Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggadaikan Idealisme Demi Eksistensi Diri

31 Januari 2019   07:49 Diperbarui: 31 Januari 2019   07:53 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : milesfilms.net

Nilai-nilai mulia, suara hati nurani, atau norma-norma moral sangat dijunjung tinggi dan dihargai sebagai sebuah pegangan dalam bersikap serta bertindak oleh setiap orang. 

Hal ini menjadi rujukan dalam menyusun prinsip maupun menggagas idealisme masing-masing individu.  Seseorang biasanya dikenal dan terlihat lebih menonjol dibandingkan yang lainnya oleh karena idealisme yang ia miliki. Ia mengemas dirinya secara berbeda dengan sesuatu yang ia yakini kebenarannya, sehingga itu membuatnya lebih istimewa.

Idealisme menjadi dasar berfikir para tokoh-tokoh besar dunia, yang menjadi pioner bagi perubahan suatu komunitas. Di Benua Amerika kita mengenal sosok Che Guevara, di Benua Afrika ada Nelson Mandela, di Benua Asia ada Soekarno, di Benua Eropa ada Napoleon Bonaparte, dan masih banyak lagi yang lain. 

Mereka ada tokoh-tokoh luar biasa yang meyakini idealismenya masing-masing, sehingga hal itu membuat mereka dikagumi oleh begitu banyak orang dan memiliki pengaruh melintasi batas-batas geografis maupun sosiologis. 

Orang-orang hebat ini mungkin tidak pernah bermaksud untuk menonjolkan dirinya dihadapan orang lain, tetapi mereka hanya meyakini idealismenya dan berjuang untuk itu. Namun hal inilah yang tanpa disadari memberikan dampak begitu luar biasa, yang menjadikan mereka tersohor hingga ke berbagai pelosok.

Saat ini, membicarakan tentang idealisme mungkin dianggap naif. Terlebih di era persaingan yang begitu ketat ini dimana banyak anggapan bahwa siapa yang tidak bisa beradaptasi maka akan tergerus oleh yang lainnya. 

Akibatnya, banyak diantara kita yang berfikir serta bersikap pragmatis demi agar keberlangsungan hidup tetap terpelihara. Dalam banyak kasus kita melihat politisi-politisi publik yang dengan begitu mudahnya berpindah haluan, berpindah dari satu partai ke partai yang lain, melompat dari partai eks penguasa ke parta yang kini berkuasa, dengan tujuan agar ia tetap eksis di kancah perpolitikan tanah air. 

Idealisme mereka adalah idealisme "bunglon", yang terus berubah sesuai dengan kondisi lingkungannya. Terlihat cukup ironis ketika kita melihat para politisi kita dengan mudahnya berpindah haluan, berganti-ganti alat politik, dan seolah tidak memiliki rasa malu dengan apa yang dilakukannya itu. 

Seorang politisi pada umumnya mengikrarkan diri untuk menjadi wakil masyarakat, menyampaikan aspirasi rakyat, dan penyambung aspirasi mereka. Permasalahannya adalah ketika para politisi tersebut tidak memiliki idealisme dalam berpolitik, tidak memiliki pegangan yang pasti dalam bertindak, maka suara macam apa yang hendak mereka salurkan dari masyarakat?

Kondisi serupa juga terjadi di bidang lain. Misalnya di dunia musik tanah air. Dalam beberapa tahun terakhir ini kalau kita perhatikan musisi-musisi tanah air begitu banyak sekali yang mengambil genre musik pop dengan lirik utama mereka selalu saja tentang percintaan. 

Hampir sebagian besar band-band populer yang digandrungi selalu membawakan lagu andalan bertemakan percintaan. Entah hal ini disebabkan oleh selera musik generasi kita yang menyukai tentang percintaan ataukah memang musisi-musisi kita merasa dituntut oleh perkembangan zaman agar membawakan musik yang disampaikan oleh musisi kebanyakan agar eksistensi mereka tetap terjaga. 

Dapat kita lihat bahwa musisi-musisi yang begitu mengagungkan idealismenya kebanyakan bekerja secara mandiri (indie). Mereka ingin menyampaikan musik sesuai selera mereka sendiri, jauh dari pragmatisme yang begitu menggoda dengan tawaran eksistensinya. 

Di era yang semakin maju ini entah mengapa seolah-olah idealisme itu terkesan tidak memberi jaminan akan eksistensi. Dalam dunia olahraga seperti sepakbola misalnya, perkembangan dunia modern memberi kita contoh-contoh betapa pragmatisme adalah lebih utama dibandingkan idealisme. 

Dulu tim sepakbola FC Barcelona begitu mensakralkan kostumnya dari tempelan logo sponsor. Baju bagian depan terlihat polos selama puluhan tahun demi label bahwa FC Barcelona mes que un club (lebih dari sekedar klub) tetap murni terjaga. 

Akan tetapi idealisme itu perlahan punah seiring beberapa tahun teakhir sudah mulai melekat tulisan sponsor di kostum bertanding mereka. Mereka melakukan ini dengan harapan mendapatkan guyuran besar dana sponsor dengan salah satu harapannya adalah agar eksistensi klub tetap terjaga. 

Kita semua tahu bahwa sepakbola saat ini merupakan ladang bisnis yang menjanjikan. Ketika olahraga orientasi utamanya adalah uang, maka idealisme yang sebelumnya dianggap sakral sekalipun bisa dengan begitu mudahnya diabaikan.

Kita banyak belajar bahwa idealisme itu tidak mudah dijaga oleh seorang individu atau suatu kelompok, terlebih di tengah era yang di kanan kirinya ada tarik ulur kepentingan, serta kebutuhan untuk tetap menjaga eksistensi.

Eksistensi agar lebih dikenal atau supaya terlihat menonjol, eksistensi untuk tetap menjadi "pemain utama" dalam suatu komunitas, dan eksistensi untuk terus bertahan hidup. 

Pada akhirnya pragmatisme akan menggerus nilai-nilai istimewa yang dimiliki oleh individu atau komunitas. Keunikan yang dimiliki sebelumnya, seiring dengan adanya pragamatisme akan sedikit demi sedikit hilang dan menjadikan kita pribadi biasa seperti halnya yang lain. 

Karakter pribadi  yang hendaknya menjadi value utama dalam menilai justru terabaikan. Tidak ada lagi yang spesial dengan diri kita.  Demi sebuah eksistensi idealisme rela digadaikan.

Apakah idealisme itu tidak penting? Sah-sah saja jika sebagian dari kita menganggapnya demikian. Namun saya ingin coba memberi satu contoh lagi suatu peristiwa dimana seorang wanita itu seharusnya harus memiliki idealisme kuat untuk menjaga kesucian dirinya. 

Saya kira kita sepakat bahwa kesucian wanita harus terus dijaga sampai kapanpun, dan ia hanya akan "menyerahkan" dirinya sepenuhnya kepada suami sahnya kelak. 

Tapi fenomena yang kita perhatikan beberapa waktu lalu terkait prostitusi online yang melibatkan artis hendaknya memberikan kita gambaran bahwa ternyata pragmatisme itu begitu kuat merayu pribadi seseorang. 

Tubuh seorang perempuan yang harus dijaga dengan baik justru dengan begitu mudah "diserahkan" hanya dengan imbal balik uang 80 juta saja. 

Begitu murahnya harga diri seorang wanita. Lebih murah lagi adalah harga dari sebuah idealisme manusia. Dorongan untuk eksis dalam kehidupan sosial sudah membutakan nurani dan menghapus rasa malu dalam diri pribadi seseorang.

Adalah pilihan kita masing-masing untuk menjadi pribadi yang memiliki idealisme atau mengabaikannya. Seharusnya kita bisa menengok kemasa lalu, belajar dari tokoh-tokoh hebat seperti Bung Karno ataupun Nelson Mandela, yang mana mereka bisa menunjukkan eksistensi tanpa harus mengorbankan idealisme pribadi mereka. 

Pada prinsipnya, idealisme dan pragmatisme sama-sama menjanjikan eksistensi diri pelakunya. Akan tetapi, eksistensi diri yang didapat dari suatu idealisme bertahan lebih lama dan abadi dikenang oleh sejarah. 

Sedangkan eksistensi yang diperoleh melalui sebuah pragmatisme hanya akan bertahan sementara saja atau sekadar menjadi euforia sesaat tanpa meninggalkan jejak berharga bagi generasi selanjutnya.

Salam hangat,
Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun