Pada tahun 1854, Pendidikan dibentuk oleh kolonial melalui sekolah kabupaten yang bertujuan untuk mencetak calon-calon pegawai. Melalui sekolah kabupaten tersebut, dibentuk tiga kelas yakni membaca, menulis, dan menghitung.
Sekolah dibentuk sekadar untuk memberikan bekal kepada pembantu-pembantu agar memiliki kemampuan yang mendukung dalam usaha perdagang para kolonial. Sehingga, Pendidikan yang muncul di era ini hanya diperuntukkan semata-mata untuk kepentingan mereka yaitu menambah nilai surplus perdagangan, bukan membentuk pola pikir yang berkebudayaan dan berkarakter.
Pada tahun 1920 terjadi perubahan yang radikal dalam sistem pengajaran dan pendidikan, yang kemudian di tahun 1922 dibentuklah sekolah Taman Siswa di Yogyakarta. Tahun tersebut merupakan gerbang emas kemerdekaan.
Dalam pidatonya tanggal 7 November 1956, Ki Hadjar Dewantara menyampaikan bahwa bentuk pendidikan tidak cukup memberikan semangat mencari ilmu pengetahuan sendiri, sebab pelajar terus terancam oleh sistem penilaian dan penghargaan yang intelektualitas.
Para pelajar sukar untuk belajar dengan tentram karena dikejar oleh kebutuhan nilai yang tinggi dan ijazah (examen cultus). Akibatnya, pendidikan kurang mengajarkan karakter, adab, dan akhlak yang baik kepada pelajar. Maka dari itu, disarankanlah pendidikan yang ada di pondok pesantren sebagai contoh dalam mengajarkan akhlak kepada siswa.
Ki Hadjar Dewantara juga menyampaikan dalam pidatonya bahwa seorang pendidik harus menerapkan asas tircon, yakni: Continouitas yang berarti bahwa pembelajar harus mampu berfikir maju tanpa melupakan nilai budaya luhur bangsa Indonesia; Convergensi yang berarti bahwa guru harus bisa menerapkan prinsip memanusiakan manusia melalui penerapan nilai-nilai kemanusia kepada peserta didik; dan Consentris yang bermakna bahwa guru harus mampu memahami bahwa peserta didik memiliki keunikan karakter masing-masing dan potensi yang berbeda setiap individu yang dibawa sejak lahir.
Pendidikan karakter ini juga termuat dalam UU. No. 20 Tahun 2003 yang mana berbunyi “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.” Selain itu, dalam menerapkan pendidikan karakter harus melalui tiga aspek penting, yakni pengetahuan, perasaan, dan tindakan.
Maksudnya adalah bahwa pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik.
Dalam menerapkan pendidikan karakter ini, diperlukan manajemen pendidikan yang baik melalui penyatuan visi misi dalam satuan pendidikan dan membentuk karakter guru yang penyayang, mampu menjadi contoh yang baik, serta bisa menjadi mentor bagi siswanya.
Sumber Bacaan:
- Pidato Ki Hadjar Dewantara, tanggal 7 November 1956 (https://lms15-ppgprajab.simpkb.id/mod/assign/view.php?id=190&action=editsubmission)
- Maisaroh, S. & Rahayu, P. 2017. Peran Guru dalam Membentuk Karakter Siswa Kelas V di SDN Tanjungharjo Nanggulan Kulonprogo. (http://repository.upy.ac.id/1808/2/17.%20Puji%20Rahayu%2C%20Siti%20Maisaroh%2C%20S.E.%2C%20M.Pd..pdf)
- Video Pendidikan Masa Kolonial (https://youtu.be/M90E2vT7zF4)
- Oktavian, I. R. 2021. Implementasi Manajemen Pendidikan Karakter. (http://journal2.uad.ac.id/index.php/JIMP/article/view/4212/pdf)
- https://www.gurusiana.id/read/muginahe6/article/menanamkan-nilai-karakter-melaui-pembiasaan-relegius-beribadah-4058020