Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menghilangnya Arza Basyahril (8-habis)

6 Mei 2012   07:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:38 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13351511641779713661

(Sebelumnya ....) “Tidak semua orang bisa kamu beli, nona. Kupikir Dimas awalnya bagian dari kelompokmu juga, sindikat penipu yang membayar banyak orang untuk menjebak siapapun yang diinginkannya ikut bermain. Tapi semua orang bisa mengikuti nalurinya kan. Aku berdoa yang terbaik saja bagi anak itu.” Adam menggeleng kemudian ruangan itu hening sesaat. “Lady Papyrus. Itu nama yang bagus.” Adam bersuara lagi. “Kamu akan mudah dikenal sebagai perempuan hitam yang lebih mirip bayangan kelabu. Berdiri di arena abu-abu yang tak jelas apakah golongan jahat, atau penolong kebaikan. Aku kira kamu bisa berperan jadi keduanya dalam waktu yang bersamaan. Satu-satunya misteri  yang belum kupecahkan, adalah pertanyaan ‘mengapa’. Aku tidak habis pikir, seperti hidup duapuluh empat jam di dalam lembar-lembar fantasi. Untuk apa kamu melakukan ini semua?” Gadis itu berdeham, seperti ingin menertawakan lirih. Bibirnya mengguratkan senyuman tipis yang tersembunyi di balik kuasa yang sangat independen. “Adam Yafrizal.” Akhirnya suara itu keluar juga. “Sudah lama aku mengikuti jejakmu.” Kemudian topi dan kain penutup leher itu terbuka. Yang nampak kini jelas adalah wajah Marlistya. Beberapa lembar karet gelatin yang telah sobek kemudian jatuh berserakan di lantai, bersama serat pembentuk rambut yang dilekati sisa-sisa lem di permukaannya. Gadis itu kemudian meregangkan tubuhnya seperti akan senam. Jas itu terbuka di bagian dada memperlihatkan bagian feminin yang tak bisa disangkal kecantikannya. Bentuk tubuh langsing dengan lekukan rapi di dua sisi pinggangnya serasi dengan posisi dua tungkai yang ditegakkan agak merapat. “Aku sadari tidak memperhitungkan banyak hal dalam rencana ini. Terlalu banyak orang, terlalu banyak detil. Dan aku yakin kamu lebih mengerti cara mengatasi detil-detil.” “Terima kasih pujiannya.” “Setelah mendengar kabar bahwa ada seorang detektif yang kembali menghebohkan kota kecil, aku lalu tertarik untuk mengikutimu. Tentu, kebanyakan orang menganggap detektif, investigator, apapun itu namanya,  hanya ada di buku-buku Sir Arthur Conan Doyle atau Mara Gd. Tapi aku, selalu menganggap bahwa akan seru jika terlibat dalam petualangan misteri yang bisa ditunjukkan kepada orang-orang bodoh itu. Memperlihatkan di depan mata mereka bahwa betapa hal-hal kecil jika dipikirkan serius akan bisa membuka mata terhadap kemungkinan-kemuningkinan. Begitu yang kamu pelajari, Adam?” Adam mengangguk sambil tersenyum. Marlistya kemudian mendesah pelan. “Aku sebetulnya tak berniat membunuh ayahku sendiri, jika kamu berpikir sejauh itu. Aku hanya ingin memberinya pelajaran betapa hidup sebagai anak kecil dari seorang rentenir tidaklah mudah di lingkungan. Sejak SMP aku sudah jarang keluar rumah, menghindari hujatan dan olok-olok teman dan cibiran tetangga setiap kali aku melintas sepulang sekolah. Orang-orang kampung yang tak berpendidikan hanya bisa mencibir tanpa naluri mereka bekerja untuk mengedepankan perasaan seorang gadis kecil yang malu terhadap ayahnya.” “Kenapa kamu tidak meminta saja langsung kepada ayahmu untuk berhenti menjahati orang-orang?” Gadis itu kemudian terdiam menatap langit-langit. “Kamu tidak akan bisa meminta ayahmu sendiri tidak melakukan kejahatan yang terlanjur dilakukannya, Adam.” Adam terheran dengan jawaban itu. “Jauh sebelum aku tumbuh besar, aku melihat bayangan menjadi seorang perempuan dewasa tidaklah begitu menyenangkan. Merasakan tubuh bagian depanmu terasa makin berat dan langkahmu semakin tegap dan diperhatikan banyak laki-laki, aku menyadari itu bukanlah sesuatu yang mudah diatasi di awal masa puber. Sayangnya, ayahku tidak menyadari perasaan itu.” “Perasaan?” “Ibuku menikah dengan laki-laki lain saat aku hampir lulus SMA. Itu bukan tanpa alasan. Ayahku tertarik dengan seorang perempuan, dan mencoba merayu perempuan itu. Ibuku, sebagai perempuan dan sosok ibu yang menyimpan perasaan mendalam terhadap komitmen berkeluarga, tentu tidak menerima itu.” “Siapa perempuan yang digoda ayahmu itu?” Sebersik senyuman di bibir Mar, lesap tiba-tiba. Matanya menunduk dan bibirnya lemas. Matanya kemudian nanar dan jari-jarinya diangkat sampai menyentuh lemas bibirnya. Adam menyadari bahasa tubuh perempuan kian jelas untuk pertama kali dalam hidupnya. Pandangannya menangkap ketakutan dari tubuh gadis itu, rasa menyesal, dan rasa benci yang bercampur dengan dendam yang tersisa. “Ayahmu berbuat macam-macam kepadamu? Kamu?” Lalu ruangan itu kembali hening. “Aku kira kamu sudah mengerti alasan utama aku membenci laki-laki itu, Adam. Walaupun kamu pakai sudut pandang seorang laki-laki.” Adam hanya memandang namun kata-katanya tak bisa keluar. Pikirannya tiba-tiba dibelokkan untuk meraba-raba bagaimana perempuan itu bisa melancarkan semua rencananya jauh sebelum semuanya terlihat sempurna. Perempuan itu, di pikirannya kini, bisa jadi lebih berbahaya daripada yang nampak. Dendam antara dua orang yang memiliki hubungan darah jauh berbahaya daripada dendam mereka yang berjauhan sejak lama. Investigator itu lalu bangkit dari kursinya kemudian mendekat kepada Mar. Tapi gadis itu justru tertawa lirih. “Sayang sekali, Adam,” kata Mar lalu tertawa seperti merendahkan. “Perasaanmu mudah sekali terbawa oleh cerita-cerita gadis yang sedang menangis. Semudah itukah seorang detektif dibodohi penjahat?” Adam terkesiap. “Tidak semua air mata perempuan itu tulus, sayang.” Lalu Adam melangkah mundur. Mar mengangkat tangan dan mengarahkan benda berbentuk pistol itu di tangannya, tepat di ketinggian dada. Adam mengangkat kedua telapak tangannya sambil melangkah mundur. “Aku bisa saja membunuhmu sejak awal, Adam. Kukira perjalanan kelompok kami akan lebih mudah membodohi banyak orang. Tapi …,” Pistol itu meletus, dan Adam berkedip. Yang terlontar hanyalah batang karet dengan pelontar pegas yang ikut jatuh ke lantai. Mar tertawa sambil memegang perutnya ketika Adam justru nampak seperti orang bodoh. “Tidak perlu main-main lagi, Mar. Sebaiknya lepaskan gadis itu.” “Gadis?” “Evelyn. Dia yang disekap di kamar sebelah kan?” “Oh, dia hanya figuran untuk sinetronku ini, Adam. Nanti pasti kulepas. Aku juga akan pergi dari sini sebentar lagi. Kurasa episode pertama permainan kita disudahi saja. Kamu bawa saja gadis kampung itu. Sejak awal memang dia tidak pantas jadi adik tiri.” “Siapa dia sebenarnya?” “Hanya pembantu. Tujuh tahun setia bersamaku.” “Lepaskan dia.” “Iya. Iya. Baiklah. Kamu bisa apa? Anak buahku banyak di sini. Sedangkan kamu sendirian.” “Jangan yakin dulu.” Tiba-tiba terdengar mobil mendekat dari dua arah gang di depan rumah itu. Eno bergegas turun dari mobil polisi berbentuk SUV yang tiba paling depan. Setidaknya sepuluh petugas kepolisian Sektor Waru tiba dipimpin seorang komisaris berjaket hitam. Salah satu petugas berteriak dari teropong meminta semua tetap di tempat sementara petugas lainnya mengarahkan lampu sorotnya ke satu ruangan. Marlistya menutup matanya karena cahaya sorot itu begitu tajam. Terdengar langkah dari luar yang lalu membuka pintu. Dengan langkah lincahnya gadis itu kemudian membuka pintu sehingga tiba-tiba Eno terhempas tanpa halangan ke dalam ruangan itu dan terjatuh di lantai. Sesaat kemudian terdengar bunyi kaleng jatuh dan memantul di lantai. Asap mengepul tebal dan menyesakkan. Eno memegang wajahnya  karena matanya perih, sementara Adam berusaha menarik rekannya itu ke sudut lain ruangan dan membuka jendela. Beberapa petugas yang berlari dari arah gerbang kemudian membebaskan mereka dari sana. Gadis itu telah menghilang. Empat penjaga yang semuanya laki-laki paruh baya kemudian ditangkap atas kasus penculikan. Mereka bungkam di depan polisi. Evelyn bebas dan sementara diamankan sebagai saksi korban. Saat rumah kecil itu kembali aman, Adam memeriksa beberapa bagiannya. Di dalam sebuah buku agenda yang berisi tulisan-tulisan tangan di atas kertas berwarna sama dengan yang pernah dilihatnya berisi pesan-pesan peringatan singkat, ia menemukan satu kata yang membuatnya berpikir dalam.

ANONIM, Tentang satu nama. Lady Papyrus.

Dia juga tersenyum dan menggeleng ketika menemukan namanya sendiri bertengger di puncak daftar orang-orang target operasi kelompok misterius itu. Di antara beberapa nama bahkan adalah politisi korup dan beberapa dokter yang pernah diberitakan melakukan malapraktik. Di bagian lain buku itu, tertulis beberapa nama dengan latar keluarga yang sama. Lady Papyrus menghilang. Polisi menetapkan lima tersangka, tapi kelompok itu baru saja memulai aksinya. Setidaknya pikiran-pikiran itu melengkapi semua hipotesis Adam ketika mendapati dirinya telah meringkuk kembali di dalam bus EKA menuju Yogyakarta. Ia telah rampung menceritakan bagaimana kejadian yang dialaminya sepanjang malam. “Kasus yang tidak masuk akal.” Eno berkomentar setelah meneguk air mineral. “Ya.” “Jadi, siapa sebenarnya? Marlistya itu?” “Entahlah. Bisa saja bahkan nama itu palsu.” “Tapi bukannya ayahnya asli? Pak Abdul Malik Usman?” Adam tersentak. Ia menyadari telah melupakan sesuatu. Lalu tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk.

Aku tidak akan pergi jauh, Adam. Titip buat ayah ya. Aku yakin dia sebentar lagi mati.
Belahan jiwamu :D Lady Papyrus

“Astaga!” “Apa?” “Pak Abdul!” Adam lalu bangkit dan meminta sopir berhenti. Dengan tergesa-gesa ia lalu menarik rekannya turun dan menahan taksi menuju Rumah Sakit Husada Utama Surabaya. Mereka melewati beberapa koridor di lantai dua kemudian oleh perawat ditunjukkan sebuah ruangan pasien yang masuk malam sebelumnya. Perawat itu terheran-heran karena melihat kedua pembesuk yang ketakutan. Sambil membawa berkas pasien perawat itu berlalu pergi. Adam dan Eno heran karena pasien itu baik-baik saja. Di dalam benak mereka telah melintas bayang-bayang mengerikan tentang apa saja yang bisa terjadi pada klien awal itu. Abdul Malik masih terbaring, seperti tertidur meski nada-nada dari alat pemantau detak jantung terus berbunyi teratur. Mereka lalu saling pandang dan menghela napas. Tapi sebuah kertas kuning yang menggantung di sudut ranjang itu menarik perhatian Adam untuk mendekat. Pesan itu, menandai karirnya akan semakin seru, dan mendapati dirinya resmi berurusan dengan kelompok aneh yang paling berpotensi menimbulkan kekacauan di dunia kejahatan modern.

Titip sang ayah, ya. Lady Papyrus, ANONIM.

Hawa kejahatan seperti menghilang dalam beberapa hari berikutnya. Tapi itu sama sekali tak membuat hati Adam lega. Untuk beberapa jam ia hanya menghabiskan waktu di kamar kontrakannya membaca buku-buku S. Mara Gd dan dongeng-dongeng anak tentang kelihaian kancil melawan buaya. Untuk sesaat, ia merasa seperti kancil yang berhasil lolos dari sergapan buaya yang licik. Di papan kerjanya yang bertuliskan nama-nama kasus, ada satu nama yang ia pasang dengan paku paling besar. “Dia suka menulis juga, Adam.” Eno tiba-tiba berdiri di pintunya secara mengejutkan menebak alur pikiran tuan rumah yang banyak diam itu. “Hm?” “Lady Papyrus. Aku ketemu namanya di sebuah blog publik. Tulisan-tulisannya fiksi dan banyak mengandung misteri. Sepertinya dia memang tertarik padamu.” “Jadi begitu. Ini akan semakin menarik.” “Tapi, Adam. Aku ada satu pertanyaan.” “Silakan.” “Kapan persisnya kamu sadar bahwa semua ini hanya permainan?” “Itu.” Adam bangkit kemudian menatap dalam-dalam foto sosok Arza Basyahril yang tak pernah ada itu. “Evelyn. Dia selalu gemetar ketika mendampingi Marlistya. Aneh, padahal dia seperti setia dengan keluarga itu. Aku yakin, anak itu takut dibunuh sehingga dia patuh ke manapun pemimpin kelompok itu pergi.” “Lalu bagaimana kamu yakin Abdul Malik Usman tidak termasuk anggota komplotan?” Adam menggeleng lalu kembali ke tempat duduknya. “Anak gadis yang berbicara tentang ayah kandungnya selalu menampakkan kejujuran dalam setiap air matanya, Eno. Aku melihat itu ketika berhadapan langsung dengan Mar. Meskipun ia tentu membantahnya. Sekilas, aku memang menganggap dia perempuan berbahaya.” Untuk sesaat mereka merapat dengan bayangan imajinasi masing-masing. “Dan maksud kata ‘belahan jiwa’ dalam pesan kertas itu?” Adam membuang napas seperti melepaskan beban di kepalanya. Matanya menelusuri setiap bentuk tulisan nama di depannya itu. Gambaran tentang gadis pemimpin kelompok itu dan semua kejadian yang memulai ini memberinya petunjuk jelas baru. “Evelyn.” Ia bergumam. “Nama aslinya adalah Evelyn. Evelyn bisa disingkat EVE. Adalah pasangan dari nama Adam.” Eno mengangguk. “Eve yang ini, bukanlah pasangan cinta. Dia ada di luar sana. Tersenyum penuh kemenangan.” Nama kelompok itu seperti pesan yang bisa datang tiba-tiba bersama tiupan angin. Menghiasi hampir semua bidang pikiran Adam. ANONIM. Dan pemimpin lihai bernama sandi Lady Papyrus. * Selesai. ============ Silakan baca seri kasus-kasus lainnya: Kasus Sekolah Ryan dan Alya Misteri Kematian Gadis Titipan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun