Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misteri Kematian Gadis Titipan (3)

14 April 2012   07:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:37 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13342444612111303866

(Sebelumnya ....) Memang bukan pencarian yang terlalu memuaskan. Tapi beberapa hal kecil terendus dari beberapa bagian rumah. Bagi Adam, bahkan satu kata yang baru saja ia tuliskan di buku catatannya pun bisa menjadi penentu penting pemecahan kasus ini. Ia masih sempat berkeliling sekali lagi memastikan semua sudah ada di kepala, setidaknya pemandangan itu tak mengurangi rasa ingin tahunya akan hal yang lebih memuaskan. Dalam beberapa saat setelah melihat ruangan lain ia sudah mengikuti Jonas dari belakang sambil merapikan buku catatannya. Ia lalu menutupnya dengan telapak tangan saat ia tersenyum melihat anak SMP itu dari belakang. Jonas tergolong cukup tinggi untuk ukuran anak SMP kelas VIII. Rambutnya dicukur rapi meski ikal di kedua sisinya. Kakinya lurus meski punggungnya tidak tegap sempurna. Matanya juga nanar dan suka mengamati sekeliling. Sekilas Adam menangkap kesan cerdas dari anak itu, meski di satu sisi ada yang mengganggu pikirannya. Eno dan rekannya sudah berada di luar rumah lebih dulu, mengumpulkan beberapa lampu dan rompi puslabfor yang ketinggalan lalu melemparkannya begitu saja ke jok bagian belakang mobil patroli. Rekannya pamit kepada Jonas dan langsung mengambil alih kemudi. Sementara Eno menghampiri Adam, bercakap-cakap sebentar lalu pamit. Ia juga berterima kasih kepada tuan rumah kecil, bersalaman lalu mobil polisi itu pun menjauh ke luar dari gang. "Terima kasih, Jonas. Ini sangat membantu. Kamu jaga diri di rumah ya," kata Adam ketika berpamitan. Jonas mengangguk dan membalas terima kasih. "Oh iya." Adam teringat sesuatu. Jonas menatap penasaran sampai Adam bertanya lagi. "Jonas tahu ada rumah atau kontrakan anak-anak Papua di sini? Atau Ambon, mungkin?" "Kos Papua?" Adam mengangguk. Namun Jonas menggeleng. "Baik. Sekali lagi terima kasih. Tolong kabari saya kalau ada kabar terbaru dari Ayahmu. Titipkan salam saya." Anak itu tersenyum, kemudian langsung berjalan ke dalam rumah, yang, membuat Adam heran karena mobil Kijang tua itu masih terparkir di gang. Mungkin anak itu akan keluar lagi, pikirnya. Malam tetap saja jauh lebih hangat daripada waktu-waktu biasanya. Hujan sedang tidak ingin mendekat membawa awan pindah ke tempat lain. Di bawah pohon mangga yang menaungi agak tinggi, Adam mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di atas badan meja kayu yang bundar dan tidak terlalu besar. Lututnya terkadang goyang-goyang tanpa ia sadari. Pelayan baru saja mengantarkan sepiring kentang goreng lagi ke atas meja itu. Bunyi aliran air Selokan Mataram terdengar lebih merdu daripada dentuman musik yang kualitas suaranya tidak seimbang. Adam lalu mengeluarkan buku Moveable Feast untuk mengusir rasa bosan. Baru lima belas menit dan bacaannya baru mencapai halaman keseratus, cahaya dari lampu sorot mobil yang mendekat membuyarkan konsentrasinya. Ia tersenyum melihat siapa yang datang. "Ernest Hemingway. Nobel Kesusastraan 1954." Adam tersenyum dan tanpa sadar ia sendiri melihat sampul buku yang sudah sering dibacanya itu. Ia berdiri kemudian menyambut tamunya. "Tidak kusangka seorang polisi yang hampir naik pangkat adalah penyuka sastra juga. Terima kasih sudah datang, Eno." "Tidak. Tidak. Aku hanya suka dengan orang-orang peraih hadiah Nobel. Mereka membawa perubahan." Adam mengangguk maklum lalu mempersilakan tamunya duduk. Mereka memesan dua gelas jus alpukat dan semangkok sop ayam dan dua nasi yang kemudian habis dalam hitungan menit. "Tidak banyak kulihat polisi pakai kacamata. Bukannya itu tidak lazim?" kata Adam setelah membersihkan bibirnya dengan tisu. "Memang. Tapi bukan berarti tidak boleh. Aku rabun setelah jadi polisi." "Sekarang sudah ajun inspektur satu ya." "Inspektur dua." "Oh." Adam mengangguk setelah menyeruput lagi jus alpukatnya. "Dan rambutmu gondrong. Mirip orang Jepang." Eno terkekeh sambil memegang sendiri rambutnya yang ditata menyamping namun cukup elegan. "Ini agak panjang tapi  bukan gondrong. Bedakan." Kata "agak" ia tekankan sedemikian rupa. Adam mengangguk mengalah.  Ia menghela napas lalu menghela napas, seperti menikmati rasa kenyang yang seperti sudah lama tidak ia rasakan. Eno menggeleng melihat perubahan yang tidak banyak dari teman lamanya itu. "Ada kemajuan apa dari kasus Greisa?" "Almarhum. Almarhum Greisa. Kita harus berikan predikat tepat bagi orang yang meninggal." Eno tersenyum kecut. Dalam hatinya ia datang bukan untuk diceramahi. "Oke. Oke. Ada kemajuan apa?" "Tidak banyak. Justru aku mengundangmu kemari untuk membantuku merunut masalahnya ini lebih baik. Terus terang, selama empat hari terakhir sejak kasus ini pertama mengetuk pintu kamarku, aku merasakan banyak perbedaan dalam pola pikirku. Meski merasa lebih peka terhadap hal-hal lebih kecil yang tak diperhatikan orang, tetap saja aku merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang penting, tidak diperhatikan, yang bisa jadi adalah kunci dari kasus ini. Dalam situasi seperti ini, tidak ada yang bisa kuandalkan untuk membantu kecuali orang yang benar-benar paham situasi ini. Dan beruntungnya, pagi ini aku ketemu kamu. Aku berharap ada rekan memikirkan hal ini. Karena pikiran ..." "Cogito ergo sum." "Aku berpikir maka aku ada. Descartes." Mereka saling membalas anggukan. Adam kembali menghela napas, lalu mereka terdiam selama beberapa detik, seperti mengumpulkan serpihan kata. "Satu-satunya petunjuk adalah pesan kematian. Aku sebut pesan kematian, justru aku merasa ada banyak petunjuk di dalamnya. Coba lihat ini." Adam lalu membuka buku catatannya yang bertuliskan isi pesan terakhir Greisa kepada pacarnya Daud. "Apa pendapatmu?" tanyanya.

P15ONSiO2MESSAGEOVER.FOWERatSAPO

Eno berpikir sejenak setelah membaca pesan itu. "Aku sudah memecahkan beberapa bagian. Bagian P15, SiO2, dan SAPO, sebagaimana petunjuk yang diarahkan oleh Daud. Anak muda itu berpikir pesan ini sudah tuntas sebagai teka-teki harian. Tapi aku berpikir ..." "Ya. Tentu saja tidak sesederhana itu." "Greisa bisanya menulis 'OVER' sebagai penanda pesan berakhir. Tapi di pesan terakhir ini ia tuliskan lebih terang-benderang dengan tambahan kata 'MESSAGE'. Jelas ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Aku berpikir, justru ia seperti punya intuisi, seakan tahu bahwa ia segera mati." Eno mengangguk. Ia menempelkan ujung telunjuknya seperti menyisir bagian bawah tulisan itu. "Ini ...." "Tinggal FOWER itu yang belum aku pecahkan. Kira-kira ...." Eno tiba-tiba menepuk keningnya sendiri. "Bodoh!" Adam terkejut, merasa bodoh serupa. Keningnya dikerutkan. "Penerbangan! Ini alfabet penerbangan. Aviation alphabet. 'FOWER' adalah bunyi pengucapan untuk 'FOUR'. Empat. Nah!" Eno menjentikkan telunjuk yang beradu dengan jempolnya. "Bunyi vokal satu ini tidak begitu populer sampai pada akhirnya muncul dalam analisis penyebab kecelakaan fatal pesawat jamaah haji Indonesia yang jatuh di Srilanka Tengah pada 4 Desember 1974 silam. Jarak yang tinggal 14 mil salah digambarkan pilot dengan menyebutkan 'fourteen' yang oleh menara pengawas bandara setempat didengar seolah menyebutkan 'fourty'." Eno melanjutkan penjelasannya ketika Adam menyimak dengan cermat. "Investigasi menyebutkan pilot melakukan kesalahan. Seharusnya ia menyebutkan "ONE FOWER" bukannya "Fourteen" agar menara menangkap dengan jelas bahwa jaraknya benar adalah 14 mil. Tragedi besar, justru karena kesalahan kecil." Eno menutup penjelasannya sambil menyandarkan punggung ke kursi kayu yang cukup santai itu. "Jenius!" Adam berseru seketika. "Sungguh beruntung diriku ini karena ada kamu, Eno. Jujur selama ini kuanggap semua polisi itu bodoh." Eno kembali menegakkan badan dan menujuk-nunjuk, tapi Adam mengalihkan perhatiannya dengan berkata kemudian. "Maaf. Kita sudah dekat dengan petunjuk penting ini. Berarti, maksud kata 'FOWER' yang dituliskan Greisa kepada Daud malam itu sesungguhnya berarti empat. Yang berarti ...." "Ada sesuatu, bermakna empat, yang ia sengaja tunjukkan." Adam kemudian merogoh tasnya, yang lalu dengan sangat hati-hati mengeluarkan bungkusan kain berbentuk bulat, kemudian ia letakkan di atas meja. Eno memperhatikan dengan terkagum-kagum betapa temannya itu masih ahli dalam mengutil barang. "Gelas-gelas itu ..." Adam meletakkan telunjuk di bibirnya sambil berkedip sebelah mata. "Ya. Inilah 'FOWER' itu. Jadi ternyata instingku benar saat tadi akhirnya memilih barang-barang ini sebagai petunjuk. Aneh ketika lemari kecil dipasang di belakang pintu yang besar kemungkinan akan mengalami guncangan akibat gerakan pintu terbuka dan tertutup, dan di atasnya ada empat buah gelas tegak. Ini pasti disengaja, dan ada maksud di dalamnya." Eno menggeleng lagi ketika Adam mengangkat senyum kemenangan. "Jadi ini ya. The Four Glasses. Sampai kapan kamu akan mencuri barang-barang orang?" "Hanya jika benar-benar terkait pemecahan kasus. Empat gelas inilah yang dimaksudkan dalam rangkaian terakhir pesan SMS Greisa. Gadis itu menjadikan empat gelas ini sebagai ..." "Fosfor dan kaca!" Eno bangkit dari kursinya. "Adam, ayo." Adam mengangguk kemudian tak sampai beberapa menit mobil sedan Altis itu sudah membelah jalan-jalan kota, menuju ruangan tempat pikiran disatukan. Adam banyak menimbang-nimbang lagi analisisnya sambil mengamati perubahan wujud yang terjadi di empat gelas itu. "Apa benar keempat gelas itu bisa menuntun kita mengetahui siapa pembunuh sebenarnya?" "Tergantung bagaimana kita menerjemahkan pesan ini." Keempat gelas itu sebetulnya tidak spesial dalam bentuk. Model gelas anggur yang mewakili empat bentuk. Dua berwarna kaca hitam dengan tinggi yang sama meski salah satunya berbentuk lebih ramping di bagian mulut. Sedangkan dua gelas anggur lainnya, yang ukurannya lebih pendek, bening hingga tembus penglihatan. Adam memperhatikan cahaya yang memendar di keempat gelas itu. Ia mulai mencatat beberapa kalimat di lembar baru buku catatannya. "Kita butuh ruangan yang lebih gelap," kata Eno setelah memasukkan gigi keempat. Sedangkan Adam berdeham. Mobil itu melaju lebih cepat di jalan bebas hambatan. (Selanjutnya ...)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun