Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misteri Kematian Gadis Titipan (2)

13 April 2012   07:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:40 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13342444612111303866

(Sebelumnya ....) Dua hari setelah insiden kecil di RS Bethesda, Adam Yafrizal tetap tenang meski ia menyadari telah terlibat dalam sebuah masalah keluarga yang tak diketahui banyak orang. Ia pun mulai apatis kepada pihak berwenang ketika nalurinya mengatakan memang ada sesuatu yang salah dengan kematian Greisa. Kasus ini belum selesai dan kepolisian kehilangan fakta penting yang bisa memutarbalikkan status hukum seseorang. Guna memastikan perasaannya itu pula, setelah menikmati sarapan telatnya ia memilih menuju kantor polisi kota besar Yogyakarta menemui seseorang yang bisa saja menjadi saksi kunci. Matahari cukup menyengat ketika ia mengambil jalur Malioboro ke arah selatan dan berbelok ke timur sebelum Gedung Agung, simbol kepresidenan di Tanah Ngayogyakarto. Pandangannya selalu tersejukkan tiap kali lewat di persimpangan itu. Sesaat kemudian ia sudah tiba di halaman Poltabes. Ia mengambil karcis parkir untuk motornya, dan berjalan santai. Kantor Poltabes Yogyakarta tidak begitu besar, meski kompleksnya ditata sangat teratur. Ia mengeluarkan sebuah buku tulis kecil dan pulpen dari tas itu ketika tiba di meja lapor tamu. Setelah bernegosiasi dengan dua petugas jaga yang nampak merangkap tugas mengelola jasa perpanjangan SIM, ia menitipkan sebuah surat yang sudah ia tuliskan sesuatu di atasnya. Surat kecil itu dibawa oleh salah seorang petugas ke bagian  belakang kompleks melewati koridor yang gelap karena terhalang dua gedung sebelah Selatan. Butuh sekitar lima belas menit hingga akhirnya petugas berambut cepak itu kembali ke pos jaga. Adam yang gerah menunggu meletakkan buku Moveable Feast yang dibacanya, memasukkannya ke tas lalu bergegas mengikut petugas itu ke arah koridor. "Lima menit, Pak." Petugas itu memberi aba-aba batas waktu besuk kemudian mengambil posisi menjaga seperti anjing di sekitar kandang domba-domba. Adam berterima kasih lalu masuk ke sel yang lalu ditutup oleh petugas lainnya. Adam mengunggah senyuman namun dibalas raut curiga. Pemuda itu mengenakan celana berbahan denim, khas sebagaimana dikenal dengan istilah yang sebetulnya adalah merek, "jins". Bahan denim adalah istilah asli yang tak banyak dikenal oleh penggunannya yang kebanyakan anak muda. Adam menyalami dan memperkenalkan diri. "Kamu pasti Daud. Boleh minta waktu sebentar?" Namun pemuda itu diam. Sorot matanya kosong meski Adam menangkap segurat senyuman di sudut bibir pemuda itu. Daud menunduk, namun Adam tetap bersikeras untuk mengobrol. Malah dia mengeluarkan buku kecil dari tasnya dan sebuah alat tulis. "Kamu tentu paham pesan yang saya kirim barusan." "Untuk apa Anda datang kemari? Saya tidak perlu bantuan." Adam membalas dengan senyum. Ia melihat ke arah luar melalui jeruji-jeruji besi hingga pandangannya menembus sela-sela daun beringin yang bergerak-gerak lunglai seperti menikmati belaian angin. "Di mana-mana, setahu saya, Nak. Angin segar di luar sanalah yang paling baik. Tidak ada yang menginginkan keadaan di dalam penjara. Bahkan bagi mereka yang rela membayar jutaan rupiahpun." Daud mengangkat wajah seperti memprotes. Tapi kalimatnya tak kunjung keluar untuk menyanggah ungkapan Adam barusan. Ia kemudian berdiri dari bangku kecil tempatnya duduk selama berjam-jam dan mondar-mandir seperti orang berpikir keras. Adam mencatat sesuatu di buku tulisnya, menyobek lembaran yang baru saja ia tulisi, kemudian menyerahkannya kepada Daud. Pemuda itu sempat curiga namun akhirnya membaca pesan itu pada akhirnya. "Tentu saja aku sangat mencintainya. Dia satu-satunya." Adam tersenyum lagi. "Saya percaya itu. Sebagaimana calon ayah Anda mempercayai Anda." Ia lalu merendahkan suaranya, seperti orang yang berbisik. Ia mendekatkan posisi duduknya ke Daud. "Seberapa dekat kamu dengan Greisa?" "Kami melakukan apapun bersama-sama." "Kalian punya rahasia bersama?" "Tentu. Hanya kami yang tahu." "Begitulah pasangan yang saling cinta. Dan saya tidak ada alasan sedikitpun untuk tidak percaya padamu. Sekarang. Maukah kamu percaya aku untuk kali ini saja? Kalaupun kamu tidak mau percaya dengan semua yang akan aku bicarakan, aku terima. Dan setelahnya aku tidak akan mengganggumu lagi. Dan kita bisa bersama-sama membiarkan Greisa istirahat dengan tenang tanpa sesuatu yang mengganjal jiwanya. Setuju?" Daud bernapas lebih cepat, namun ia perlahan mengagguk. Matanya kembali menatap Adam. Hidungnya yang mancung seperti ingin mematuk kata demi kata yang ditawarkan orang asing itu. "Baiklah. Saya kasih dua menit." "Terima kasih," kata Adam kemudian membuka halaman baru di buku catatannya. "Saya hanya akan mengajukan beberapa pertanyaan. Kamu boleh menolak bila keberatan dengan pertanyaan saya. Yang pertama. Apakah Anda membunuh Greisa?" "Pertanyaan macam apa itu? Aku mencintainya bagaimana aku bisa membunuhnya?" "Tapi polisi yakin demikian. Anda yang terakhir bersama korban malam sebelum kematiannya. Apakah Anda akan menyanggah itu?" "Tidak." "Jadi betul Kamu dan Greisa bersama-sama pada Kamis malam sebelum akhirnya ia ditemukan tewas di pinggir rel Janti pada Sabtu subuh?" "Betul." "Siapa yang menghubungimu pertama kali bahwa Greisa meninggal dunia?" "Adiknya. Jonas." Adam terdiam sejenak. Ia mencatat beberapa kata di bukunya kemudian lanjut lagi. "Apakah selama ini ayah Greisa cukup baik padamu?" "Baik. Sangat baik. Pak Thomas sudah seperti ayah bagiku. Kami selalu memancing bersama jika beliau tidak sedang bekerja di penerbitan." "Bagus. Terima kasih. Pertanyaan terakhir." Daud memperbaiki posisi duduknya. Seperti seseorang yang menyiapkan mentalnya agar lebih kuat. Sesekali ia termenung selama beberapa detik namun kembali menyimak pertanyaan yang disampaikan Adam. "Apakah Greisa mengirim pesan yang tidak biasa sebelum kematiannya? Mungkin lewat kata-kata saat makan malam, SMS, atau smiley waktu chat?" "Ada. SMS. Tapi, sepertinya tidak penting buat diselidiki. Kami selalu bermain teka-teki sejak awal jadian. Dia suka sekali teka-teki." Adam mengangkat tangannya menyeka dagu saat lengan lain menopang di dada. Ia menyimak dengan cermat. Ia yang juga penyuka teka-teki tentu tertarik setiap kali telinganya mendengar kata-kata itu terlontar dari mulut seseorang. "Teka-teki biasa saja. Model anak muda yang ingin pacaran unik dan seru, tidak seperti kebanyakan muda-mudi yang lain." Adam mengangguk. "Boleh saya lihat pesan singkat itu?" "Yang isinya teka-teki?" "Iya." "Mudah. Saya sudah menjawabnya dan dia membalas dengan 'I LOVE YOU'." "Di mana pesan itu?" "Di telepon genggam saya. Ada di kantong barang bukti." Adam terdiam. Itu adalah petunjuk penting yang kini berada di tangan kepolisian. Tak mungkin ia melakukan kejahatan baru untuk mengungkap kejahatan. Kemudian ia bertanya lagi. "Okelah tidak apa. Masih ingat kira-kira apa isinya?" "P15ONSiO2MESSAGEOVER.FOWERatSAPO." Adam mencatatnya dengan ukuran huruf besar di tengah halaman dan menambahkannya dengan kotak yang ia coretkan sekenanya berkali-kali. "Dia jurusan kimia, jadi saya ikut mempelajari nama-nama kimia. P15 adalah simbol kimia untuk ..." "Fosfor." Adam menebak sambil menulis. Senyumannya begitu ringan, seperti menemukan arah cahaya. Daud yang memperhatikan malah terheran-heran. Penampilan seorang pria yang menua seperti Adam sungguh tidak meyakinkan di matanya bahwa orang semacam itu paham pelajaran kimia. "Dan SiO2 adalah simbol salah satu unsur kimia penyusun kaca. Silikon Dioksida. Dia mengaku kalah malam itu, dan justru membalas pesan saya dengan kata cinta. Sungguh, Mas. Saya ..." Lalu Daud terisak. Kedua tangannya diangkat menutupi matanya. "Sebentar. Sebentar. Saya paham perasaanmu. Tidak gampang rasanya kehilangan orang yang dicintai." Adam kini benar-benar bersimpati. Seperti darahnya ikut berdesir makin hangat ketika telapak tangannya ia letakkan di pundak anak itu. Ia merasakan kesamaan perasaan yang sebenarnya tak ingin ia rasakan. "Sekarang. Bagaimana dengan dua kata tambahan itu? Sudah kamu pecahkan juga?" Daud mengangguk. Matanya masih berkaca-kaca. "MESSAGEOVER" adalah penanda teka-teki selesai hari itu. Biasanya ia tuliskan OVER tapi saya yakin artinya sama. Kemudian "SAPO" adalah kata Bahasa Selayar yang artinya rumah. Itu penanda jawaban setelah pada sore harinya kami masih bingung akan ketemu di rumahnya pagi keesokan harinya. Adam mengangguk puas dengan jawaban itu. Ia melipat halaman tempat ia menuliskan beberapa informasi yang didapatkannya dari saksi penting ini. "Baiklah, anak muda. Angkat wajahmu. Seberat apapun masalah ini, yakin saja ada yang selalu mendukungmu. Kamu sudah hubungi orang tua?" Daud mengangguk. "Baguslah. Berarti dalam waktu dekat mereka akan tiba di sini. "Dan saya, sebagai seorang profesional yang sudah diterima di sini, mengucapkan terima kasih. Saya janji akan menyelesaikan kasus ini, dan mengungkap fakta yang sebenarnya." "Ada yang ingin kamu sampaikan lagi?" Daud untuk sejenak diam saja diam saja. Adam kemudian melangkah keluar ketika tiba-tiba tangannya tertahan. Daud menggamatnya kemudian berlutut dan kembali menangis. "Tolong. Jangan bawa-bawa keluarga Greisa ke dalam masalah ini, Pak. Saya rela dipenjara demi kekasih saya, tapi tolong jaga baik-baik keluarganya. Greisa kehilangan ibunda sejak SMP dan ia banyak bercerita betapa ia tak ingin kehilangan keluarga lagi." Adam kembali berpikir sejenak. Namun tangannya menyambut tarikan Daud dan memapahnya berdiri. Ia mengangguk penuh hormat kemudian permisi. Tak lupa ia menyodorkan bungkusan rokok di depan sel yang kemudian langsung disambut dengan tarikan sebatang dari dalam bungkusan itu oleh petugas jaga. Tasnya ia rapatkan kembali dan meninggalkan Poltabes ketika adzan berkumandang. Daud merapatkan dua tangannya di dua jeruji berbeda. Matanya seperti menembus keluar ketika ia melihat tajam punggung Adam yang menjauh. Di sudut bibirnya, senyum tipis itu terangkat lagi. Jalanan perbatasan Kabupaten Sleman dengan Kota Yogyakarta relatif lapang dan luas. Sepeda motor bisa mengambil jalur berbeda bahkan melakukan manuver zig-zag ketika lalu lintas tak seramai jam-jam sibuk. Namun banyak hal yang membuat Adam justru mengendarai motor bebeknya dengan kecepatan yang tak begitu tinggi. Ia menyerahkan sepenuhnya kendali setang dan rem kepada alam bawah sadar, ketika pikirannya justru masi tersebar di banyak tempat. Sebagian masih memikirkan sisa-sisa perbincangan singkat dengan pacar korban, kepingan pikiran lain berusaha mengingat-ingat insiden penyerangan di rumah sakit dan sosok pemuda bertudung hitam yang misterius, dan sisa pikirannya ia gunakan untuk membangun bayang-bayang petunjuk tentang apa yang akan dilakukannya setelah ini. Di ujung Jalan Adisutjipto bagian kota, tepat di bawah jembatan layang Janti yang membentang dari selatan menuju timur, ia membelokkan motornya ke Gang kecil tempat ia datang beberapa hari sebelumnya. Adam terkejut karena sudah terparkir sebuah mobil polisi patroli di depan rumah Thomas Hariri. Ia melihat dua orang polisi muda turun dari mobil itu dan berjalan melihat-lihat sekitar. Ia kemudian menghentikan motornya, mengambil tempat parkir di sisi lain gang, kemudian menyapa kedua petugas tersebut. Ia berpura-pura bertanya bak seorang jurnalis kanal kriminal. Belum sempat ia mendekat ketika dari arah jalan besar mendekat sebuah mobil TOYOTA kijang keluaran tahun 1994 merah tua. Mobil itu mengeluarkan bunyi aneh dari beberapa bagiannya ketika berhenti. Adam mengernyitkan dahi karena ternyata yang mengendarai mobil itu adalah Jonas, adik dari korban yang juga anak dari Thomas Hariri. "Jonas. Dari Bethesda?" "Iya, Om." Anak SMP itu membalas jabat tangan dengan sopan. Kemudian dua petugas polisi itu juga mendekat dan memohon izin kepada Jonas. Adam memperhatikan salah seorang polisi yang baru saja melepas kaca mata dan topinya. "Eno?" Adam menyapa. "Adam? Ngapain di sini?" Adam tertawa. Mereka kemudian bersalaman sangat akrab sampai-sampai kedua tangan mereka saling berguncang. Adam sempat ingin memeluk namun Eno menangkis sambil menutup hidungnya. "Kapan terakhir kamu mandi?" Adam tertawa diikuti Eno dan dua orang lainnya itu. Eno yang kemudian mengenakan kacamata bening lalu memperkenalkan rekannya. Sementara Adam membantu memperkenalkan kedua polisi itu kepada Jonas sang tuan rumah kecil. Eno dan rekannya mengaku diminta satuan untuk melakukan inspeksi rutin di rumah itu, sekaligus mengambil beberapa barang sisa investigasi. Jonas dengan senang hati mempersilakan dan ketiga tamu itu diajak bersama masuk ke rumah. Adam berjalan paling belakang dan sempat menggerak-gerakkan hidung ketika melintas di sisi mobil Kijang tua yang jendelanya terbuka. Mobil yang kurang dirawat, pikirnya. Ia tak bisa melihat ada barang apa saja di dalam sana karena penataan yang kurang baik. Seperti mobil itu tak pernah diperbaiki apalagi dicuci. "Bau ya, Om? Maaf. Mobil lama memang. Kak Greisa tidak pernah mau naik mobil itu." Jonas tersenyum ketika menjelaskan singkat. Adam mengatakan tidak masalah lalu dalam beberapa menit mereka sudah berada di bagian tengah rumah itu. "Masih bekerja seperti detektif?" Eno menyahut tanpa melirik. Pandangannya sibuk mengamati rumah yang cukup megah dengan lampu kristal menggantung di tengah ruang tamu itu. "Investigator pribadi." "Apa bedanya dengan detektif?" "Beda lah pokoknya." Eno menggeleng atas jawaban yang tak sesuai harapan. Lagipula pikirnya itu bukan waktu yang tepat untuk berdebat masalah yang tidak esensial saat ini. Ia dan rekannya berjalan ke arah dapur, berpisah dengan Adam yang ditemani Jonas melihat-lihat ke lantai dua. Jonas membawa Adam ke kamar Greisa yang berada persis di depan tangga. "Ini kamar kakakmu?" Jonas mengangguk. Ia membuka pintu putih yang tidak terkunci. "Apa tidak apa-apa kita masuk?" "Om tidak mau masuk?" Jonas menyambar pertanyaan dengan pertanyaan. Itu jelas mengalahkan pertanyaan sebelumnya. Hingga akhirnya, Adam sudah menginjakkan sepatunya di ujung karpet kamar itu. Tirai-tirai dibiarkan jatuh menutupi dua jendela besar yang langsung menghadap gang depan. Wangi semerbak parfum menyeruak seisi ruangan ketika alat penyemprot otomatis bekerja. Adam menyempatkan diri mengisi penuh paru-parunya dengan udara wangi itu, seperti membalas hirupannya dari mobil di bawah tadi. Saat Jonas mematikan lampu kamar mandi, Adam mengamati beberapa benda sambil berjalan sangat hati-hati. Tak banyak di ruangan itu, meski nyatanya dihuni oleh seorang mahasiswi. Nampaknya predikat "orang teknik" masih membenarkan sangkaan yang merujuk pada ketidakaturan, berantakan, dan apa adanya. Di pikiran Adam, justru inilah yang menarik. Ia memperhatikan lampu yang menggantung di atas karpet, sudut-sudut ranjang, dan beberapa balok di bagian atas pintu kamar mandi. Ia menyeka jarinya di kusen jendela saat matanya mengintip pemandangan gang kecil yang nampak cerah dari ruangan itu. Ia berpikir sejenak, nyaris termenung hingga akhirnya Jonas memanggil bermaksud mengajaknya melihat ruangan-ruangan lain. Anak itu berjalan duluan keluar seperti mendapat teman main baru. Adam ikut dengan langkah pelan di belakang. Saat berjalan keluar kamar itu, ia melihat sebuah lemari pendek di belakang pintu, tempat diletakkan beberapa boneka dan barang-barang hadiah ulang tahun. Ada yang menarik perhatiannya. Setelah beberapa detik, ia keluar sambil merapatkan kancing tasnya. "Mau mencuri barang itu?" Eno yang tiba-tiba berdiri di depan pintu kamar mengejutkan langkah Adam. Investigator cerdik itu hanya tersenyum. Eno juga tersenyum. Kemudian mereka berlalu seperti tak menemukan apa-apa. (Selanjutnya ...)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun