Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tujuh Surat (6-Habis)

22 Mei 2012   03:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:59 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13370803321190891081

(Sebelumnya ....)

Agak sulit memang menyingkap papan itu dari rekatannya. Adam berkeringat di dahi sampai akhirnya terdengar bunyi deritan yang melengking dari bawah, seperti besi yang ditarik di kedua ujungnya. Dan kemudian dalam hitungan detik setelahnya, tubuh mereka sudah terpental ke belakang akibat gaya yang bereaksi terbalik. Papan-papan itu terlepas dari lantai.

Setelah memapah Gina dan melihat semuanya baik-baik saja, Adam terperangah melihat lubang menganga yang ada di depan mereka. Nyaris tak terlihat, karena tak ada cahaya dari relung di bawah. Bahkan cahaya senter pun tak bisa menembus tebalnya debu yang beterbangan menutupi lorong.

“Ada tangga,” Adam berbisik sembari merasakan ada sesuatu yang keras di telapak tangannya.

“Hati-hati.” Gina mewanti-wanti sesuatu yang berbahaya ada di bawah sana. Tapi Adam cukup bisa mengendalikan diri dan memasukkan lengannya lebih dalam ke lubang itu, sembari melihat apa saja yang bisa ditemukan. Cahaya senter terlalu kecil.

Seperti lelah menunggu, Yusep lalu mendorong tubuh Gina dan Adam ke dua sisi, membuka  jalan untuk dirinya sendiri. Dengan senter LED kotak seukuran genggaman tangan dengan cahaya yang lebih terang, ia langsung menyeka ramat menggunakan sapu di tangan satunya kemudian melangkahkan kaki ke dalam. Adam mencegahnya namun orang tua itu seperti tak terhentikan, rasa penasarannya mengalahkan segala kekhawatiran yang bisa timbul di pikiran kedua tamunya itu.

“Kalian anak muda zaman sekarang …” Kalimat yang terdengar begitu saja, kemudian menghilang ketika bahkan  bagian kepala orang tua itu tak lagi kelihatan dari permukaan lantai.

Adam cepat-cepat menyusul dan meminta Gina tetap di tempat. Dengan tetap mengandalkan senter kecil yang sempat disetelnya agar lebih terang itu, ia meraba bidang turun kecil yang sepertinya memang bertangga-tangga. Bunyi derita papan terdengar bergantian dengan ketukan-ketukan kecil oleh benda keras dari arah samping.

Ruangan itu gelap gulita. Tidak ada jendela ataupun pintu di arah lain.

“Buntu,” kata Yusep. “Sempit sekali. Bahkan tidak cukup untuk kita berdua bernapas di bawah sini.”

Ketika Adam sudah mengangkat kakinya dari anak tangga terbawah, ia menggeser kakinya ke beberapa bidang lantai, meraba-raba sesuatu yang bisa saja jadi barang penting yang dibutuhkan. Tapi suasana gelap dan pengap sangat mengganggu jalur napas ke otaknya, membuat penglihatannya mulai kabur. Saat Yusep lalu menyerobot kembali ke tangga, investigator itu meminta lampu dan memutuskan berada di bawah lebih lama.

Memang tak ada apa-apa di ruangan itu. Tangga yang mengarah dari ubin lantai di atas tempat cahaya masuk, jumlahnya belasan yang membuat Adam berpikir jarak lantai dapur sampai lantai bawah tanah itu tak sampai sepuluh meter. Ukuran anak tangga juga kecil-kecil, sehingga tak jauh jarak yang dipadunya meski berjumlah sembilan belas. Di kedua sisi tangga itu hanya papan yang menempel pada dinding tembok yang dicor begitu saja, tempat jamur dan ramat tumbuh serta air merembes merusak kayu-kayunya.

Adam duduk di anak tangga terakhir menghadap ke dinding paling jauh yang berjarak hanya satu setengah meter dari kakinya.

“Ada sesuatu, Pak Adam?” tanya gina penasaran. Suaranya menembus ke bawah dan terpantul kembali, meski gaungnya minim.

Pertanyaan itu tak berbalas, membuat Gina menatap heran ke dalam kegelapan. Sementara sang tuan rumah sudah berjalan ke wastafel, mencuci tangan kemudian merebahkan kembali tubuhnya ke kursi rendah di belakang. Di bawah, Adam merapatkan kedua telapak tangannya, pikirannya menguap, seperti keluar dari telinga dan mulutnya sebelum akhirnya memenuhi pengap ruangan itu. Sesekali senter ia nyalakan kemudian dimatikan dengan interval yang tidak jelas. Satu menit berpikir, ia hampa. Menggeleng keras, kemudian menepuk kedua lututnya sendiri sembari bangkit dan balik badan. Langkahnya lunglai ketika menanjak kembali ke atas. Tangan kirinya memegang senter dan ia ketuk-ketukkan ke dinding di samping setiap kali kakinya menapak anak tangga yang lebih tinggi. Kepalanya tertunduk, pandangannya menghitung langkah sekenanya. Dari atas sana, Gina menghela napas dan menyampaikan senyum simpati.

Namun baru beberapa detik ketika mereka sama merasakan pencarian ini sia-sia, langkah Adam terhenti. Senter di tangannya masih menempel di dinding kayu. Gina menatap heran dengan sikap yang tiba-tiba berubah itu.

“Pak Adam?”

Tak ada jawaban. Seperti patung, investigator itu tetap menunduk dan hanya kakinya yang bergerak-gerak seperti menahan langkah. Kemudian ia ketukkan lagi ujung belakang senter itu ke dinding papan. Lalu senyumnya terangkat perlahan.

Ia melangkah mundur, meraba anak tangga yang lebih rendah, lalu dengan sinkronisasi serupa ia memindahkan ketukannya ke dinding yang lebih rendah pula. Berganti dan sekali dibalas ke arah depan lagi, kemudian sekali lagi ke arah belakang. Gina terheran-heran menatap tingkah Adam, seakan pikirnya orang itu sudah mulai dirasuki pikiran bodoh atau bahkan kemasukan setan.

Ketukan itu berulang-ulang dan semakin cepat, membuat Yusep sampai bangkit dari kursinya. Ketika ketukan itu akhirnya terhenti, barulah terdengar seruan yang tiba-tiba namun begitu tegas.

“Oper linggisnya.”

Gina menyodorkan batang besi itu hati-hati ketika memberanikan diri menapak dua-tiga anak tangga lebih rendah, mengikuti naluri ingin tahunya tentang sesuatu yang ingin ditunjukkan oleh Adam.

Linggis diketukkan beberapa kali ke batang kayu anak tangga yang rapuh, kemudian dengan sekali angkat batang itu seketika melintang dan ujung pipihnya menusuk ke dinding. Sekali cungkil, dan dua bilah papan yang tak begitu lebar terhempas ke lantai. Gina membantu dengan memegang senter bercahaya cukup terang bagi mereka agar hasil bukaan itu terlihat.

“Adam ….”

Adam menatap Gina dengan anggukan. Keringat telah penuh membasahi kepalanya hingga ke dahu. Ketika ia mengayun untuk congkelan berikutnya, terlihat jelas kini apa yang membuat Adam terhenti di ketukan papan kesekian dalam langkahnya menyusuri tangga. Ada lubang di dinding itu. Hitam dalam kegelapan, dan serangga-serangga pemakan kayu berlarian keluar ketika cahaya menerpa mereka. Dari atas Yusep memerhatikan dengan penasaran yang jauh lebih  besar dari sebelumnya, membuat badannya terbungkuk dan langkahnya semakin kuat. Saat kesadarannya terbangun, buru-buru tuan rumah itu berlari ke arah pintu depan dan mengunci pintu dari dalam.

Adam meminta cahaya disodorkan, lalu seketika meminta Gina kembali ke atas. Perempuan itu menolak dengan sengit, membuat Adam tak bisa berkutik. Tanah berguguran di dinding lubang itu, lalu Adam terhenyak menyaksikan apa yang terlentang di dalam sana.

“Pak Adam …. Itu …”

“Ya,” Adam seperti menahan jawabannya sesaat, mengumpulkan keberanian tidak cuma bagi dirinya, tapi juga Gina. “Tengkorak manusia.”

Lalu terdengar langkah cepat dari atas yang membuat Gina terdorong dan hampir jatuh. Adam menahan lengannya. Yusep tiba-tiba di luar kendali.

“Ya Tuhan! Adrian!” Lalu seperti kesetanan, orang tua itu mengangkat tangannya ke udara dan lututnya tertekuk menyentuh anak tangga. Saat ia ingin memasukkan kepala ke lubang itu, Adam mencegahnya dan berusaha menenangkan seperlunya.

“Anakku …!”

“Pak Yusep … belum tentu itu ….”

“Belum tentu apanya!” Tuan rumah itu membalas sengit. “Lihat! Itu adalah sarung milik Adrian, saya yang memberikannya tigapuluh tahun lalu!”

Gina dan Adam saling tatap. Tigapuluh tahun bukanlah waktu yang singkat bagi seseorang untuk mengingat masa lalu terkait darah dagingnya. Kemudian dengan rasa pengertian yang membalut, Adam menenangkan orang tua itu sekali lagi dengan janji akan memastikan bahwa kerangka manusia di dalam lubang itu adalah Adrian, sosok yang menghilang.

Dengan cahaya seadanya Adam masuk ke lubang itu. Tak begitu kuasa karena hanya separuh badannya yang muat. Itupun ia harus bergumul dengan runtuhan tanah dinding dan ratusan serangga pemakan kayu yang berkeliaran di antara kain di dalam sana.

“Ada surat,” bisik Adam serak ketika tangannya menyodorkan kertas berbungkus plastik yang buram karena dilapisi jamur. Gina menerima bungkusan itu dan mengamankannya. Setelah satu menit bergumul dengan pengapnya lubang sempit itu, Adam menarik tubuhnya keluar.

“Tidak ada apa-apa selain surat itu. Maafkan saya, Pak Yusep.”

Orang tua itu menatap nanar ke arah kakinya yang gemetar. Kedua tangannya memeluk lutut-lutut  yang merapat. “Dulu istri saya, sekarang anak saya ….” Ia menggumam entah kepada siapa.

Ketika Gina berhasil membujuk orang tua itu kembali ke atas, Adam terdiam beberapa saat ketika kakinya menapak salah satu anak tangga. Sejenak ia perhatikan, dan mengedarkan pandangan antara lubang tempat kerangka itu tersimpan, dan lubang tempat mereka pertama kali masuk. Ketika matanya berbinar kembali, dengan gerakan lincah tangannya merogoh lipatan tebal keluar dari balik jaketnya. Surat-surat itu ia perhatikan lagi. Ia urutkan dalam lembar-lembar bertumpuk, pilah satu per satu, kemudian mengangguk puas.

“Ada apa. Pak Adam?” teriak Gina dari atas.

“Surat keenam dan ketujuh, Bu Gina,” jawab Adam dengan wajah penuh jawaban yang tak biasa. “Ketujuh surat ini telah terpecahkan.”

Gina memiringkan kepala ketika mendengar jawaban itu. Bahkan ketika Adam mengangkat surat-surat itu ke udara, ia justru mengernyitkan dahi.

“Surat keenam bergambar angka tujuh. Lihat, saya berdiri di anak tangga keberapa dari atas.”

Gina kemudian menghitung dan benar memang papan yang rusak karena linggis itu berada tepat seperti dijelaskan Adam. “Tujuh.”

Adam mengangguk. Kemudian tangan kirinya mengapit lembar ketujuh dengan sebuah senter yang tak lepas dari genggamannya. “Dan surat ini, bentuknya lingkaran penuh, menggambarkan persis …”

“Kematian.” Gina menjawab lirih, seakan semua jawaban mengarah pada fakta yang sulit namun akhirnya harus mereka terima.

Adam lalu melangkah ke atas sambil menjelaskan jalan pikirannya. “Dari awal Adrian membuat peta untuk mengarahkan kita ke kuburannya sendiri. Tigapuluh tahun lalu, ketika bahkan ayahnya sendiri tak berpikir sejauh itu.”

Suara Adam terdengar jelas, sampai-sampai Yusep menggeleng semakin keras. Tangisnya meleleh untuk pertama kalinya setelah hampir setengah abad. Orang tua itu terisak di tempat duduknya.

“Posisi antara lubang tempat mayat, maksud saya kerangka, ditemukan, berada di garis siku dengan lubang yang ada di lantai. Membuktikan bahwa surat ketujuh harus ditumpahkan kembali ke surat pertama. Gambar lingkaran adalah simbol keabadian, nampaknya Adrian paham betul arti simbol-simbol ini, lalu ia berpikir membuat penemunya kemudian bisa mendapatkan arti, mengapa ia harus berbaring sendirian di bawah sana.”

Adam sudah kembali ke lantai dapur ketika tangannya mengeluarkan telepon genggam.

“Halo, Selamat siang, Pak. Saya melaporkan penemuan mayat. Iya di …”

Gina menatap tanpa bisa berbuat apa-apa. Surat terbungkus plastik itu kini ia genggam rapat-rapat. Jelas di dalam pikirannya ia ingin melihat semua rahasia yang disimpan seorang pemuda yang mengirim surat kematian padanya, dan petunjuk tidak masuk akal tentang motif seseorang melakukan kegilaan di masa lalu, demi menyampaikan perasaannya di masa sekarang.

“Polisi sedang menuju kemari. Untuk selanjutnya saya serahkan kepada mereka. Tentang motif, biarkan mereka menentukannya sesuai barang bukti yang kita temukan. Saya kira kita tidak bisa melangkahi tugas-tugas itu.”

Gina mengangguk.

Adam kemudian meletakkan semua lembar surat itu di atas meja, tepat di hadapan Yusep. Gina bangkit dan menyusun rapi semua bahan yang bisa dijadikan alat bukti bagi kepolisian. Ia menghargai keputusan Adam untuk tidak bertindak lebih jauh sebelum polisi melakukan penyidikan. Ia menyadari, tugasnya saat ini adalah menjaga perasaan seorang tua yang baru saja mendapatkan fakta yang berat. Untuk sekali ia berbalik badan dan menatap dalam-dalam ke lubang gelap itu, tempat pesan-pesan teruju, dan seseorang berbaring dengan damai dalam posisi yang begitu lurus, sibuk dengan dunia dalamnya sendiri ketika pikirannya justru riuh dengan dunia atas yang fana dan rasa yang menggebu-gebu tentang banyak orang. Ia membayangkan Adrian menyimpan cahaya lilinnya sendiri, menulis surat dengan tangan kanannya sendiri, membungkusnya dengan plastik, kemudian tersenyum ketika ia menutup mata di dalam kegelapan.

“Lem kayu. Memang sudah ada di tahun delapan puluhan,” Adam menyeletuk ketika membawa bilah papan yang diambilnya dari bilik bawah tanah itu. Investigator itu merebahkan tubuhnya di atas lantai, melihat ke langit-langit dan menikmati alur berpikir yang entah bagaimana jadinya setelah ini.

Sampai sore hari itu, mereka masih disibukkan dengan fakta yang ada. Bahkan, ketika mereka sudah terpisah di tempat masing-masing.

***

Telepon kembali berdering. Adam mencari tempat sepi ketika merasakan saku kiri celananya bergetar tak berhenti. Butuh lima menit dan panggilan sudah berbunyi tiga kali sampai akhirnya ia menemukan sebuah bilik telepon yang tidak terpakai untuk mengangkat panggilan itu. Jalan Malioboro dan Ahmad Yani ditumpahi ribuan masyarakat Yogya. Ratusan personel berseragam loreng dan baret warna terang dibantu pengamanan masyarakat berjaga di sepanjang tepian kedua jalan, membuat warga berdesakan dan tumpah ke emperan toko-toko yang sengaja ditutup.

Rombongan pengantin kerajaan akan lewat. Pawiwahan Ageng telah selesai dengan prosesi akad. Keraton kemudian menampakkan kemurahan hati keluarga raja kepada rakyat yang ingin melihat sosok kedua mempelai muda yang resmi dengan gelar baru mereka, Gusti Kanjeng Ratu Bendara dan Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara. Rencananya akan lewat empat kereta kencana yang membawa kedua mempelai, lalu rombongan keluarga dekat di barisan belakang. Parade tentara pengawal keluarga raja, dan kesenian lokal yang mewakili empat penjuru Tanah Mataram. Semua orang ingin menyaksikan ini. Tapi Adam, merasa wajib menyimak perkembangan terbaru dari kasus membingungkan yang menimpa seorang pemuda yang misterius di masa lalu.

“Pak Adam. Saya sudah mendapatkan informasi dari kepolisian terkait motif Adrian melakukan bunuh diri.”

Adam tertunduk. Debu beterbangan ketika ia berusaha meletakkan fokus di tengah deru kendaraan yang riuh di pusat kota.

“Jadi benar bunuh diri …”

“Mengenai surat itu …,” kata-kata Gina terputus di situ. “Akan saya kirim lewat surel saja ya. Terima kasih sekali lagi.”

Adam tak membalas dengan kata sampai akhirnya panggilan berakhir. Hanya kepalanya yang mengangguk paham.

Sore hari ketika matahari tak lagi terlihat di ufuk barat, Adam sudah duduk dengan segelas kopi di depan monitor. Surat itu terkirim dengan ucapan terima kasih bertubi-tubi. Ketika ia membacanya, barulah mengerti mengapa seseorang memilih jalan kematiannya sendiri, setelah memutuskan untuk merangkai rumus-rumus kehidupannya sendiri.

Yang tercinta, ayahanda. Dan untuk seseorang di luar sana, yang kuingat sebagai Gina.

Saat kalian membaca surat ini, aku sudah kembali ke rumah, ke hadapan Tuhan dengan kalian sebagai saksinya.

Aku sendiri tidak mengerti mengapa harus menulis surat ini, dan mengapa harus melakukan hal-hal yang kutuangkan di sini. Hidup tak pernah lebih indah daripada semua gemerlap kematian yang pernah kubayangkan. Aku ingin hidup seperti para penemu yang menemukan aljabar dan semua peramu kata yang melukis sejarah dengan intrik yang membuat dunia gempar. Aku hanyalah Adrian, seorang pelajar yang mencari kemana arah cinta akan kulabuhkan.

Ayahku adalah seorang pekerja keras. Merumahkan kami dengan kehangatan keluarga kecil yang tak ada satupun keluarga menandinginya. Aku mengagumimu, Ayah. Terlebih ketika aku merasa diberi kebebasan untuk menemukan jalan sendiri, dan memutuskan sendiri jalan hidup. Bagian dari keputusanku ini, bukan bagian dari warisan ajaran Ayah. Ini keputusanku sendiri.

Gina, aku tak pernah menyatakan perasaan sebelumnya. Dan menurutku Tuhan tak pernah lebih baik daripada ketika memberiku kesempatan mengenalmu. Aku tak bisa bicara, tapi perasaan tak memberiku kuasa. Aku mencintaimu sejak awal, tapi kebodohanku terlalu melapisi semuanya. Ketika kutahu akhirnya kau pergi, aku bingung harus tanya ke siapa. Tidak ada nama, tidak ada kota. Aku hilang seperti menggantung di antara bumi dan langit. Ini memang gilanya cinta, tak dinyana oleh orang-orang bahkan yang merasa. Aku tak sejengkalpun mendekat padamu. Hidung dan telingaku tak sedetikpun merasa aroma ataupun mendengar suaramu lagi. Maka aku pikir Tuhan akan mempertemukan kita dengan cara yang lain. Dan aku mengikuti bisikan-bisikan itu.

Aku bukan ahli matematika, tapi aku tahu bagaimana manusia memilih bahasanya. Aku memilih simbol-simbol itu sebagai pesan yang paling bisa diterjemahkan, sekadar agar orang-orang tak berpikir aku main-main dengan ini. Karena perasaan yang keluar dari dalam, tak pernah sedetikpun bermain-main.

Aku minta maaf untuk semuanya. Rumah ini tetaplah kuserahkan kepada Ayah, dan agar pesan surat ini tak perlu kalian simpan. Kalau berbaik hati, kuburlah semua pesan ini kembali bersama jasadku. Karena kuyakin ketika kalian membacanya, pesanku telah tertanam dalam dan kalian bisa memercayainya.

Untuk semua pertanyaan yang belum kujawab, semoga Tuhan memberikan kita waktu sejenak kelak. Agar kita bisa saling menyapa lebih baik.

Salam keabadian,

Adrian Yusep.

Selasa, 20 April 1980.

Pesan obrolan masuk.

Otakmu: Misteri terpecahkan?

Imoet: Misteri yang ini, hanya Tuhan yang memecahkannya, Zul.

============================================

Untuk 153 tahun Sir Arthur Conan Doyle

22 Mei 1859 -- 22 Mei 2012

=============================================

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun