Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Spiritualitas Era Digital

3 Januari 2019   07:33 Diperbarui: 3 Januari 2019   08:55 2213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena teknologi yang semakin mendominasi hampir di setiap lini kehidupan kita merupakan sebuah realitas yang tidak bisa kita hindari. Seiring waktu, kita hidup semakin bergantung pada teknologi. Teknologi sudah sangat memanjakan kita dengan segala macam bentuk pelayanannya. Sedari kita bangun tidur hingga tidur lagi teknologi senantiasa menamani kita. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi ibarat pedang bermata dua, memberikan dampak positif tetapi juga menyimpan efek negatif. 

Sekarang adalah masanya internet. Teknologi informasi menjadi garda terdepan dalam perkembangan teknologi terkini. Para penduduk di kota besar sampai dengan yang berada di pelosok tanah air sudah tidak asing lagi dengan google, facebook, twitter, youtube, instagram, dan sebagainya.  Media sosial adalah santapan rutin sehari-hari yang barangkali sudah masuk sebagai bagian dari kebutuhan hidup. Teori hierarki kebutuhan hidup Abraham Maslow tentang eksistensi diri terlihat di era ini. Eranya generasi milenial, generasi Z, generasi zaman now. 

Kemudahan akses akan segala jenis informasi menjadikan orang-orang yang hidup di masa ini begitu cepat menerima pemberitaan dari dalam maupun luar negeri. Sebuah peristiwa dibelahan bumi lain dalam hitungan detik saja sudah bisa ketahui oleh mereka yang berada di belahan bumi yang lainnya. Terlebih saat ini semuanya dapat dengan mudahnya dilakukan, karena hanya bermodalkan smartphone dan koneksi internet maka serasa dunia sudah berada dalam genggaman. Pemberitaan akan suatu kejadian dapat dilakukan secara up to date.  Secara real time. Kita tidak perlu lagi mendatangi langsung seseorang apabila ingin berbicara sambil menatap wajahnya, teknologi video call serasa menghilangkan jarak  yang membatasi. Bagi mereka yang kurang percaya diri untuk berbicara dengan bertatap muka secara langsung, era ini sangat menjembatani untuk dilakukannya komunikasi secara tidak langsung. Menulis status, memberikan komentar, dan lain sebagainya adalah pola komunikasi yang banyak dilakukan oleh generasi masa kini.  Tentunya hal ini memungkinkan siapapun untuk berbicara dan mengutarakan pendapatnya tanpa ada rasa segan. 

Patut disyukuri bahwa kehadiran era teknologi informasi ini menciptakan iklim kebebasan berpendapat yang luar biasa.  Semua orang bisa berbicara. Akan tetapi, kita harus mewaspadai bahwa dibalik hingar-bingarnya teknologi informasi, semakin mewabahnya internet, dan semakin membudayanya sosial media, ternyata ada sebuah fenomena yang mengkhawatirkan. Sebuah fenomena era teknologi yang menjadi semacam penyakit di era digital ini. Terdapat tiga hal utama yang berpotensi menjadi penyakit sosial bagi segenap masyarakat dunia maya. Penyakit itu adalah bullying, ujaran kebencian, dan hoaks.

Bullying merupakan bentuk ancaman maupun penindasan baik fisik maupun psikologis yang dimaksudkan untuk mengintimidasi seseorang. Pada era digital ini kekerasan psikologis barangkali merupakan satu hal yang seringkali terjadi dikomunitas dunia maya (netizen). Ketika ada seseorang yang dianggap buruk dalam persepsi para netizen maka ia akan diserbu beramai-ramai dengan celaan, kata-kata tidak pantas, intimidasi, ataupun ancaman. Seseorang yang mengunggah sebuah foto "unik" di laman sosial medianya bisa seketinya diolok-olok, dihina, dan dipermalukan. Serangan psikologis ini barangkali bagi sebagian orang tidak berpanguh apapun terhadap pribadi mereka, namun beberapa orang yang terlalu mengambil hati kondisi ini ada yang sampai memutuskan untuk mengucilkan diri dan bahkan ada yang mengakhiri hidupnya. 

Ujaran kebencian pun sama halnya dengan bullying. Sudah menyerang pemikiran sebagian orang yang terhasud oleh informasi negatif didalam dirinya. Derasnya arus informasi sebenarnya tidak boleh dibiarkan begitu saja masuk kedalam pikiran kita. Sebuah survei menyatakan bahwa dari keseluruhan informasi yang masuk kedalam diri kita setiap hari, 30% diantaranya adalah informasi negatif. Bayangkan apa yang terjadi apabila hal ini terakumulasi hari demi hari, bulan berganti bulan, dan menahun. Persepsi buruk, prasangka negatif, dan pemikiran tidak tepat yang ujung-ujungnya membentuk pola pikir negatif didalam diri seseorang. Ujaran kebencian adalah corong provokatif yang bisa menjadi fitnah sangat merugikan. Ia bisa menjadi sarana adu domba, pun pembunuhan karakter seseorang. 

Berita palsu, berita bohong, atau hoaks mungkin adalah penyakit yang sepertinya tidak lebih berbahaya dbandingkan bullying ataupun ujaran kebencian. Tapi justru hoaks adalah akar dari semuanya. Pemberitaan yang disetir dan melenceng dari fakta sebenarnya adalah wujud hoaks yang sangat berbahaya. Seseorang bisa di-bully oleh sebab pemberitaan hoaks yang diarahkan kepada dirinya. Ujaran kebencian bisa dilakukan oleh seseorang oleh karena ia menerima informasi yang salah. Hoaks ini tidak dengan sendirinya muncul. Ia lahir dari kepentingan beberapa pihak yang serakah, yang dengki, yang iri terhadap orang lain di sekitarnya. Hoaks adalah media yang sangat manjur dalam menggiring opini publik untuk menjadi pembangkang, pemberontak, dan pembenci. 

Perkembangan teknologi, khsusnya teknologi informasi akan senantiasa melahirkan efek negatif.  Untuk menanggulanginya apakah dengan cara menghilangkan teknologi dari kehidupan kita? Tentu tidak. Bagaimanapun juga, sebuah era akan senantiasa lahir seiring perubahan zaman. Ia adalah suatu keniscayaan yang terjadinya tidak bisa dielakkan. Cara terbaik bukan menghindarinya, tapi kita harus mempersiapkan dan menjaga diri dari segala bentuk penyakit itu. Kita harus membangun antibodi yang kuat untuk bisa bertahan melalui era digital yang didalamnya menyimpan efek negatif bagi kehidupan.

Kunci untuk menghadapi realitas era digital ini hanyalah dengan spiritualitas. Sebuah mekanisme pertahanan diri yang dibangun berlandaskan nilai-nilai murni ketuhanan. Spiritualitas merupakan energi puncak yang menggerakkan diri seseorang dalam melangkah. Ia adalah sumber motivasi tertinggi yang membuat seseorang rela berkorban dan bergerak demi hal itu. Bahkan dalam buku The Corporate Mystic yang ditulis oleh Gay Hendricks dan Kate Ludeman, berdasarkan penelitian yang mereka lakukan pada pengusaha dan eksekutif perusahaan sukses di Amerika Serikat, mereka menemukan bahwa pada era modern seperti sekarang ini sifat-sifat para mistikus, sufi, atau orang suci justru banyak ditemukan di korporasi-korporasi besar dunia, bukan di tempat-tempat ibadah seperti kuil, wihara, gereja, ataupun masjid. Para eksekutif perusahaan-perusahaan besar tersebut begitu menjaga etika dan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual. Fakta ini menjadi indikasi bahwa dimasa kini dan masa-masa yang akan datang spiritualitas akan menjadi kunci dari capaian keberhasilan seseorang maupun organisasi.

Adapun efek negatif dari perkembangan teknologi informasi sebagaimana uraian sebelumnya, merupakan sebuah efek yang dapat dicegah dan ditanggulangi melalui penerapan spiritualitas dalam diri seseorang. Tatkala seseorang menjunjung tinggi nilai-nilai spiritualitas, maka ia akan menjadi pribadi yang jauh lebih menghormati orang-orang di sekitarnya. Akhlak dan kepribadian seseorang akan terbentuk dengan baik. Sehingga perilaku buruk seperti bullying tidak akan menjadi bagian dari tindakannya. Ia akan menebarkan semangat positif dan memberikan penghargaan terbaik kepada orang lain.

Seseorang yang hidup dengan spiritualitas yang baik didalam dirinya  akan selalu berorientasi untuk menebarkan kebaikan kepada sesama. Menularkan nilai-nilai dan semangat positif kepada sesama. Ia akan melihat segala peristiwa dari sudut pandang yang positif, mengambil hikmah dari setiap peristiwa. Meskipun sebenarnya peristiwa itu bisa jadi merugikan dirinya. Tentu hal ini pada akhirnya tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain yang ada di sekitarnya.

Nilai-nilai spiritualitas yang ditanamkan didalam hati akan menjadi pengarah yang luar biasa bagi seseorang agar selalu melakukan hal-hal baik.  Kebohongan adalah hal yang berada jauh dari kamus orang-orang ini. Pribadi yang hidup dengan spiritualitas sejati didalam dirinya akan menentang hoaks didalam setiap sendi kehidupannya. Bahkan dalam bercandanya pun ada nilai-nilai postif yang bisa diambil pelajaran. 

Bayangkan bagaimana atmosfer yang terjadi didunia maya tatkala para netizen menyadari pentingnya spiritualitas untuk melandasi segala tindak-tanduk dan cara komunikasinya di era digital ini.  Sosial media akan lebih adem ayem. Spiritualitas di era digital ini begitu penting dimiliki seseorang terlebih di tahun politik seperti sekarang ini. Ketika para loyalis begitu mengagungkan tokohnya, dan pandangan sinis hampir selalu menyertai mereka kepada pihak-pihak yang berbeda pandangan, tentu potensi terjangkit wabah bullying, ujaran kebencian, dan hoaks pun akan semakin tinggi. Hal ini hanya bisa diatasi tatkala spiritualitas telah menjadi bagian penting didalam diri seseorang. Spiritualitas tidak hanya ada didalam tempat ibadah saja, melainkan ia juga merasuk dalam setiap sendi-sendi kehidupan seseorang. Dalam tutur kata, perilaku, dan sikap mereka. 

Salam,

Agil S Habib 

    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun