Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tujuh Surat (4)

19 Mei 2012   07:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:06 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13370803321190891081

(Sebelumnya ....)

Mereka hanya saling pandang untuk beberapa detik. Orang tua itu nyatanya tersenyum ramah. Sangat berbeda dengan perasaan Adam yang justru gemetar. Ia tak menyangka bisa secepat itu melompat ke dalam realita yang awalnya hanya bisa ia terjemahkan dari lembar-lembar foto.

“Ah!” serunya singkat.

Orang tua itu, dengan setelan bajunya yang bergaya mirip dengan yang di foto, lengkap dengan celana pendek berwarna putih yang membalut pahanya yang ringkih, menyambut dengan pertanyaan yang lebih mirip seruan.

“Jadi setidaknya kalian sudah berhasil pecahkan setidaknya lima dari tujuh gambar itu ya?”

Gina terhenyak. Kata-katanya tak kunjung keluar.

“Oh, maafkan saya, Bu Gina. Sungguh tidak sopan saya membiarkan Anda berdiri di luar. Mari silakan masuk. Mari.”

Gina dan Adam saling pandang sejenak kemudian akhirnya mengikuti undangan yang tidak disangka itu. Warung angkringan itu sudah sepi lagi, dan yang tersisa tinggal bunyi aliran Selokan Mataram yang tak pernah berhenti. Adam menyibak beberapa tanaman rambat yang menghalangi jalan masuk, memerhatikan cat yang mengelupas di sana-sini, serta ruang tamu yang sekilas tak bersahabat dengan kegelapan yang pengap.

Rumah itu berlantai dua, sehingga tangga sempitnya yang meliuk di koridor belakang sebelum ruangan dapur jelas terlihat dari ruang tamu. Lampu-lampu yang tergantung tidak menyala sempurna, dan jendela-jendelanya pun nampak lama tak dibuka, nampak dari pasir-pasir yang membentuk gunung kecil di celah kayunya karena dibawa kawanan semut.

“Rumah ini dibangun tahun 1980. Kayunya belum pernah diganti; saya hanya beberapa kali mengecat ulang dan menambal atap genteng. Lihat, perabotannya juga masih asli. Sama seperti saat pertama kali diberikan oleh Adrian.”

Gina teringat sesuatu yang membuatnya menyeletuk. “Adrian?”

Orang tua itu tersenyum saat mendapati tamunya heran. “Ya. Adrian Yusep. Dia anak saya.”

“Jadi ….” Gina akhirnya tersadar dan menemukan jalan pikirannya sendiri, benang merah yang mulai nampak mengapa hal-hal aneh belakangan ini terjadi begitu saja. “Jadi … surat-surat ini …?”

“Ya. Betul. Adrianlah yang membuatnya.”

Adam yang seketika merasa bingung, menjadi orang yang paling tidak tahu duduk persoalan sebenarnya. Pikirannya terlalu dipenuhi hal-hal teknis terkait tujuh lembar petunjuk dan sebuah rumah yang akhirnya mereka tuju secara harfiah. Hal-hal abstrak yang berada di balik beberapa fakta adalah tingkat selanjutnya yang behkan dirinya sendiri belum menjejakkan dugaan. Saat masih menebak-nebak itulah, ia mendapatkan penjabaran yang begitu masuk akal di mana misteri ini berawal.

Gina menutup mulutnya dengan telapak tangan. Jam menunjukkan pukul sembilan ketika mereka terdiam beberapa saat. Cahaya matahari jatuh miring dan menyentuh lantai berdebu di bawah kaki-kaki mereka. Orang tua sang penjaga rumah itu menghela napas sebelum ia menceritakan semuanya lebih jelas.

“Ketujuh surat itu memang untuk Bu Gina, dan saya merasa bersyukur Anda mendapatkan petunjuk hingga mendapati rumah ini. Awalnya, saya berpikir untuk memberitahu saja langsung perkara rumah ini dan apa tujuan surat-surat itu sebenarnya. Tapi belakangan, saya menyadari bahwa jika saya melakukan hal itu, maka saya mengkhianati amanat anak saya yang meninggalkan pesan-pesan ini sebelum akhirnya ia menghilang.”

“Sebentar.” Adam menyela. “Anda bilang, menghilang? Jadi maksud Anda, Adrian, penulis tujuh surat ini, menghilang? Kapan?”

Orang tua itu menggeleng. “Saya sudah di rumah ini sejak tahun sembilan puluh, Pak Adam. Saat seorang mahasiswa datang ke rumah kami di Kuningan dan membawa kabar itu, saya langsung ke Yogya. Kami sungguh tidak menyangka bahwa Adrian menghilang. Padahal, tiga hari sebelum kabar itu tiba, anak ini sudah memberitahu saya bahwa telah berhasil membeli sebuah rumah dengan hasil usahanya jadi makelar. Pekerja keras, pikir saya waktu itu, tapi tidak langsung mengiyakan akan pindah ketika ia meminta saya ke Yogyakarta. Saat saya tiba di sini, anak itu sudah menghilang.”

Adam dan Gina saling pandang mendengar cerita latar belakang yang mulai rinci.

“Saya sempat berpikir terjadi sesuatu terhadap anak saya, tetapi ketika tiba di rumah ini pertama kali, di hari keempat menghilangnya anak itu, saya bisa sedikit bernapas lega, karena sebuah surat yang ia tinggalkan menyatakan bahwa ia sedang pindah kota dan mencari rezeki lebih banyak. Dan saya tidak perlu khawatir atau memikirkan apa-apa. Dia akan kembali setelah lebih sukses dari saat ini, begitu penutupnya.”

Orang tua itu menceritakan semuanya sembari tertunduk, seperti mengumpulkan sisa-sisa ingatan yang menurutnya perlu. Sesekali terangkat senyuman di sudut bibirnya sebelum akhirnya kembali wajahnya diselimuti kesedihan yang tak ingin ia perlihatkan.

Kedua tamu itu masih menyimak. Adam mulai mengeluarkan tiga foto dan meminta Gina mengeluarkan tujuh lembar surat yang mereka punya.

“Satu-satunya yang bikin saya paling penasaran adalah tujuh surat ini, Pak Yusep.”

Tuan rumah tua itu mengangguk. “Memang benar. Saya pun tidak mengerti, apa arti surat-surat itu. Saya hanya merasa wajib untuk menyampaikan surat-surat itu kepada orang yang dituju. Selebihnya saya tidak begitu tertarik. Bisa saja itu hanya pengungkapan cinta anak saya yang lama tak terungkapkan. Namanya orang tua, saya memilih tidak mencampuri urusan perasaan hati anak laki-laki yang sudah dewasa. Mereka memiliki independensi yang sangat tinggi akan hal itu, benar?”

Adam mengangguk setuju, sementara Gina tersipu. Tak banyak yang menghinggapi pikirannya saat ini.

“Tapi, apapun itu. Saya sudah cukup senang Anda bisa memecahkan petunjuk-petunjuk itu. Saya pun menduga cepat atau lambat ada yang mengunjungi rumah ini, atau membalas surat-surat itu. Dan saya senang, karena ternyata Anda, Bu Gina, tepat seperti gambaran Adrian sebelum pergi.”

“Gambaran?”

“Ya. Satu-satunya yang saya tahu soal perasaan anak saya sebelum ia pergi, adalah gambaran sosok Gina yang sepertinya begitu ia cintai. Ia gambarkan, bahkan dengan sebuah sketsa wajah yang begitu mirip dengan Anda sekarang, walaupun pakaian Anda kini lebih baik.”

“Ya, waktu terus berjalan, Pak Yusep.”

Orang tua itu mengangguk, lalu mengangkat telunjuknya pertanda ingin melakukan sesuatu untuk sejenak. Lalu dalam sekejap ia sudah bangkit dari kursinya, meraih beberapa sudut perabotan semata-mata agar jalannya seimbang, lalu kembali dengan sebuah kertas berlipat dan berdebu. Setelah membersihkannya, ia menyerahkan lipatan kertas itu yang isinya ternyata adalah sketsa wajah sebagaimana ia maksudkan sebelumnya.

“Ini mirip benar dengan muka saya.” Gina memuji dengan rasa kagum. Ia nyaris tak percaya dulu ada orang yang diam-diam mengaguminya begitu tinggi, dan bahkan ia tak memerhatikan sedikitpun.

“Oh, sungguh. Saya dulu cantik dengan kalung ini, Pak Adam. Adrian benar-benar hapal seperti apa saya dulu.”

Adam ikut memuji sketsa itu ketika sempat hanya mengintip dari beberapa sudut. Saat lembarn itu diletakkan di atas meja, barulah sesuatu yang janggal kembali hinggap di pikirannya. Sebuah lukisan yang dipajang di ujung koridor mengarah ke dapur, terbayang di bawah bayangan tangga. Usang, namun bentuk rupanya jelas terlihat. Dua anak panah berlawanan.

“Maaf, Pak Yusep. Apa lukisan itu sudah ada di rumah ini ketika Anda pertama kali tiba?” Adam mengarahkan telunjuk ke gambar yang ia amati selama beberapa menit terakhir. Yusep, yang akhirnya membalik badan dan mengamati sesaat apa yang dimaksudkan tamunya, kemudian mengiyakan.

“Boleh saya lihat dari dekat?”

“O, iya boleh. Silakan. Hati-hati lantai berdebu.”

Kemudian Adam bangkit dan mendekat ke lukisan itu. Ruang dapur rumah itu luas tak seperti kelihatannya dari ruang tamu tadi. Perabotan lengkap dan menggantung sesuai urutan ukurannya. Lemari bertingkat merapat ke tiga sisi dinding nampak terawat meski sebagian sudutnya berdebu karena dibersihkan hanya dengan sapu seadanya. Lantai ditutupi ubin putih dan beberapa granit yang dipoles untuk menjaga aliran air pembuangan. Dan lukisan itu berada tepat di tengah dinding menghadap ke luar. Lukisan itu lebih mirip rambu lalu lintas, karena hanya terdapat bentuk dua panah yang berlawanan arah, garis luarnya hitam dan tanpa warna isi, sehingga seakan-akan hanya kawat yang dibentuk di atas kain putih dasar. Saat Adam mendekatkan matanya hingga hampir menyentuh bidang kanvas, ia dikejutkan oleh Gina yang berdeham di sela-sela obrolan ringannya bersama tuan rumah. Adam berpikir sejenak sebelum akhirnya kembali ke ruang tamu.

“Pak Yusep. Ada yang harus saya tanyakan.”

Dengan wajah heran, tuan rumah itu mengiyakan namun perbincangan itu buyar seketika. Telepon genggam berbunyi. Adam meminta izin bangkit dari kursi dan mencari celah di dekat pintu untuk menerima panggilan itu, meninggalkan Gina dan sang tuan rumah berbincang sendiri.

“Kamu yakin?”

“Baiklah. Terima kasih, Zul. Ini membuat semuanya jadi jelas. Aku berhutang banyak kepadamu.”

Adam lalu kembali mendekati meja tamu, namun kali ini ia tak duduk, membuat Gina dan Yusep bertanya dalam hati.

“Pak Yusep …,” kata Adam dengan nada rendah. “Ada berapa tangga di rumah ini?”

“Tangga? Ada satu, setahu saya. Anda bisa lihat sendiri tangga di ruang tamu ini langsung mengarah ke lantai dua.”

“Anda yakin?”

“Pak Adam ….” Gina berusaha memberi peringatan agar mereka lebih mengatur rima pembicaraan.

“Tangga ke lantai tiga mungkin? Atau ke ruang bawah tanah?”

Pertanyaan itu membuat Yusep sangat heran, yang lalu sibuk dengan ingatannya sendiri. “Tidak ada, seingat saya.”

“Adam, apa maksudnya ini?” Gina mulai sengit ingin tahu ada hal apa sebenarnya yang hinggap di pikiran orang yang ia bayar itu.

“Bu Gina, saya pikir Anda masih memercayai saya untuk kasus ini sampai semuanya lebih jelas dan tidak ada misteri lagi?”

Klien itu terdiam sesaat, tak mampu membalas pertanyaan itu.

“Kalau begitu, jika Anda berdua mengizinkan saya menjelaskan penemuan paling baru yang membuat saya nyaris tidak percaya ini, akan saya jabarkan. Tapi demi keamanan, saya butuh kerjasama kalian berdua.”

Gina dan Yusep kini saling pandang. Mereka belum mengerti apa hal yang membuat semuanya mendadak serius dan menjadi lebih misterius dari sekadar kunjungan ke rumah  kawan lama.

“Pak Yusep,” lanjut Adam. “Saya anggap penjelasan saya ini terkaan, meskipun ada alasan masuk akal mengapa semua perkataan saya setelah ini bisa jadi benar. Untuk itu, saya harap Anda bisa mengerti dan mengendalikan emosi, jika nantinya kita mendapatkan sesuatu yang tidak mengenakkan.”

“Apa maksud Anda? Jelaskan saja langsung. Jangan bertele-tele!” Orang tua itu mulai marah.

Adam melihat ke arah langit-langit kemudian menghela napas panjang.

“Pak Yusep, berapa nomor rumah ini?”

“Tujuh.”

“Adrian, anak Anda dulu, Anda tahu dia belajar jurusan apa?”

“Matematika, setahu saya.”

“Dia pernah mengeluh sebelumnya? Tentang kuliah atau keluarga, misalnya?”

“Tidak. Tidak. Anak itu tidak banyak bicara, tapi banyak berbuat. Dia jarang mengeluh.”

“Saya menduga … istri Anda telah meninggal lama?”

Yusep tertunduk, kenangan manis itu muncul kembali meski hadir dalam selimut kesedihan. “Ya. Waktu Adrian tamat SMA. Ibunya ngidap leukimia. Meninggal waktu Adrian baru saja dapat kos.”

Gina bersimpati dengan menyentuh tangan orang tua itu. Sementara Adam mengangguk sembari meneruskan kalimatnya. Matanya tertuju langsung ke gambar sketsa dan tujuh surat yang kini ada di atas meja.

“Jika dugaan saya benar, maka …”

“Maka apa?”

“Maaf. Bolehkah saya melihat-lihat sekeliling rumah ini, Pak Yusep?" Permintaan yang sejenak kurang mengenakkan. "Anda berdua mungkin tidak akan percaya. Tapi menurut saya Adrian masih ada di rumah ini.”

“Apa?”

Kalimat yang datang seperti sambaran petir jelang tengah hari. Yusep menggeleng cepat sementara Gina langsung bangkit dari kursinya. Seakan seirama, ada bunyi imajinatif seolah-olah jendela rumah itu juga bergetar seketika mendengar ucapan investigator itu. Suara mencit seperti berlarian menjauh di langit-langit. Rumah itu meranggas.

(Selanjutnya ...)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun