Mohon tunggu...
Eko Setiaone
Eko Setiaone Mohon Tunggu... Freelancer - Human-Center Oriented Activism, Participatory Planner, Story Teller, Free man

"Kesalahan besar bangsa ini adalah seringkali melupakan sejarah, dan mengabaikan aspirasi orang-orang kecil. Dunia sudah modern, seharusnya tak menjadi penghalang. Saya memelajari sejarah dan mencari aspirasi dari masyarakat marginal untuk melawan kesembarangan pemerintah/ perusahaan/ pelaku usaha. Dunia tak akan adil jika semua orang menjadi kapitalis"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Popularitas dan Pesan Moral Lagu "Dagang Pindang": Seni Mengeluhkan Hidup ala Orang Pantura

17 September 2020   08:38 Diperbarui: 25 Mei 2021   00:01 1788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lagu Dagang Pindang, Youtube WM Studio Official 2020

Artinya, kurang lebih seperti ini jika diterjemahkan. Kepala sudah ditempel koyo, kekasih suka selingkuh. Berjalan tidak terlihat jalanan, karena gelap jalanan. Sampai hilang nafsu makan, disakiti kekasih. Hati rasanya kecewa dan sengsara.

Jika kita mencermati dengan baik, pesan moral yang ingin disampaikan oleh lagu tersebut. Semuanya bermula dari hubungan cinta kasih, dua insan manusia, yang berada dalam kelompok masyarakat marjinal di Pesisir Pantai Utara (PANTURA). Sebut saja, Tarsinah (perempuan), dan Kang Endang (laki-laki) yang kebetulan berjualan ikan pindang.

Baca juga : Jalur Pantura, Riwayatmu Kini

Kang endang yang cintanya sangat tulus dan besar, mengungkap kan bahwa hidupnya hanya untuk tarsinah. Walau susahnya hidup sekalian, ia rela melakukan apapun hanya untuk Tarsinah, kekasih pujaan hatinya. Ungkapan tersebut diungkapkan pada lirik lagu berikut.

 "Senok Pernah njaluk gelang, sun rela bobok celengan. Rumasa kita wong laka, rela korban jiwa raga. Dilawani dagang pindang, ora isin ora wirang. Tapia pa sing ta terima, lara wirang sing ta rasa."

Kurang lebih artinya demikian, "yang bersangkutan (Tarsinah) pernah meminta gelang, saya rela memecah celengan/ tabungan. Mengingat, saya orang tak berpunya. Saya rela mengorbankan jiwa dan raga. Demi itu, saya rela berjualan ikan pindang/ bandeng, tak peduli malu atau rendah diri. Tetapi apa yang saya dapat, hanya kesakitan akibat cinta yang saya rasakan"

Kesusahan-kesusahan itu, dilantunkan oleh penyanyi , Sultan Trenggono (penyanyi pantura), dengan penghayatan yang luar biasa apik. Expresi yang bagus, dan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat Pantura (Subang- Indramayu- Cirebon- Brebes-  Tegal- Pemalang). 

Belum lagi, lagu ini dicover kembali oleh penyanyi dian anic, makin meyakinkan betul bahwa lagu ini adalah ungkapan "kesusahan hidup masyarakat Pantura hari ini". Fenomena ini juga benar-benar berdampak pada kehidupan nyata. Angka perceraian di daerah "Pantura" diatas, akhir --akhir ini meningkat drastis, kurang lebih 30-50% lonjakan angka perceraian dari tahun sebelumnya. 

Memang, Kesusahan hidup apa saja, yang dirasakan masyarakat Pantura?

Keluhan yang saya dengar, ketika saya jalan jalan, atau berada di lapak yang berasal dari petani dan pelapak di warung bapak. Diantaranya,

Bagi petani dan buruh tani, susahnya menjual hasil panen dengan harga yang layak, terutama untuk komoditas padi beras, kacang-kacangan dan sayuran.  Ditambah mahalnya biaya pupuk, obat hama atau obat-obat lainnya,yang minim subsidi serta sewa lahan yang cukup mahal ditengah pandemi ini, umumnya menjadi keluhan mereka.

Baca juga : Jalingkut Brebes Pantura

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun