Mohon tunggu...
Ageng Yudhapratama
Ageng Yudhapratama Mohon Tunggu... Lainnya - Pengangguran profesional

Seorang manusia yang sering sambat mengenai banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengusir Orang-orang Europeanen

17 September 2020   01:52 Diperbarui: 17 September 2020   01:55 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret orang-orang Europeanen (Foto: id.wikipedia.org)

Dari nasionalisasi inilah kelak Indonesia memiliki beragam BUMN. Sedangkan di level akar rumput rakyat Indonesia, Bung Karno membikin kebijakan rasis yang menyasar Warga Negara Indonesia yang berdarah Kaukasian. Bung Karno mengusir para Europeanen "pulang" ke Belanda.

Sebagai catatan, Europeanen sipil yang bertahan di Indonesia dalam kurun 1945-1957 praktis sudah tidak punya privelese lagi. Revolusi Indonesia sudah menghapus keistimewaan status mereka di bidang politik ataupun militer. 

Meski demikian mereka memilih tinggal di negara ini karena bagaimanapun juga inilah tanah kelahiran mereka. Mereka tidak memusuhi negara muda bernama Indonesia. Toh mereka relatif tetap bisa hidup dengan aman dan nyaman. Apalagi ketika Kerajaan Belanda memutuskan mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949. Gejolak revolusi berakhir dan mereka bisa menata hidup kembali.

Namun atas titah agung Bung Karno, seketika itu juga mereka dipaksa menyangkal Indonesia sebagai tanah airnya. Tanah-tanah dan bangunan-bangunan yang dimiliki kaum Europeanen dirampas. 

Toko-toko dan harta benda yang mereka miliki dijarah massa. Kapal-kapal laut disiapkan dalam jumlah besar-besaran. Dalam sekejap mata mereka semua diusir dari Indonesia. Pemerintah Indonesia memaksa mereka melupakan kenangan akan Indonesia dalam kamus hidup mereka.

Hanya segelintir orang yang beruntung yang bisa mendapat kesempatan istimewa mengurus status WNI. Misalnya para rohaniwan/rohaniwati yang sudah lama mengabdi di negeri ini. Namun jelas lebih banyak Europeanen yang tidak memiliki privelege itu. Mereka semua terpaksa meninggalkan Indonesia dengan hati yang hancur. 

Tante Lien termasuk salah satu diantaranya. Dalam lagunya ia mencurahkan perasaan rindunya. Betapa dia sangat merindukan nasi goreng, sambal, dan krupuk. Makanan khas tanah Belanda begitu asing bagi lidahnya. 

Cuaca Belanda yang dinginnya begitu menggigil dan bersalju terasa tidak bersahabat. Dia sangat merasa kehilangan hangatnya nuansa kampung halaman tercintanya di Indonesia. Kampung halaman yang ia cintai tetapi mungkin tak akan dijumpainya lagi.

Dan sejak saat itulah satu golongan anak bangsa kita hilang secara signifikan dari bumi pertiwi. WNI yang bergolongan Europeanen bukanlah orang Belanda. Mereka tidak mengenal tanah Belanda. Mereka lahir dan tumbuh besar di Surabaya, Ambarawa, atau Sukabumi. Nasi putih berlauk sayur lodeh dan sambal pedas adalah pemanja lidah mereka. Cita-cita mereka adalah bisa menua, meninggal, dan kelak dikuburkan di bumi nusantara. 

Namun kaum Europeanen ini harus pergi dan memulai hidup baru sebagai pengungsi. Di negeri antah berantah bernama Belanda. Sehingga kini hanya tersisa golongan Inlanders (pribumi) dan Vreemde Oosterlingen (timur asing) yang masih bisa mencecap nikmatnya hidup di Indonesia sebagai warga negara.

Maka bagi saya, Mandela jauh lebih humanis serta bermartabat dibandingkan Bung Karno. Mandela mampu bersikap dalam menolak rasisme terhadap seluruh anak bangsanya. Tokoh Afrika Selatan ini menghapus apartheid. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun