Mohon tunggu...
Agus Hendri
Agus Hendri Mohon Tunggu... Lainnya - Skill in the muisc, planting, class and beyond

Menyatukan kekuatan budaya daratan/pedalaman & lautan/pesisir, mjdi sebuah kekuatan yg mendasar utk semua kalangan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Menghukum?

11 Februari 2018   23:19 Diperbarui: 12 Februari 2018   07:11 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi pendidik sekolah itu adalah istananya. Di sana Ia sosok pemimpin dan pengayom. Para murid adalah pengabdiannya. Sebagai orang yang berkecimpung di istana pendidikan, setidaknya sekali, pastilah pernah mendengar istilah iklim dan budaya sekolah. Walau demikian, untuk memahami lebih jauh tidaklah kita begitu mau. Padahal esensinya bisa mendukung kemajuan anak didik lebih dinaungi pelangi pengetahuan yang hebat.

Absolutely, Iklim di suatu tempat di bumi dipengaruhi oleh letak geografis dan topografi tempat tersebut. Pengaruh posisi relatif matahari terhadap suatu tempat di bumi menimbulkan musim. Musim kemarau yang tak begitu panjang menghadiahkan kita aneka tanaman yang berbuah ranum. Sebutlah musim durian, musim rambutan, musim manggis dan sebagainya.

Iklim dan budaya sekolah yang baik adalah kondisi di mana, baik guru maupun tenaga pendidikan lainnya termasuk para penunggu kantin sekalipun sama-sama tahu dan kompak mendorong tumbuhnya nilai-nilai positif sehingga menghasilkan kehidupan yang produktif dan memuaskan segala pihak.

Kepala sekolah mengkondisikan kemudahan segala aspek di istana guru. Guru mengajar, mendidik dan menilai. Penjaga sekolah ikut mendidik hidup rapi dan bersih. Pelayan kantin mendidik melayani pembeli dan berdoa sebelum makan. Semuanya terlibat mengkondisikan, berkontribusi, peduli, dan menjadi  warga sekolah yang satu tujuan, yaitu lulusan yang punya daya saing.

Secara sederhana dapat kami umpamakan, Iklim sekolah seperti saat kita berbicara kepada murid saat orang tua mereka ada dekat sang anak. Kita pasti berbicara baik-baik dan penuh kehati-hatian. Tak mungkin kita membentak atau menjewer murid di depan orang tuanya. Sikap itulah yang kita pertahankan sehari-hari sehingga menjadi iklim yang baik bagi kemajuan belajar murid. Belajar di sini maksudnya perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Bisa cara belajarnya, sikapnya, dan daya juang lainnya.

Saat upacara bendera pembina selalu menilai kinerja murid-murid yang bertindak sebagai petugas upacara bendera. Awalnya petugas menilai bagus secara keseluruhan, namun kemudian berlanjut menyebut kekurangan anak yang salah dan silaf saat melakukan tugasnya.

Menyebut kekurangan anak saat melaksanakan tugas membuat anak terpojok perasaannya di depan anak-anak lainnya. Nah, saat itu kita telah membuat iklim yang menakutkan bagi petugas berikutnya karena kalau salah, kesalahan kita akan disebut dikhalayak murid. Jika sudah menjadi kebiasaan pembina mengorek setiap kesalahan petugas upacara, berarti kritik itu sudah menjadi budaya sekolah. "Young people need models, not critics." Ungkap John Wooden.

Dengan demikian budaya sekolah yang baik adalah adalah ibarat kita berbicara kepada anak saat tidak ada seorangpun di sekitar kita, kecuali kita dan anak. 4 mata. Saling terbuka, tidak tertutup, saling menyadari dan memahami kelebihan dan kekurangan, namun tetap mensupport dan menghormati sang anak.

Bila demikian makna iklim dan budaya sekolah, haruskah hukuman dijadikan senjata agar membuat murid kita belajar? Haruskah kita selalu memperlakukannya di depan khalayak lain? Remember, ada beberapa anak datang ke sekolah dengan rasa lapar, stres, dan trauma. Terutama datang pada akhir pekan pada anak-anak tak bahagia di rumahnya. 

Coba kita renungi lebih lanjut, disaat murid belum bisa membaca, kita mengajarinya, akhirnya bisa. Disaat mereka belum memahami pembagian, penjumlahan, dan pengurangan kita juga mengajarinya. Di saat murid-murid tidak bisa dan tidak tahu atau nilainya buruk, kita selalu bersikap baik terus menerimanya bersama murid lain belajar bersama. Marah atau tidak marah pada akhirnya kita mengajarinya juga, rapor mereka kita tulis, sampai kita nyatakan mereka naik dan lulus.  Lalu buat apa menghukum?

Itulah hebatnya tuntutan pendidik abad 21, selalu menyempatkan diri menasehati dan mengomentari hasil murid mengarah pada iklim positif walau ketika mereka membuat pilihan buruk atau kelakuan yang buruk, hanya konsekuensi yang perlu selalu tak bosan-bosan kita 'ngiangkan' padanya. Kita panggil 4 mata, terpaku saling beri penyadaran, kita beri dan tunjukan konsekuensi atas perilakunya. Sanggupkah kita demikian? Sama-sama kita belajar untuk memulainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun