Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misteri Kematian Gadis Titipan (5)

15 April 2012   10:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:35 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13342444612111303866

(Sebelumnya ....) Pertemuan itu tak begitu mengenakkan perasaan. Thomas akan mendengarkan sesuatu yang sudah dinanti-nantikannya dengan pikiran yang terlanjut berkabut. Sedangkan anak-anak dan tetangganya seperti tersedot dalam pikiran yang sama tanpa bisa mengambil tindakan yang lebih berani. Bagi Adam, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan semua teori beserta alasan-alasan paling logis mengapa mereka harus menerima kenyataan nantinya. "Biar semuanya lebih mudah dimengerti ...," Adam mulai penjelasannya setelah sempat berdeham. "Saya akan ulangi gambaran alur kisah kasus ini dari awal." Eno, Thomas, dan semua yang di ruangan itu mengangguk, kecuali Jonas yang seperti tak tahu apa-apa. "Awal dari keterlibatan saya dalam kasus ini ketika Pak Thomas meminta saya menyelidiki kematian Greisa, seorang putri penting dari rumah ini. Penting bagi kita semua. Itu, saya yakini, didasari perasaan cinta yang mendalam dari seorang ayah kepada anaknya. Termasuk Jonas, tentunya." Lalu investigator itu melihat dengan senyum kepada anak SMP yang duduk di barisan kanan tepat di depannya. Jonas hanya menunduk, kemudian mengangguk. "Kemudian, berdasarkan keterangan hasil pemeriksaan yang berhasil kita dapatkan dari kepolisian, terima kasih inspektur Eno sudah mau menggunakan kesempitan 'menyelundupkan' kopian dokumen sampai bisa kita baca di sini." Kemudian Adam mengambil sebuah map berisi beberapa kertas dari tangan Eno. "Di dalam dokumen ini dituliskan, berdasarkan keterangan saksi-saksi dan analisis pusat laboratorium forensik kepolisian, korban dinyatakan telah meninggal dunia sebelum ditemukan di sisi rel, lima belas meter dari jalan layang Janti, tidak jauh dari rumah ini. Polisi berkesimpulan korban telah dibunuh sebelum dibuang, karena pada leher korban ditemukan bekas jeratan benda tumpul yang diduga menjadi penyebab utama kematiannya. Korban berhasil diidentifikasi dari beberapa kartu identitas di dalam dompet yang berada tidak jauh dari tubuh korban." Adam melangkah maju dan mundur seperti seorang dosen yang berceraham di depan mahasiswanya. Eno menyempatkan diri menyeruput teh hangat yang ada di atas meja. Si tetangga rumah hanya bisa diam tidak mengerti, gilirannya belum tiba. "Kemudian, polisi menetapkan Daud, pacar Greisa, sebagai tersangka dengan barang bukti foto dirinya yang ditemukan di kamar korban. Foto itu ditemukan oleh Jonas, di dekat pintu kamar pribadi korban lalu menyerahkan kepada penyelidik polisi siang hari ketika mayat sudah berada di rumah sakit. Betul demikian, Jonas?" "Betul Om." "Nah. Dari titik ini saya berangkat melalui titik balik dari cara kita memandang kasus ini. Saya selalu berpikir kasus tidak selalu lebih mudah dari kelihatannya. Maka dari itu, saya memutuskan untuk menanyai langsung yang bersangkutan. Dua hari yang lalu, saya mewawancarai Daud dan mendapatkan petunjuk penting yang bisa menjadikan alibi bahwa pada faktanya, sesungguhnya dia tidak terlibat." Semua terkejut. Tak terkecuali Thomas yang memang mengharapkan jawaban itu. "Puji Tuhan! Jadi selama ini perasaan saya benar, Pak. Sudah pasti Daud tidak melakukan hal keji seperti itu. Mereka sangat mencintai. Lalu ... kalau begitu ..." Lalu ia kembali menunjukkan wajah bingung. "Siapa yang melakukan pembunuhan ini, Pak?" Adam tersenyum dan menunjukkan telapak tangannya. "Tahan dulu emosi Anda, Pak Thomas. Biar saya selesaikan dulu." Thomas duduk perlahan kemudian perawat memberinya seteguk air putih. "Ada banyak petunjuk yang dalam dua hari terakhir mengarahkan perkiraan saya bahwa sesungguhnya Greisa tidak dibunuh oleh Daud. Memang di banyak kasus kriminal polisi akan mencurigai orang-orang terdekat korban sebagai tersangka. Tapi saya berusaha melihat kasus ini dalam bingkai yang lebih luas. Nah, ternyata, dugaan saya diperkuat oleh hal-hal yang tidak begitu menyenangkan." Investigator itu tersenyum lagi. Ia kemudian secara misterius mengedarkan pandangan ke semua orang yang duduk di situ. "Saya dipaksa terlibat dalam urusah keluarga tidak hanya secara profesional dan mental, akan tetapi juga secara fisik. Dalam bingkai kasus ini, saya mencatat tokoh-tokoh penting yang kita pahami masing-masing. Begini saya menggambarkannya. Eno, tolong bisa bantu?" Lalu Eno bangkit dan mengangkat ransel merah bergaris hitam milik Adam. Membukanya, lalu mengeluarkan lima boneka dari sana. Ia kemudian menata boneka-boneka itu di atas meja, membuat Thomas dan yang lainnya terheran-heran. "Boneka Barbie ini," Adam jongkok sambil menunjuk boneka tinggi yang dipasang tegak di sudut kiri meja. "Kita anggap sebagai putri Greisa Putri. Korban. Biar kita pasang agak jauh di sini." Thomas mengamati boneka itu dengan kesedihan yang begitu dalam. "Lalu ada Thomas Hariri, klien saya sekaligus pelapor, sekaligus ayah bagi korban. Biar saya taruh di sini." Sambil ia menggeser sebuah boneka beruang cokelat ke bagian tengah meja. "Lalu ada Jonas ...." Sambil memasang boneka kecil berbentuk serdadu tentara. "Dan satu lagi Daud. Orang yang jarang kita sentuh. Biar saya taruh di sini." Sebuah boneka kayu digeser ke dekat boneka Barbie. "Lalu, si penyerang. Yang seakan hanya saya dan Pak Thomas yang tahu. Satu lagi patung plastik tentara kecil kita taruh di sini." Pernyataan itu sempat membuat Eno, Martini, si perawat, dan juga Jonas, terkejut. "Pada awalnya, kita mengira bahwa korban dibunuh oleh si boneka kayu." Adam menggambarkan sedemikian seperti mendongeng. Semuanya menyimak tak terkecuali Eno. "Namun keberadaan penyerang kecil ini, mulai membuka mata saya. Ketakutan Pak Thomas muncul setelah dirinya merasa ada yang mengancam nyawanya. Hingga akhirnya, penyerang benar-benar berhasil melukainya di bagian dada. Kejadiannya begitu cepat, sebelum dia membuka gerbang rumah pada malam setelah melapor ke saya. Betul demikian, Pak?" "Ya kira-kira begitu kejadiannya. Saya sempat pingsan hingga akhirnya tersadar di ranjang rumah sakit Bethesda." "Siapa yang membawa Anda ke rumah sakit?" "Jonas, saya kira." "Betul begitu, Jonas?" Adam mengarahkan pertanyaan. Anak itu membalas dengan anggukan. "Saya sempat mengabaikan ancaman itu, hingga akhirnya mengalaminya sendiri. Seorang pria muda dengan tudung hitam dan jaket panjang yang terkibas-kibas seperti ninja menabrak saya saat membesuk Pak Thomas di Bethesda, dua hari lalu. Sosok sama yang saya yakini telah mengintai tempat tinggal saya selama tiga hari sebelumnya." Eno menunjukkan wajah heran. Tak percaya ada banyak cerita yang tak ia ketahui sebelumnya. Ihwal pria penyerang ini sama sekali belum pernah ia dengar. "Maaf, Eno. Ada hal-hal yang belum saya ceritakan demi keamanan." "Begitu hingga akhirnya saya berkesimpulan bahwa memang benar. Bukanlah Daud pembunuh Greisa. Akan tetapi ada seorang lainnya. Sang penyerang itu sudah saya ketahui. Maaf saya harus mengatakan ini. Tunggu sebentar, sepertinya kita kedatangan tamu lagi." Lalu semuanya terdiam. Adam menyiratkan bahasa tubuh untuk sama-sama hening. Kemudian dari kejauhan terdengar suara sirene polisi. "Nah, berka kerjasama baik saya dengan rekan Eno, kita bisa meyakini kepolisian bahwa mereka akan mendapatkan tersangka baru. Selamat datang, teman-teman." Lalu dari arah luar terdengar suara langkah kaki. Tiba empat personel kepolisian yang masuk bersiap di sekitar ruang tamu itu, sebagaimana ditunjukkan Eno. Salah seorang polisi memohon maaf karena hanya bisa membawa empat orang. Tapi satu perwira nampaknya ikut tertarik dengan undangan tak biasa ini, yang mereka tidak tahu dikirim oleh siapa." "Karena kita sudah aman oleh bapak-bapak polisi ini, marilah kita biarkan sang tersangka baru kita untuk berbicara. Bisakah Anda katakan sesuatu kepada kami semua di sini...." Kalimat itu terputus selama dua detik, sebelum dilanjutkan. "... saudara Jonas?" Thomas, si perawat, si tetangga, dan keempat personel polisi itu terkejut. Jonas langsung bangkit dan memprotes, sempat akan menyerang Adam namun seorang petugas dengan sigap menangkap kedua lengannya. Di temukan sebuah pisau pemotong kertas kecil dari telapak tangan kanan bocah itu. Thomas ikut bangkit sambil memegangi dadanya. "Jonas! Apa-apaan ini? Jadi benar selama ini kamu yang membunuh kakakmu sendiri?" Anak itu mengatur napasnya, memandang dengan mata elang penuh kemarahan kepada Adam yang justru tersenyum. Lalu menunduk ketika menghadap ayahnya. "Bukan ...," katanya lirih. Namun Thomas justru mendekat berniat menampar anak kecilnya sendiri. Beruntung perawat dan Adam bisa menenangkannya kembali. "Tenang dulu, Pak. Biar saya jelaskan lagi lebih lengkap." (Selanjutnya ...)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun