita menarik ke belakang terkait esensi dari keberadaan kita di dunia ini, hal itu tidak lain hanyalah untuk beribadah dan mengabdi kepada Sang Pencipta. Ibadah itu bisa berupa aktivitas ritual keagamaan, bisa dalam hal berbagi kepada sesama, serta bisa dalam wujud sikap kita terhadap kehidupan ini. 

Kesabaran kita saat menghadapi ujian, ketabahan kita saat menerima cobaan, adalah bagian dari perwujudan ibadah itu sendiri. Dan untuk hal ini bisa dikatakan kita tidak harus mengeluarkan bayaran sepeserpun, alias gratis.

Jikalau yang beranggapan bahwa hidup mahal adalah mereka dengan kondisi ekonomi serba kekurangan maka barangkali pernyataan tersebut lebih "mendekati" kebenaran. 

Hanya saja pernyataan terkait hidup itu mahal juga banyak diutarakan oleh orang-orang dengan kelas ekonomi yang mencukupi untuk menyantap makanan lebih dari tiga kali sehari dan setiap harinya menu hidangannya berganti-ganti. 

Disatu sisi ada orang yang cukup bahagia dan bersyukur bisa menikmati hidangan nasi putih berlauk ikan asin atau tahu tempe. Tetapi disi lain ada juga orang-orang yang meski bersantap dengan lauk telor atau ayam pun tetap beranggapan bahwa hidup itu mahal. 

Apabila ukuran mahal tidaknya hidup dilihat dari sisi ekonomi, sayogyanya mereka yang bisa menikmati makanan sehari-hari tidak lagi berkatan bahwa hidup itu mahal. Karena sebenarnya yang mahal bukan biaya untuk hidup, tetapi biaya untuk gaya hidup.

Mereka yang sudah memenuhi kebutuhan dasarnya seperti sandang , pangan, papan beranggapan bahwa hidup mahal karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk merenovasi rumahnya, uangnya terbatas untuk membeli smartphone, atau tidak bisa membeli baju baru meskipun sehelai. 

Lantas yang dilakukan oleh orang-orang itu adalah meminjam uang kesana kemari agar semua hal itu bisa mereka penuhi. Bayarnya nanti setelah punya uang, setelah gaji keluar, setelah suatu barang terjual, dan lain sebagainya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun