Murid: "Pak besok pakai seragam apa, bawa tas dan buku apa tidak, Pak? (Lain waktu ketika belajar; Soalnya dibuat apa tidak, pak?)"
Guru: "Pertanyaanmu bagus dan pelapalannya lancar."
Murid: "Terima kasih, Pak. Memang saya sejak kelas 1 sampai kelas 6 ini hanya berani bertanya pada guru tentang itu saja."
Guru: "Mental itu yang harus kamu ubah, beranilah bertanya tentang pengetahuan yang belum kamu pahami selama kelas 6 ini, sudah 5 tahun kamu lewatkan tanpa mau bertanya tentang pelajaranmu!"
Murid: "Insyaallah saya usahakan, Pak!"
Guru: "Itu baru murid mental pemenang, tanya-jawab termasuk dasar pengetahuan. Adakalanya pertanyaan itu lebih penting dari jawaban. Kadang orang bisa menilai kita dari mutu pertanyaan kita. Rajinlah bertanya!"
Murid: "Tapi saya malu sama kawan bertanya pelajaran itu, Pak! Takut salah, takut dibilang tak tahu apa-apa oleh teman, dan takut dicemooh."
Guru: "Oh, itu logika keliru. Kita belajar benar dari kesalahan yang pernah kita buat. Tak perlu malu, malulah tak punya ilmu. Orang yang tak punya cukup ilmu 'sesat' dalam banyak hal. Mudah ditipu dan 'dibodohin' orang lain."
Murid: "Lidah saya seolah keluh saat mau bertanya, Pak. Terasa tak pandai menyusun kata-katanya. Makanya saya lebih sering bertanya sama google, Pak!"
Guru: "Caranya, tuliskan pertanyaanmu di secarik kertas, bacakan atau sodorkan pada guru. Boleh saat keluar main. Saat nampak gurumu santai, saat bapak/ibu gurumu urus tanaman juga boleh bertanya. Bertanya sama google bagus, namun kamu harus pandai memilah mana berita benar dan yang palsu."
Murid: "Iya, Pak. Namun, untuk membuat kalimat tanya tertulis saya harus berpikir lama. Saat ada keinginan bertanya saya selalu menunda-nunda tunjuk tangan, Pak."