Salah satu tujuan penjajahan Belanda datang ke nusantara adalah membeli dan menguasai perdagangan rempah-rempah lansung pada wilayah penghasil rempah-rempah. Diantaranya adalah pala,cengkeh dan nilam. Ternyata sejak zaman dulu semua tanaman tersebut tumbuh subur di daerah Aceh Selatan dan sekitarnya. Sehingga daerah ini terkenal sebagai daerah penghasil pala,cengkeh dan nilam terbesar di Indonesia, selain pulau Buru, Seram di Maluku Utara, Padang di sumatera Barat, Lampung dan Sulawesi Utara.
Akan tetapi di dalam perjalanan sejarahnya, tanaman ini menjadi tanaman yang kurang mendapat perhatian dalam hal tata niaganya. Keberadaan luas dan jumlah tanaman ini pun semakin berkurang. Hal ini  disebabkan oleh hama penyakit maupun kurang optimalnya perhatian pemerintah daerah maupun provinsi. Bahkan ada anggapan bahwa budidaya tanaman tradisional tersebut tidak menguntungkan lagi. Sehigga banyak diantara petani menelantarkan perkebunan mereka dan beralih menanam tanaman lain yang dianggap lebih menguntungkan.
Anjloknya harga minyak atsiri di tingkat petani. Juga merupakan salah satu faktor penyebab tanaman atsiri semakin kurang dibudidayakan. Hal ini tidak terlepas  adanya pengaruh monopoli oleh eksportir dan importir yang mempermainkan harga di tingkat petani. Sehingga harga komoditas tersebut sangat rendah. Padahal kebutuhan akan tanaman tersebut di luar negeri masih sangat besar.
Sebagaimana yang dikutip pada laman Kemenperin bahwa,"Sampai saat ini Indonesia memasok minyak nilam sekitar 90% kebutuhan dunia atau 1600 ton per tahun. Sekitar 40 jenis minyak atsiri dapat dihasilkan dari Indonesia," kata Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Departemen Perindustrian Fauzi Aziz dalam acara seminar  Internasional  minyak atsiri, Senin (26/10/2009).
Besarnya kebutuhan negara-negara di dunia dan masih luasnya pangsa pasar minyak atsiri. Sebenarnya hal ini  merupakan tambang emas bagi petani dan pemerintah untuk memenuhi pangsa pasar internasional tersebut.  Sebagaimana yang pernah dirasakan manfaatnya oleh petani dan masyarakat secara luas. Sewaktu melonjaknya harga minyak atsiri pada tahun 1998 sampai tahun 2000.  Namun setelah keadaan perekonomian pulih kembali sampai sekarang ini tidak ada upaya pemerintah meningkatkan dan mempertahankan harga minyak atsiri. Sehingga kejayaan masyarakat petani atsiri hanya tinggal nostalgia.
Sebagaimana diketahui ketika terjadi inflasi besar-besaran di Indonesia dan di dunia sekitar tahun 1998 sampai 2000. Para eksportir minyak atsiri tidak dapat memenuhi permintaan kebutuhan industri di luar negeri. Karena tingginya kurs rupiah terhadap dolar waktu itu hingga mencapai 20.000  per satu dolarnya. Sehingga  harga barang-barang eksport berupa hasil pertanian dan perkebunan mengalami kenaikan harga mencapai 200 persen.
Maka harga minyak Atsiri pun berupa minyak pala, cengkeh dan nilam mengalami kenaikan yang cukup drastis mencapai harga sekitar 1.000.000/kg di tingkat petani. Akibatnya  petani sangat makmur. Walaupun krisis moneter sangat parah terjadi pada waktu itu. Akan tetapi dengan meningkatnya harga minyak atsiri, maka berimbas pula pada meningkatnya perekonomian masyarakat Aceh Selatan secara keseluruhan.
Sekarang ini  Indonesia dan juga beberapa negara lainnya juga sedang menghadapi resesi ekonomi dan  pademi Covid-19. Dimana menurut pendapat para ahli bahwa ekonomi Indonesia akan mengalami krisis ekonomi pada kuartal ketiga tahun 2020. Hal ini akan berdampak dalam berbagai aspek kehidupan. Terutama daya beli masyarakat semakin rendah dan lapangan kerja semakin sulit.
Sebagaimana yang dikutip dari media BBC News Indonesia, seperti yang  dikemukakan oleh Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan bahwa "Di kuartal III kemungkinan besar kita akan resesi, kalau melihat kuartal II ini kita cukup dalam minusnya,"  Dikatakannya penurunan ekonomi tahunan Indonesia terburuk pertama sejak dihantam krisis moneter 1998.
Beranjak dari pengalaman resesi ekonomi yang pernah melanda negeri ini dan susahnya kehidupan masyarakat dimasa pademi covid-19. Maka penulis  sangat mendesak pemerintah, baik kabupaten maupun provinsi untuk segera bergerak membantu para petani, khususnya petani minyak atsiri dalam meningkatkan produktivitas maupun tata niaganya.
Baik dengan mencari terobosan-terobosan ekspor lansung ke perusahaan-perusahaan yang membutuhkan atau membentuk badan penyangga atau koperasi yang dapat mengatur harga minyak atsiri  tetap stabil. sekaligus menjaga kualitas minyak  sesuai dengan standar kebutuhan industri internasional. Sehingga diharapkan kejayaan ekonomim para petani masih dapat diwujudkan kembali.