Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pariwisata untuk Produktivitas

21 Januari 2015   01:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:42 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Papan petunjuk penjualan tiket di kawasan wisata Tamansari, Yogyakarta nampak salah pengetikan bahasa Inggris. (Foto: Afandi Sido)

[caption id="" align="alignnone" width="570" caption="Papan petunjuk penjualan tiket di kawasan wisata Tamansari, Yogyakarta nampak salah pengetikan bahasa Inggris. (Foto: Afandi Sido)"][/caption]

Tantangan pariwisata Indonesia ke depan nampaknya lebih banyak pada menjaring kunjungan produktif, sama baiknya dengan kunjungan wisata konvensional atau yang sering dikenal sebagai pelesir atau sekadar liburan. Kementerian Pariwisata sigap menanggapi tren baru pariwisata semacam ini dengan mendorong setidaknya dua hal  baru yang menjanjikan: MICE dan industri kreatif. Direktorat MICE dibentuk dan secara khusus mengawal pelebaran sayap setiap kampanye penjaringan potensi pariwisata berbasis industri pertemuan ini. Sementara tugas ekonomi kreatif dikonsentrasikan ke setidaknya tiga struktur Direktorat Jenderal.

Akan tetapi, tantangan lebih berat dari ini bukanlah memperkenalkan apa itu MICE atau ekonomi kreatif, tetapi memasyarakatkannya ke semua bagian penting dari kepariwisataan Indonesia. Ini soal bagaimana insentif dan produktivitas diserap sebagai roh baru pariwisata bangsa kita, oleh para direktur, birokrat, sampai pegawai biasa. Bagaimana pariwisata yang memajukan kemaslahatan ini dapat dipahami oleh mereka yang bekerja sebagai manajer, pelayan hotel di Yogyakarta sampai pedagang buah tangan di Minahasa.

MICE (Meeting, Incentives, Conferencing, and Exibition) telah banyak diselenggarakan sebagai bagian dari industri pariwisata dunia selama setidaknya sepuluh tahun terakhir. Di Indonesia sendiri, MICE masih dikenal sebagai pertemuan bisnis di kota-kota wisata, di mana peserta dan penyelenggaranya biasanya berlatar pelaku bisnis dalam bidang tema tertentu, organisasi pemerintah, peserta kontes (pageant), atau komunitas. Dan meski sejauh ini fokus kegiatannya masih terbatas pada ruang eksklusif, imbas keuntungan pariwisata dari MICE turut menghidupi banyak pekerja di berbagai sektor pendukungnya, termasuk perhotelan, agen transportasi (travel), jasa pelatihan wisata, event organizer, penganan (catering), media hiburan, sampai produsen buah tangan khas. Industri pertemuan turut menggiring langkah industri kreatif berkembang lebih cepat.

Dalam sebuah kunjungan reportase ke Kampung Dolanan Anak Pandes, sebuah kampung rintisan wisata, di Bantul, Yogyakarta bulan silam, saya mendapat info menarik bahwa pasar kerajinan mainan anak tradisional yang dibuat di kampung itu--meskipun tidak ditujukan untuk jualan wisata--ternyata justru bertahan karena banyak dicari oleh para penyelenggara pertemuan. Suhardi, narasumber saya yang juga seorang perajin dolanan anak berujar, “Banyak yang beli (mainan tradisional) untuk dibawa ke Jakarta, ke Bali. Seratus, dua ratus biji dolanan, katanya untuk oleh-oleh peserta.” Meski tidak tentu, dalam sebulan Pandes secara kolektif bisa menjual setidaknya dua ratus produknya, meski hanya seharga Rp2.000 per biji. (Baca: Pandes: Benteng Terakhir Dolanan Anak)

Di Surakarta, Jawa Tengah, selain Batik yang legendaris, bisnis jasa boga terbukti raup untung lebih banyak sejak pemerintah kota mulai gencar menjaring wisatawan pertemuan. Baik itu lomba mahasiswa se-Indonesia ataupun kunjungan dinas, makanan khas serabi, nasi liwet solo atau nasi kotak ayam bacem laris-manis sampai ke gedung-gedung bergengsi. Kemasannya jauh lebih menarik dan standar rasanya lebih baik. Tidak mengherankan putra presiden juga menggeluti bisnis jasa boga, dan laris-manis. Surakarta berusaha membangun “pesona”-nya sendiri dengan karakter yang dipunyai Tanah Kesultan tua, pelan-pelan terbebas dari bayang-bayang adiknya, Yogyakarta.

Meski berpotensi besar, industri pertemuan belum menyebar menyeluruh ke kota-kota wisata di Indonesia. Selain Jakarta, Yogyakarta dan Bali, MICE pelan-pelan baru menggeliat di Medan (berdampingan dengan Padang dan Pelembang), Batam, Makassar, serta Balikpapan. Dengan tuntutan infrastruktur yang terintegrasi, atmosfer bisnis yang kondusif, serta penanganan lokasi yang representatif, beberapa kota masih pada tahap mencoba-coba, dan agak terbantu dengan gelaran bertaraf internasional yang dipromosikan pemerintah. Nabire dan Jayapura di Papua dengan Sail Raja Ampat, Morotai dengan Sail Morotai, ataupun Pulau Samosir dengan Festival Danau Toba. Dengan nama-nama mentereng seperti itu, pola industri pariwisata baru di daerah-daerah ini nampaknya belum terasa akrab dan baku. Orang-orang desa setempat mungkin belum tahu apa dan bagaimananya. Padahal, yang disukai oleh wisatawan adalah kebersatuan agenda mereka dengan hawa keakraban lokal  yang tiada duanya.

Posisi wisatawan domestik

Dalam siaran pers yang baru saja diumumkan 7 Januari lalu, Kementerian Pariwisata menyatakan optimistis target kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) selama 2014 bisa di atas 9,3 juta orang, dari 19 pintu masuk utama yang selama ini dikenal sebagai “lumbung” wisman, termasuk Ngurah Rai, Batam, dan Sukarno-Hatta. Angka ini koheren dengan hasil kajian Badan Pusat Statistik bahwa pada Juli saja, kunjungan wisman sudah di angka 5,33 juta, naik 9,37 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Sementara tiga negara penyumbang devisa wisata terbesar masih diduduki kelompok negara-negara Timur Tengah (Mesir, Bahrain, Arab Saudi), Tiongkok (termasuk Hong Kong dan Taiwan), dan India. Berbagai gelaran expo, marathon, panggung jazz, golf, dan pagelaran busana bertaraf internasional mendongkrak jumlah kunjungan.

Akan tetapi, di sisi lain, fokus Kementerian Pariwisata tidak banyak mengampanyekan statistik wisatawan domestik yang mungkin, karena data jumlah wisatawan domestik hanya diramu tiap-tiap daerah. Di banyak sisi pengembangan wisata, geliat industri secara signifikan juga turut dipengaruhi “bagaimana turis domestik berwisata”, sekaligus melihat posisi perilaku yang dibawa masyarakat lokal berpengaruh terhadap ketertarikan wisatawan mancanegara.

Pada akhir April 2014 lalu, saya turut meliput “nasib” Pantai Parangtritis, pantai selatan di Yogyakarta yang pada tahun 1990-an pernah begitu terkenal sebagai destinasi wisata bahari karena pesona ombak, hamparan geografi dan nuansa magisnya. Karena zaman telah berubah dan selera wisata telah bergeser, kunjungan wisatawan ke Parangtritis menurun tajam, bahkan oleh pengunjung domestik. (Baca: Kompetisi Tiga Ruang di Pantai-pantai Bantul)

Menurut Nurtriningsih (28), seorang pedagang pakaian, Parangtritis sulit kembali jaya karena orang-orang lebih senang dengan sesuatu yang baru, yang banyak diliput media, dan menjanjikan kenangan lama. Parangtritis sudah kehilangan hampir itu semua, dan tersisa cerita-cerita sisa pariwisata magis yang juga mulai merosot, dibumbui rumor tak sedap terkait praktik seks liar yang lokasinya tak sampai sekilometer dari situ. “Apalagi sejak Bom Bali, tambah  jarang orang ke sini,” turur Triningsih. Kalah oleh media, popularitas “para pesaingnya”, dan menyerah pada waktu, Parangtritis kini hanya pantai biasa, dengan belasan kios jualan murah tak ubahnya pantai-pantai daerah lain di Indonesia yang kini sama-sama sulit berkembang lagi.

[caption id="" align="alignnone" width="570" caption="Seorang laki-laki tua menyeret balok kayu di hamparan pasir Pantai Parangtritis, Bantul, Yogyakarta, April 2014. Kunjungan wisatawan ke pantai yang dulu primadona ini kian merosot seiring munculnya tempat-tempat pariwisata baru. (Foto: Ratih Purnamasari)"]

Seorang laki-laki tua menyeret balok kayu di hamparan pasir Pantai Parangtritis, Bantul, Yogyakarta, April 2014. Kunjungan wisatawan ke pantai yang dulu primadona ini kian merosot seiring munculnya tempat-tempat pariwisata baru. (Foto: Ratih Purnamasari)
Seorang laki-laki tua menyeret balok kayu di hamparan pasir Pantai Parangtritis, Bantul, Yogyakarta, April 2014. Kunjungan wisatawan ke pantai yang dulu primadona ini kian merosot seiring munculnya tempat-tempat pariwisata baru. (Foto: Ratih Purnamasari)
[/caption]

Di mata wisatawan domestik, tempat-tempat yang terlanjur “basi” tidak lagi menarik untuk dikunjungi. Meskipun banyak orang yang senang bernostalgia dengan tempat-tempat wisata idolanya pada tahun 1990-an, kecenderungan mereka kini tetap mencari hal-hal baru biarpun harganya lebih mahal dan jaraknya lebih jauh. Mau tidak mau orang-orang Indonesia masih begitu konsumtif, menikmati paket perjalanan wisata sama dengan menyantap makanan atau memilih pakaian. Mereka mencari sensasi dan gaya wisata yang sedapat mungkin paling “terkini” dengan biaya yang paling murah.

Rasionalitas yang membaik lalu membuat wisatawan domestik kita mulai “pilih-pilih” tempat dengan memperhitungkan kenyamanan, keamanan, kelengkapan fasilitas, dan hingga pelayanan. Jika tiket pesawat sedang promo, orang-orang di Jawa akan memilih mengikuti paket rafting di Ubud, Bali ketimbang menjajal wisata air yang sama jernihnya di Tawangmangu di Solo atau menjelajah agrowisata di Dieng. Akibatnya, daerah saling bersaing dan yang banyak destinasi yang tidak ikut berbenah, merosot dan dilupakan seperti Parangtritis. (Baca juga: Siap Tak Siap Sektor Pariwisata)

Wisatawan domestik kita harus lebih produktif. Dalam artian, selain sekadar menikmati kunjungan wisata semau yang mereka pilih dengan anggaran terbatas itu, wisatawan juga harus merasa bahwa kontribusinya terhadap tempat-tempat wisata itu begitu diperlukan. Jika konsumerisme membuat orang-orang senang datang ke tempat wisata, terus makan, menginap, tetapi lalu meninggalkan sampah di pantai, semua fasilitas dan atmosfer yang dibangun di lokasi itu harus mengubah cara bersikap ini menjadi lebih teratur, sopan, dan menjaga lingkungan.

Wisatawan domestik kita perlu diajak berpikir bahwa sebagai orang Indonesia, siapapun berperan dalam membangun lokasi wisata yang bersih, teratur, dan taat-aturan. Jika di pantai Kuta dan candi Prambanan banyak sampah plastik bungkus makanan ringan, maka sebagian besar pastilah berasal dari wisatawan dalam negeri. Manfaatkan papan pengumuman, radio siar, mikrofon, atau staf penjaga, karena membangun karakter berwisata dapat dimulai dari “memaksakan” kebiasaan. Apa yang terjadi di Parangtritis kini bisa dua hal: yakni prioritas wisata idaman yang bergeser (dari pantai ke gua, misalnya), dan masyarakat yang menganggapnya tak lagi penting, terlanjur kotor, atau sudah tidak jadi prioritas penganggaran di pemerintah daerah.

Masalah lain yang menimpa banyak destinasi wisata “dulunya” popular kini merana adalah karena pengelola (baik itu pemerintah ataupun swasta) gagal mengikuti tren pertukaran informasi wisata di publik.

Data World Tourism Council pada 2010, usia rata-rata pelancong di 139 negara adalah 45,9 tahun untuk tujuan kunjungan bisnis, dan 49,9 tahun untuk kunjungan leisure. Sementara kelompok wisatawan muda yang tadinya kini kisaran usianya melebar, dari yang tadinya 18-24 tahun, kini 15 hingga 30 tahun. Kelompok usia di dua kategori ini tiap-tiapnya mewakili masyarakat yang akrab dengan teknologi informasi, yang menerima informasi tujuan wisatanya dari lebih dari satu media (televisi, majalah penerbangan, pameran pariwisata, dan internet), demikian menurut TripAdvisor.

Ini berarti, untuk menjangkau calon pengunjung, sebuah destinasi wisata harus menambahkan corong informasinya tidak hanya dengan surat kabar dan radio, tetapi juga internet, aplikasi ponsel, bahkan iklan televisi. Senang sekali karena dalam dua tahun belakangan beberapa daerah mulai menjual potensi wisatanya lewat iklan digital di bandara-bandara. Walaupun kesannya masih “adu mentereng” dengan daerah lain, paling tidak itikad pembaruannya mulai mengikuti potensi pasarnya pula.

Dari sudut pandang wisatawan domestik, perilakunya pun tidak jauh berbeda. Demam teknologi genggam saat ini juga banyak membawa informasi pariwisata yang mengalir lewat linimasa Twitter dan dinding-dinding Facebook. Dan jika kita peka mengikuti trennya, kebanyakan pembeli paket wisata dalam negeri adalah kelompok (komunitas), dan bukan perorangan. Ini seperti membangun MICE dalam skala kecil. Desa Wisata Gua Pindul di Bejiharjo, Gunungkidul, Yogyakarta juga banyak menyasar kelompok muda yang peka digital ini. Tantangannya, tentu saja, memahamkan pengelolanya yang sebagian justru masih belum akrab dengan Twitter dan Facebook.

Strategi Lautan Biru

Blue Ocean Strategi atau Strategi Lautan Biru (sering juga disebut Strategi Samudra Biru) secara ringkas adalah strategi meraih keuntungan dengan keluar dari “lautan merah yang berdarah-darah” persaingan usaha dan menciptakan ruang pasar yang belum ada pesaingnya (Wikipedia). Dalam praktiknya, mengambil SLB tidak serta-merta berarti meninggalkan kompetisi yang sedang ramai, tetapi lebih penting, menumbuhkan permintaan dengan menciptakan nilai keunikan yang tidak sembarang unik, tetapi dapat menjadi pangsa pasar yang menguntungkan.

Negara yang baru-baru ini mengembangkan konsep Strategi Lautan Biru untuk banyak sektor pembangunannya, termasuk pariwisata, adalah Malaysia. Lewat badan khusus SLBM (Strategi Lautan Biru Malaysia), begitu mereka menamakannya, turut mencakup upaya pemerintah serta masyarakat Malaysia mencari potensi wisata khusus yang belum pernah ada sebelumnya, kemudian menjualnya dengan keunggulan dan nilai tambah. Program ini melibatkan pemilik hotel, usaha taman bermain berbasis alam (ecopark), sampai praktisi transportasi untuk merumuskan apa keunggulan “pasar baru” Malaysia untuk bersaing di “lautan merah” wisata tropis Asia-Pasifik.

Indonesia, dengan 17.508 pulau, jelas punya keunggulan di atas Malaysia jika ingin menerapkan strategi yang sama. Di arsip Perpustakaan Daerah Kota Yogyakarta suatu malam Agustus lalu, saya menonton video yang memutar film dokumenter “Tourism in North Sumatra”. Film ini, yang dibuat oleh TVRI, lengkap meliput wisata Pulau Nias, Tanah Karo dan Pulau Samosir, di mana ratusan wisatawan Kaukasia dan Asia Timur ramai-ramai menonton tarian Sigale-gale, tradisi sakral di depan rumah adat. Yang menarik, film itu dibuat pada tahun 1972, dan tampak pengunjung wisata Sigale-gale saat itu begitu ramai. Di film lain saya menonton tradisi Rambu Solo’, khas Tana Toraja. Tahun pembuatan filmnya juga tak lebih dari 1988, dan potret ramai wisatawannya sudah menggembirakan. Konon pada tahun-tahun itu, asal wisatawan mancanegara masih didominasi Jepang, Perancis, dan Belanda.

Strategi Lautan Biru pariwisata Indonesia dapat mendorong beberapa sektor-bidang dan daerah yang jadi keunggulan absolut (bukan komparatif). Contoh: Selain Tana Toraja, Yogyakarta, dan Bali, wisata tradisi Indonesia punya potensi di hampir semua pulau dan provinsi. Tarian Bambu Gila di Maluku, Reog dan Jathilan di Jawa Timur dan Jawa Tengah, Upacara adat Aruh Baharin di Kalimantan Selatan, atau upacara adat Tabot di Bengkulu, dapat ikut dikembangkan beriringan dengan beberapa titik penting pariwisata yang sudah maju.

Selain wisata tradisi, Indonesia juga dapat mengembangkan pangsa unik untuk jenis wisata keunggulan kita sejak dulu: edukasi bahari bawah laut (Minahasa, Manado, Kepulauan Selayar, Raja Ampat, Sabang), kerajinan tangan (kulit dan gerabah di Yogyakarta, kayu dan produk ukiran di Jepara, Bali, Kalimantan Selatan, wisata alam pegunungan (Jawa Tengah, Nusa Tenggara, Tanah Karo), dan wisata agro komoditas unggul (kopi di Gayo, Samosir, dan Tana Toraja, kentang dan singkong di plato Dieng, stroberi di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, karet di Jawa Tengah dan Sumatra bagian selatan, buah merah dan matoa di Papua), pun bisa dijual wisata jejak sejarah Hindia-Belanda atau jejak sejarah Kerajaan Islam dari Sabang dan Bukittinggi di Sumatra, Kota Tua Jakarta, Pulau Nusakambangan dan Benteng Pendem di Cilacap, Benteng Tua Banten, Pulau Buru, sampai Pulau Banda di gugusan Halmahera atau Boven Digul di Papua. Belum lagi ditambah beberapa daerah yang eksotis dijadikan lokasi pembuatan film. Ini juga dapat membantu beberapa daerah yang selama ini dianggap hanya sebagai "tempat singgah", semisal Semarang dan Aceh, memberi mereka waktu kunjungan lebih lama.

Meski begitu, pengembangan lautan biru dalam strategi pemasaran wisata Indonesia di masa depan perlu kemauan untuk menginventarisir, membina, dan menjual keunggulan-keunggulan absolut yang hanya ada dan hanya bisa dikembangkan di Indonesia, dan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Selain itu Kementerian Pariwisata sebagai regulator tunggal wajib menyelesaikan masalah-masalah mendasar seperti ketidakberaturan akses, pembinaan pedagang, permasalahan sampah dan toilet, di samping berharap agar infrastruktur pariwisata kita membaik. Karena seperti kata Rhenald Kasali dalam sebuah acara di Manado 2010 lalu, “Kita negara sangat kaya (dalam hal pariwisata) hanya belum optimal mengelola kekayaan (ini).”

Pariwisata produktif yang akan menjadi senjata bagi Indonesia dalam persaingan bebas 2015 ini akan sangat besar jika diseriusi membangun kecakapan sumber daya manusia, ketelitian merencanakan, serta keterbukaan menyampaikan. Jika MICE dan industri kreatif masih berputar-putar di Yogyakarta, Jakarta dan Bali saja, maka mulai tahun ini sosialisasinya disebarkan ke lebih banyak daerah dengan cara yang sesederhana mungkin: mulai dari festival musik, acara-acara komunitas, media promosi online dan offline, dari kelompok manajer hingga karyawan biasa ataupun pedagang jalanan.

Kabar baik berhembus saat Presiden Joko Widodo mulai menerapkan kebijakan Satu Peta untuk agraria. Jika memungkinkan sektor pariwisata juga punya Satu Peta untuk membangun strateginya untuk 17.508 potensi pariwisata kita di seluruh Tanah Air, maka akan jadi satu langkah muda bagi semua pemangku kepentingan untuk merumuskan bareng-bareng keunggulan kita yang sudah ada sejak dulu. Kita bisa melampaui zaman mengurusi tanah-tanah gunung dan lautan kita sendiri, untuk “dijual” ke seluruh dunia dengan pola pemasaran yang tidak terbatas ruang dan waktu.

Masukan untuk Kementerian Pariwisata

Sebagai pengambil kebijakan pariwisata, tentu bukan perkara mudah bagi Kementerian Pariwisata  merumuskan banyak inovasi sekaligus, ditambah melanjutkan program-program yang sudah berlangsung baik selama ini. Beruntung Kemenpar memanfaatkan banyak media baru dalam menjaring ide-ide pengembangan pariwisata, seperti media sosial dan twitter.

Setidaknya publik terlibat bersuara mengirimkan keluh-kesah dan “ide-ide akar rumput”, menjadi mata dan telinga Kemenpar dari banyak tempat dan daerah dengan kekayaan beraneka ragam. Maka dengan tulisan ini pula setidaknya ada beberapa poin masukan yang dapat dikirimkan kepada Kemenpar dalam mengatasi permasalahan pariwisata selama ini, sekaligus menyambut tantangan baru mulai tahun 2015.


  1. Fokus benahi fasilitas dasar. Masalah toilet dan sampah selalu  jadi sampel penting keluhan wisatawan mancanegara terhadap tempat-tempat di Indonesia di banyak tulisan blog, berita resmi ataupun tidak resmi. Sejak mendarat di bandara sampai numpang kencing di tempat wisata air, toilet kotor pasti akan mengurangi banyak citra sekalipun objek wisatanya menawan. Beruntung Asosiasi Toilet Bersih Indonesia kerjasama Kemenpar gencar mengadakan kampanye serta penghargaan toilet bersih (tahun lalu dimenangkan Owabong, dari wisata Taman Air Bojong Sari, Purbalingga). Di tahun-tahun mendatang, setidaknya standar pemenang fasilitas dasar ini diwajibkan ke semua destinasi wisata.
  2. Pelatihan untuk sumberdaya pariwisata. Dari 139 negara pesaing, Indonesia ada di peringkat 74 untuk daya saing pariwisata. Sementara untuk merangkak dari posisi itu, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia belum jauh dari peringkat 95. Padahal, era pasar terbuka dan persaingan bebas 2015 sudah dimulai, di mana membuka kesempatan banyak tenaga pariwisata dari banyak negara Asia Tenggara dan Timur, saling bersaing berebut pasar. Di samping itu, ada banyak wilayah pariwisata penting di Indonesia yang memerlukan bantuan akses informasi dan  teknologi (ICT) sebagai pendorong kompetensi manusia pariwisata, contohnya Raja Ampat di Papua yang hingga kini belum teraliri penuh listrik dan jaringan telekomunikasi. Tanpa jaringan informasi, pelatihan pembangunan sumber daya manusia akan banyak menemui kesulitan. Perlu juga diadakan pertukaran ilmu pariwisata antara wilayah-wilayah “terdepan” ke daerah yang merintis, semisal antara Bali-Yogyakarta dan Malinau-Pontianak.
  3. Libatkan promosi viral. Dari sekitar 83,7 juta pengguna internet Indonesia, di mana 80 persen di antaranya berusia 15-25 tahun. Ini adalah “pasukan besar” jika Kemenpar ingin melibatkan mereka dalam promosi pariwisata. Bentuk pemasaran viral tidak perlu konsep khusus atau bahasa yang terlalu baku untuk ini, dan lebih banyak bertukar info lewat tren dan “mulut-ke-mulut” atau tweet-ke-tweet. Kemenpar harus sesekali melepas wajah birokratnya dan melebur dalam masyarakat penggila informasi. Buat akun-akun representatif yang kesannya muda dan akrab, rekrut buzzer dengan strategi yang tepat bagi pangsa yang disorot. Ini kesempatan yang bagus untuk “menyisipkan” kebanggaan pariwisata kepada mereka yang paling rajin mengetik dan menayangkan informasinya di dunia yang dibaca, disukai, dan dikomentari semua orang.
  4. Think Tank. Bentuk focused group discussion yang banyak diadopsi kementerian saat ini dapat di-upgrade untuk kapasitas penciptaan ide yang lebih baik. Organisasinya, yang terbuka namun terbatas, tentu saja, harus melibatkan para pakar akademik, praktisi, pelaku bisnis, juga pemuda dengan ide-ide kreatif yang bersedia bekerja sungguh-sungguh demi inovasi pariwisata. Sama seperti kala Tim Transisi lalu mengundang Riri Riza, Dewi Lestari dan Andrew Darwis dalam pembahasan calon menteri. Think tank hanya istilah, tapi bentuk dan peranannya dapat menghasilkan sesuatu yang dahsyat jika digarap dengan sungguh-sungguh dan hasilnya ditindaklnjuti segera.
  5. Perbanyak ikon. Peta demografi pelancong yang rentang usianya makin bergeser lebih muda menuntut banyak "penampakan indah" yang dapat difoto, dipajang di akun-akun internet, atau dicetak dalam bingkai cantik. Banyak kota di Indonesia yang terbukti berhasil menarik wisatawan dengan ikon-ikon seperti tulisan TAMAN BUNGKUL (Surabaya), TAMAN JOMBLO (Bandung) , PANTAI LOSARI (Makassar) dan MUSEUM TSUNAMI (Aceh). Ikon-ikon visual dapat dibiayai secara lebih murah tetapi harus diperuntukkan dalam jangka panjang. Dengan karakter pelancong yang gemar teknologi informasi seperti sekarang, sangat besar peluang untuk memperbanyak ikon kota dan tempat wisata yang khas, unik, dan mewakili keindonesiaan.
  6. Perbaiki transparansi. Sejurus dengan visi pemerintahan baru yang menjunjung tinggi transparansi, Kemenpar tidak perlu segan-segan membuka informasi publik apapun yang dibutuhkan oleh stakeholder industri pariwisata. Peta, rencana strategis, peta fasilitas, komoditas unggul, peluang-peluang promosi daerah, jadwal kunjungan menteri, sampai program khusus di direktorat sudah seharusnya tidak hanya teronggok di web www.parekraf.go.id. Semakin publik tahu keadaan dana dan sumber daya yang dimiliki negara untuk produktivitas dan kemaslahatan, semakin simpatik dan dekat proses komunikasi yang terjalin. Ini juga penting untuk mendorong aplikasi web promosi wisata tiap daerah biar lebih rapi namun lengkap.

Memajukan pariwisata Indonesia selalu memerlukan kebaruan dan gebrakan. Meski tradisi kita lama, tetapi cara-cara baru untuk menjualnya selalu diperlukan. Mumpung gelombang informasi pariwisata dunia sedang cair-cairnya lewat media digital dan media baru lainnya, Indonesia perlu menenggelamkan dirinya lebih jauh, membuka pasar-pasar baru untuk keunggulan absolut, dan memperbaiki hal-hal mendasar yang diwariskan destinasi-destinasi terkenal kita sejak dulu.

Perkataan Rhenald Kasali waktu itu ada benarnya, bahwa “selama ini ktia gencar promosi pariwisata, tetapi lamban membangun aspek-aspek penunjangnya.” Pariwisata produktif dalam rasionalitas memerlukan kesadaran siapapun bahwa orang Indonesia harus terlibat dalam merawat, melestarikan, dan meningkatkan kualitas pariwisata tanah air. Jika mengkritik toilet kotor dianggap paling mudah, maka jangan puas sebelum pemerintah setempat atau pengelola memperbaikinya atau membuat toilet lebih representatif dalam standar global. Produktivitas dalam usaha pariwisata paling mudah kelihatan dari orang-prang kecil yang tiap hari lalu-lalang di sana dengan kepedulian, keteraturan, dan kemauan mengungkapkan idenya dalam membangun.

Tentu saja Parangtritis belum mati sebagai tempat wisata unggulan dan masih sangat bisa diselamatkan. Dan tentu saja daerah tuan rumah MICE kita masih akan tumbuh subur di banyak provinsi. Meski begitu menggarap pariwisata butuh keseriusan, membangun kekuatan melebihi sekadar promosi dan iklan. Mulai dari mana dan oleh siapa tentu saja bukan perkara yang sulit ditemukan jawabannya, asalkan kita tahu dan menyadari sebesar apa kekuatan kita, secara publik dan kolektif, mengawal pariwisata kita sampai pada wajahnya yang paling indah, mewakili kebanggaan menjual slogan Wonderful Indonesia di seluruh dunia.

---

*tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog “Wonderful Indonesia Movement” ide untuk Kementerian Pariwisata Republik Indonesia, Januari 2015.

[caption id="" align="alignnone" width="570" caption="Kepulauan Anambas (Wonderful Indonesia/Kompasiana)"]

Kepulauan Anambas (Wonderful Indonesia/Kompasiana)
Kepulauan Anambas (Wonderful Indonesia/Kompasiana)
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun