Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengancam adalah Bagian dari Cara Memotivasi?

28 September 2019   08:05 Diperbarui: 28 September 2019   08:25 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ancaman bisa memotivasi ? | Ilustrasi gambar : www.galamedianews.com

Pernahkah kalin diancam oleh seseorang? Dalam konteks apapun itu ancaman merupakan sesuatu yang sangat tidak nyaman untuk kita rasakan. Diancam oleh ibu kontrakan akan diusir karena belum bayar uang ngontrak, diancam pecat oleh bos karena melakukan kesalahan kerja, diancam akan dilaporkan kepolisi karena tidak bisa membayar hutang, dan lain sebagainya. 

Dalam skala ancaman yang tidak sampai menyakiti secara fisik, atau sebatas ancaman yang hanya memunculkan kekhawatiran batin saja, hal itu tetap saja menciptakan kondisi yang tidak mengenakkan. 

Resah, gelisah, khawatir, depresi, dan lain sebagainya barangkali akan dirasakan oleh sebagian orang yang mendapatkan ancaman dari orang lain. Namun tidak jarang ada juga orang-orang yang justru ketika mendapatkan ancaman malah semakin "termotivasi" melawan ancaman itu.

Seseorang yang terbelit hutang mendapatkan ancaman dari debt collector akan disita seluruh harta bendanya apabila tidak segera melunasi semua hutangnya dalam jangka waktu tertentu. 

Ancaman ini justru membuatnya bekerja lebih keras dari biasanya, mencari setiap peluang mendapatkan penghasilan lain, dan lain sebagainya. Ancaman yang diterima seseorang pada suatu saat akan "menyerang" otak "zona nyaman" manusia, yaitu otak reptil yang menjadi sumber resistensi. 

Resistensi membuat seseorang baru benar-benar bergerak saat ia berada dalam situasi kepepet. Dengan kata lain, salah satu stimulus untuk "membangkitkan" the power of kepepet adalah melalui pemberian suatu ancaman.

Hanya saja hal ini tidak selalu bisa berlaku efektif pada setiap orang. Pada beberapa orang mungkin pemberian ancaman akan berdampak positif, akan tetapi belum tentu bagi sebagian yang lain. Hal ini secara pribadi pernah saya alami saat masih berada di bangku sekolah dulu. 

Yaitu ketika guru mata pelajaran matematika "mengancam" saya tidak boleh mengikuti pelajarannya seiring ketidakhadiran saya pada salah satu jam tambahan belajar. 

Saat itu saya masih cukup "bermasalah" dengan pelajaran matematika karena ada banyak hal yang bisa saya pahami, dan banyak soal-soal yang belum bisa saya kerjakan. 

Momen mendapatkan ancaman dari sang guru itulah yang justru menjadi stimulus bagi diri saya bahwa pelajaran matematika ini harus saya dalami sendiri. Saya harus lebih keras belajar dan membuktikan pada guru itu bahwa saya bisa "menguasai" semua materinya. 

Percaya atau tidak, saat tiba ujian semester hasil tes dari mata pelajaran saya adalah yang tertinggi di kelas. Meskipun ada beberapa orang lagi yang mendapatkan ancaman serupa, namun tidak semuanya merasakan dampak yang sama.

Ancaman bisa bekerja laksana api yang membakar semangat seseorang untuk berjuang lebih keras atau justru menghanguskan semangat seseorang pada saat yang lain. 

Kuncinya bukan terlatak pada ancaman itu, tetapi lebih kepada sikap atau respon yang kita berikan terhadap ancaman yang kita terima. Adakalanya kita butuh "dibangunkan" terlebih dahulu dari kenyamanan yang selama ini meninabobokan kita. 

Sebagian orang mungkin berhasil meyakinkan dirinya sendiri untuk bekerja keras dan berjuang tanpa harus melalui stimulus berupa ancaman. Hal ini karena mereka memiliki kesadaran tinggi serta keyakinan untuk mengejar hal-hal besar di kehidupan mereka.

Semangat atau terpuruknya kita bukan karena orang lain mengancam atau mengelu-elukan nama kita. Semua itu hanyalah sebatas stimulus sementara yang efeknya pun sepenuhnya ditentukan oleh respon dari dalam diri kita sendiri. 

Mau diancam seperti apapun, tetap saja tidak berdampak apa-apa ketika mereka yang diancam hanya bisa pasrah dan menyerah sepenuhnya pada nasib. 

Sama halnya ketika seseorang dimotivasi dengan sesuatu yang positif hasilnya akan nihil ketika dirinya tidak memiliki keyakinan pada dirinya sendiri bahwa ia mampu.

Dalam buku Focus karya Daniel Goleman, motivasi terbaik yang diberikan kepada seseorang hendaknya menyertakan konsekuensi negatif dan konsekuensi positif pada taraf perbandingan 1 : 3 hingga 1 : 11. 

Satu konsekuensi negatif diberikan bersamaan dengan tiga hingga sebelas konsekuensi positif. Artinya saat satu ancaman diberikan, hal itu harus dibarengi dengan "iming-iming" hal positif yang bisa dia terima sebanyak tiga hingga sebelas macam. 

Misalnya, saat seseorang yang mempunya hutang diancam akan diusir dari rumah kontrakannya, hal itu harus dibarengi juga dengan informasi positif seperti jikalau mereka melunasi hutang maka hidupnya lebih tenang, jikalau melunasi hutang ia bisa lebih mudah mengajukan pinjaman lain, jikalau melunasi hutang, maka ia akan dapat bantuan modal saat nanti ingin membangun bisnis, dan sebagainya. 

Pada satu sisi ancaman memang berperan dalam memotivasi seseorang, namun itu juga perlu dibarengi oleh konsekuensi positif lain yang bisa didapatkannya.

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun