Tahun 2011 adalah tahun yang aneh. Saya lulus kuliah dengan IPK yang tidak buruk, semangat yang masih menggebu, dan satu tekad yang sederhana: saya ingin kerja. Bukan karena ingin kaya, bukan pula karena sedang ingin terlihat keren di reuni SMA. Tapi karena satu hal: saya ingin punya gaji pertama, dan memberikannya pada ibu saya.
Kata orang, gaji pertama adalah sakral. Entah kenapa, uang yang bahkan belum sempat dipegang hangat-hangat itu terasa seperti medali emas. Dan saya percaya itu. Maka ketika saya mendapat pekerjaan sebagai asisten peneliti dalam proyek riset keliling Papua, saya tidak pikir panjang. Tiket pergi langsung saya ambil, ransel saya kemas, dan hati saya bawa serta.
Papua, Gaji, dan Sepiring Harapan
Saya ingat betul, saat kaki saya menginjak tanah Papua untuk pertama kali, udara terasa sangat berbeda. Ada semacam aroma tanah basah yang jujur dan langit biru yang terlalu jernih untuk saya yang biasa hidup di kota. Saya bukan datang untuk jalan-jalan. Saya datang untuk kerja. Mewawancarai masyarakat, mengumpulkan data, memetakan masalah sosial, dan yang terpenting belajar.
Bekerja di Papua bukan perkara gampang. Jaringan kadang mati, listrik suka ngambek, dan medan kadang membuat lutut goyah. Tapi semua itu entah kenapa terasa ringan. Mungkin karena saya punya tujuan yang selalu saya bawa dalam kepala: saya ingin pulang, dan memberi gaji pertama saya pada ibu.
Saya digaji tidak besar. Namanya juga riset. Tapi jumlahnya tidak penting. Nilai uang itu kalah jauh dibanding perasaan yang menyertainya.
Momen Paling Membanggakan:Â Gaji yang Tak Sepenuhnya Milik Saya
Bulan itu, gaji saya cair. Saya diam-diam cek saldo ATM. Jumlahnya membuat saya tersenyum geli, lumayan untuk ukuran fresh graduate yang baru mencicipi dunia kerja. Tapi saya tahu, uang itu bukan buat saya. Hari itu juga, saya transfer sebagian besar ke rekening ibu saya. Sisanya saya pakai beli oleh-oleh dan sedikit pulsa untuk telepon.
Saya ingat percakapan pendek kami:
"Iki duit apa Nduk?" (Ini uang apa, Nak?) Meski sebenarnya ibu tahu gaji pertamaku beliau tetap bertanya memastikan