Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Saat Garam Terasa Pahit bagi Para Petani Garam

11 Juli 2019   15:42 Diperbarui: 11 Juli 2019   15:53 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani garam tengah memanen (Sumber gambar: tribunnews.com)

Petani garam di Indonesia saat ini tengah memasuki musim panen. Namun, bukan seperti layaknya orang yang menyambut dengan gembira tatkala memasuki masa panen, para petani garam di Indonesia justru tengah lunglai dan tertunduk lesu karena harus melihat realitas bahwa harga garam saat ini tengah mengalami keterpurukan yang luar biasa. 

Betapa tidak, harga jual garam yang pada awal masa panen tahun 2018 lalu mencapai Rp 12.000 / Kg kini turun begitu drastis menjadi hanya Rp 300 / Kg. Kerja keras petani yang terus mengupayakan hasil garam mereka sanggup untuk menutupi semua kebutuhan hidup ternyata kini tidak bisa diharapkan lagi. Hal ini tentu menjadi sebuah ironi bagi bangsa kita.

Sejak menjelang akhir masa panen garam di tahun 2018 lalu sebenarnya penurunan harga garam ini sudah terlihat. Dari awalnya sekitar Rp 12.000 / Kg turun drastis menjadi  Rp 1.000/Kg, Rp 800 /Kg, Rp 700 /Kg, Rp 500 /Kg, hingga Rp 300 /Kg. Bahkan tidak menutup kemungkinan harga ini masih akan turun lebih kecil lagi. Sungguh kasihan menyaksikan nasib para petani garam kita. Panen tapi serasa tidak panen. Mirip dengan kejadian beberapa waktu lalu dimana para peternak ayam begitu merugi saat memasuki masa panen. 

Melihat dari dua kondisi ini sepertinya ada benang merah permasalahan terkait manajemen barang-barang komoditas yang beredar di masyarakat. Ketika masa panen yang seharusnya menjadi salah satu momen bahagia para petani/peternak, namun yang terjadi justru sebaliknya, maka itu artinya ada sesuatu yang tidak beres. Apa itu? Hal inilah yang harus kita cari tahu lebih lanjut.

Terkait dengan anjloknya harga garam ini indikasi penyebabnya adalah adanya impor garam yang tidak terkendali. Garam impor yang semestinya hanya diperuntukkan untuk kebutuhan industri ternyata ikut tersebat di pasar umum sehingga stock garam milik petani lokal menjadi tidak laku. 

Selain itu, kuota impor garam juga tergolong besar. Padahal serapan kebutuhan akan garam secara realisasi masih lebih kecil dibandingkan kuota impor yang telah ditetapkan. Keputusan untuk mengkaji ulang kuota garam setiap periode tiga bulan adalah langkah yang tepat untuk mengatasi kesenjangan ini. Diharapkan nantinya proporsi impor garam tidak sampai merugikan petani garam dalam negeri.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, juga mengatakan bahwa pada dasarnya kualitas garam hasil petani Indonesia cukup baik untuk dipakai. Namun masih saja "kalah" bersaing dengan garam impor yang masuk ke Indonesia. Serapan industri terhadap garam petani dalam negeri saat ini masih kurang. Entah itu karena produksi industri yang tengah menurun ataukah memang para industri tersebut mencari harga garam yang jauh lebih murah lagi. Tidak menutup kemungkinan bahwa harga garam impor memiliki harga yang lebih murah dengan kualitas yang lebih baik. Sehingga tidak mengherankan apabila industri banyak berpaling ke garam impor karena "fitrah" mereka adalah senantiasa mencari cost yang lebih rendah.

Garam milik petani sepertinya "beredar" tanpa adanya kawalan atau perlindungan dari pemerintah, sehingga ia tersisihkan oleh garam luar negeri yang bejibun memasuki Indonesia. Ada pepatah yang mengatakan bahwa masakan tanpa garam itu tidak akan sempurna. Asinnya garam membuat hidangan terasa nikmat untuk disantap. 

Namun berbeda kiranya saat garam itu tak lagi asin melainkan pahit. Garam tidak lagi bisa diharapkan untuk menjadi sesuatu yang berharga bagi hidup seseorang. Garam yang dihasilkan dari pengolahan air laut ini semestinya memiliki potensi luar biasa untuk diberdayakan guna mencukupi kebutuhan garam dalam negeri. Lautan kita luas dan kaya. Bukan tidak mungkin kita berswasembada garam suatu hari nanti. Akan tetapi ketika para petani garam hanya merasakan pahit dari garam mereka, bisa jadi pertanian garam akan ditinggalkan. Sebuah kondisi yang tentunya tidak kita harapkan terjadi.

Semoga petani garam ikan kembali bisa menikmati asin nikmatnya garam mereka.

Salam hangat,

Agil S Habib

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun