Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kepemimpinan "By Pass"

13 September 2019   15:31 Diperbarui: 18 September 2019   17:45 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: vtupulse.com

Dalam suatu organisasi dengan struktur berjenjang, pernahkah kita dihadapkan pada sebuah dilema ketika para atasan kita memiliki kesepahaman yang berbeda dan kemudian salah seorang atasan kita yang lebih tinggi melakukan by pass instruksi kepada kita tanpa melalui atasan langsung diatas kita?.

Kondisi seperti ini bisa saja terjadi karena sang pemimpin tinggi menginginkan rantai informasi dipercepat, sehingga mendorongnya untuk memberikan instruksi langsung. Kemungkinan yang lain terkait adanya instruksi langsung melewati rantai struktur organisasi boleh jadi disebabkan adanya hubungan yang kurang harmonis antar para atasan, terutama atasan yang berbeda tingkat.

Kita bisa ibaratkan kepemimpinan by pass ini seperti Bapak Presiden Joko Widodo memberikan instruksi langsung kepada Direktorat Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan tanpa melalui Menteri Keuangan terlebih dahulu. Apakah hal ini salah? Sebenarnya tidak juga. Namun hal ini berpotensi memunculkan konflik.

Maksud yang diinginkan oleh sang pemimpin dengan memberikan instruksi langsung tentunya didasari oleh kepentingan bersama. Terlebih sebagai pemimpin tinggi di suatu organisasi tidak akan sembarangan dalam menurunkan suatu perintah kepada anggota timnya.

Permasalahan akan muncul disaat instruksi "melangkahi" itu dinilai tidak sesuai oleh sang atasan langsung sang bawahan. Ketika Presiden Jokowi selaku Presiden memberikan instruksi langsung kepada Dirjen Bea dan Cukai, sedangkan instruksi itu ternyata dianggap kurang sesuai oleh Menteri Keuangan, maka sang Dirjen akan merasakan dilema.

Pada satu sisi ia tidak tidak bisa menolak instruksi langsung presiden. Namun pada saat bersamaan saat sang menteri mempertanyakan hal itu ada kemungkinan sang dirjen merasa serba salah.

Beberapa organisasi profit ataupun non profit kadangkala mengalami situasi seperti ini. Siapa yang paling harus dikasihani dalam hal ini? Tentu saja sang dirjen pajak. Ia harus dihimpit dua kepentingan dari atasannya.

Sang dirjen akan berada pada situasi "aman" saat ada kesepahaman yang sama dari para atasannya tersebut. Untuk menghindari hal ini maka penting kiranya agar para pemimpin mempergunakan rantai komando organisasi yang telah disepakati. Harapannya adalah menghindari tumpang tindih perintah dari satu atasan dengan atasan lain yang membuat anak buahnya justru dilema akan harus mengikuti arahan pimpinan yang mana.

Sangat penting bagi para pimpinan sebuah organisasi untuk menjaga harmoni dalam komunikasi. Terlebih para pimpinan yang berada dalam satu garis lurus vertikal organisasi. 

Kepentingan organisasi adalah yang paling dikorbankan tatkala kondisi seperti ini terjadi. Karena perintah yang diberikan berpotensi mengalami tarik ulur dalam eksekusinya. Salah satu pimpinan menghendaki dilakukan perintah tertentu, namu pimpinan lain justru ingin menundanya. Apabila komunikasi para pimpinan terjalin dengan baik, maka halang-menghalangi seperti ini tidak akan terjadi.

Ketegasan sang pemimpin yang lebih tinggi untuk berkomunikasi secara langsung dengan anak buah dibawahnya haruslah dilakukan. Jangan sampai tim eksekutor menjadi bola ping pong yang "dilempar" kesana kemari.

Sangatlah tidak mengenakkan menjadi anak buah dengan atasan tinggi kita memberi instruksi langsung, namun saat instruksi itu kita sampaikan kepada atasan langsung kita, malah justru sang atasan kita menghadap sendiri kepada atasan tinggi karena menilai instruksi itu tidak sepaham dengan dirinya.

Anak buah mana yang tidak jengkel diperlakukan seperti itu? Mengapa atasan langsung kita tidak berani secara langsung mengutarakan pendapat itu kepada atasannya lagi? Lebih menyakitkan lagi apabila atasan langsung kita justru berlepas tangan terhadap dilema perintah yang kita terima tersebut.

Pada akhirnya tidak sedikit anggota organisasi yang pergi meninggalkan komunitasnya karena seringkali mengalami mengalami dilema yang disebabkan oleh para pemimpinnya. Kepempinan by pass berpotensi menciptakan iklim organisasi yang kurang kondusif.

Namun pada saat --saat tertentu dengan kondisi emergency, seorang pemimpin tertinggi bisa turun langsung mengambil alih seluruh rantai komando guna melakukan langkah penyelematan organisasi yang dianggap perlu.

Ketika suasana organisasi dianggap sudah "kronis", mau tidak mau sang pemimpin tertinggi harus memberikan instruksi langsung kepada segenap jajarannya. Ia bisa menginstruksikan langsung bahkan seorang staff lapangan sekalipun tanpa melewati para manager karena begitu mendesaknya kondisi. Akan tetapi tetap saja semua elemen yang terlibat didalamnya perlu diberikan pemahaman terlebih dahulu.

Kunci utamanya adalah membangun sebuah harmoni. Menghilangkah sekat-sekat segan, apalagi dari pemimpin tinggi kepada pemimpin dibawahnya. Sebuah organisasi harus menekankan pentingnya profesionalitas.

Kepemimpinan by pass seringkali melanggar kaidah itu, yang berdampak pada suasana kerja tidak kondusif terutama bagi para anggota yang berada pada rantai komando para pemimpin organisasi. Bagaimana mungkin organisasi akan tumbuh dengan cemerlang apabila orang-orang didalamnya dibelenggu oleh egonya masing-masing?

Salam hangat,
Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun