Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menghilangnya Arza Basyahril (4)

1 Mei 2012   03:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:53 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13351511641779713661

(Sebelumnya ....) Pintu terbuka nyaris terhempas. Eno berusaha mendekat tetapi justru orang yang belum pernah dilihatnya yang sudah berdiri sambil terengah-engah di ujung karpet. Matanya terlihat tajam meski kepalanya basah ditutupi rambut yang menjuntai tak beraturan. Satu tangannya lunglai sementara tangan kirinya memegang kuat tongkat kayu yang menopang setengah bobot tubuhnya. Kaki kiri anak itu lemas dan lecet di bagian ibu jarinya karena terlalu sering diseret. Anak itu setinggi SMP, meski garis wajahnya masih sangat kekanakan dan tubuhnya kurang berisi, hanya ditutupi kaus putih polos dengan struktur kerah bundar yang melar sampai ke pundaknya. Celana pendek dengan saku samping cukup mencitrakan bahwa anak ini bukanlah anak seseorang yang berpunya. Saat anak itu tiba dan berdiri mematung seperti mengembalikan kekuatannya, dari arah tangga kemudian mendekat perlahan Adam sambil mengangkat tangan,  memberi isyarat waspada kepada Eno yang sudah bersiaga dengan balok panjang di tangan. Beberapa meter di depannya, gulungan berat berbalut kertas itu masih tergeletak di antara puluhan pecahan kaca. “Salah sasaran, Dimas?” Anak itu lalu terkejut dengan kalimat yang menegur namanya. Ia tak menyangka bahwa telah masuk ke sebuah kamar dengan seseorang yang berbeda. Ia berbalik dan melihat ke arah Adam yang tersenyum. “Sudahlah, dik. Kamu mau apa sebenarnya? Membuntuti kami seperti penjahat ulung.” Adam lalu berjalan begitu saja sambil menekan luka di lengannya yang kembali berdarah sampai tembus ke jaket. Untuk sesaat ia tak mempedulikan Dimas yang menatap dengan penuh rasa benci dan amarah yang terasa memudar, diselimuti kabut kebingungan yang membuatnya semakin lemas. “Ini Eno. Rekan saya. Lihat saja penampilannya. Dia orang biasa. Akulah yang kamu incar kan?” Adam duduk di sofa kemudian kembali membalut lukanya dengan perban baru. Eno yang masih berdiri justru kebingungan melihat kejadian yang sangat tiba-tiba itu. “Adam! Ada apa ini sebenarnya?” “Eno …. Eno. Aku kira kamu sudah melakukan petunjuk dengan sangat tepat. Meski hanya bagian ujung awal dari semua rencana kita yang berhasil, tapi paling tidak, anak ini berhasil terpancing keluar.” Adam menunjuk ke arah Dimas yang berusaha menjaga badannya tetap tegak dengan tongkat. “Kamu baik-baik saja, Dik? Kenapa kamu membuntuti kami sejak tadi siang? Kami salah apa?” Adam lalu berdiri dan mendekat ke Dimas. Anak itu tak kuasa bergerak kini. Hanya matanya yang masih melemparkan rasa sesal. “Kamu masih kecil ya.” Adam kemudian membelakang dan tiba-tiba tongkat itu terangkat ke udara. Eno berteriak bermaksud memberi peringatan kepada rekannya ketika Abdul Malik merebut tongkat itu dengan sangat gesit. Dimas kehilangan keseimbangan kemudian tersungkur ke karpet. Tangannya yang digunakan untuk menopang badan ternyata tak sekuat perkiraan. Anak itu meringis. “Ha! Pak Abdul. Terima kasih. Tapi saya kira itu tidak perlu. Anak ini ….” Tanpa peringatan dan tanpa terlontar spontan, Abdul Malik justru memaki dan nyaris memukuli anak itu. Untung Adam cukup cepat untuk merebut tongkat itu kembali dan menarik tubuh Dimas ke atas sofa. “Anak pencuri! Masuk rumah orang sembarangan!” Abdul Malik terus mengumpat sambil melayangkan kepalannya beberapa kali ke udara. Eno ikut melerai sementara Dimas hanya memasang tangannya di atas kepalanya sambil memohon ampun entah kepada siapa. Setelah tuan rumah berhasil diredam amarahnya, Adam kemudian mempersilakan mereka semua duduk dan mengadakan sidang mendadak di depan anak itu. Setelah memberi pengertian, akhirnya Adam berhasil meyakinkan tuan rumah agar meninggalkan mereka bertiga di ruangan itu. Tak lupa pula ia meminta maaf atas kaca jendela yang pecah dan berjanji akan mengganti kerugian, tapi tuan rumah itu bilang tak mengapa dan menyilakan mereka untuk melanjutkan penyelidikan dan tetap mengawasi Dimas. Tuan rumah itu dengan sedikit mengomel kemudian kembali ke kamarnya di lantai bawah setelah dijemput salah satu pembantu. “Namamu Dimas kan?” tanya Adam saat pintu kembali ditutup. Kenapa kamu bisa ada di sini, dik?” Anak itu butuh beberapa saat sebelum akhirnya menjawab. Itupun setelah Adam meyakinkan bahwa Eno bisa dipercaya dan mereka ditugaskan untuk membantu keluarga ini. “Aku ….” Dimas menjawab dengan terbata. Beberapa kali Adam memberinya dorongan karena setiap akan mengeluarkan kalimat anak itu nampak pucat. Bibirnya beberapa kali kelu dan membuatnya menghela napas. “Di mana rumahmu?” Dimas menunjuk ke salah satu arah. “Empat rumah dari sini. Rumah Pak Seto.” Adam mengangguk sementara Eno menyimak sambil menyeka keringatnya. “Baik. Sudah berapa lama kamu ada di rumah ini?” Anak itu mengangkat tiga jarinya. “Tiga hari? Kenapa?” “Itu …. Sebenarnya …. Aku …” Belum sempat jawaban mereka dapatkan, terdengar lagi suara dari arah bawah. Kali ini jeritan mengerikan seorang perempuan seperti sedang melihat hantu. Adam dan Eno saling menatap kemudian dengan tergesa berlari ke arah tangga. Dimas ditinggal sendirian. Anak itu kemudian dengan tertatih mengambil tongkatnya dan melihat dari balkon. Kedua tamu itu berlari ke arah dapur tempat teriakan itu kembali terdengar. Beberapa orang juga keluar kamar dan tiga satpam baru saja tiba dari arah pintu depan. “Astaga!” Adam mendapati perempuan muda yang jadi pembantu pingsan di depan pintu kamar majikannya. Eno membantu menarik badan perempuan itu karena asap kemudian menyeruak dari celah pintu yang sedikit terbuka. Adam dengan sebelumnya menyambar handuk yang terjemur dan melilitkannya ke mulutnya lalu masuk dan membuka kedua pintu dan empat jendela. Ia lalu terkejut karena mendapati kedua kaki itu menggelepar di udara. Tubuh Abdul Malik Usman tergantung di atas kasurnya sendiri dalam keadaan gemetar. Asap pekat berwarna putih itu terhirup begitu saja dan keluar dari beberapa rongga mulut dan hidungnya. Adam berusaha menggapai tali yang menjerat leher sang tuan rumah namun gagal karena kasur empuk itu tak memberinya topangan cukup tinggi. Tubuh majikan baru bisa diturunkan ketika datang pertolongan dari dua orang satpam yang membawa kursi. Adam mempraktekkan napas buatan seperti yang pernah dibacanya. Tubuh Abdul Malik dibawa ke ruang tamu dengan segera kemudian semua kancing baju tidurnya. Setelah beberapa kali upaya, akhirnya Adam bernapas lega. Majikan itu masih bernapas. Ia terbatuk dan berusaha mendapatkan kembali oksigen. Tangannya menunjuk-nunjuk ke udara dan sesekali ke arah orang yang mengerumuninya. Adam lalu menenangkannya sesaat sebelum memerintahkan beberapa orang untuk menjaga. Salah seorang pembantu lantas menurunkan tangannya agar lemas dan tubuhnya rileks. Dua orang satpam kemudian dengan sigap mengikuti instruksi untuk menghubungi ambulan. “Adam, kamu mau ke mana?” Adam yang mengerti arah pertanyaan itu kemudian mendekati rekannya dan memanggilnya ke salah satu koridor yang tak begitu ramah. “Eno. Aku minta maaf karena membawamu ke dalam situasi seperti ini.” “Iya tidak apa.” “Untuk sementara, aku minta kamu kembali saja ke Yogya. Aku khawatir masalah ini akan semakin rumit dan mengancam nyawa kita berdua.” Eno semakin bingung dengan penjelasan yang berputar-putar. “Nyawa? Ada apa sebenarnya?” “Terlalu bahaya jika kujelaskan sekarang. Baiknya kamu berkemas sekarang. Pesan untuk urusan kontrakanku dan uang imbalan bagianmu sudah kutulis jelas di bagian tengah buku catatanku, kuletakkan di tengah meja. Uang sewa bus juga sudah kusiapkan. Kamu bawa saja. Berangkatlah sekarang.” “Tapi. Adam!” “Aku masih membutuhkanmu untuk satu hal lagi. Tapi kamu harus pulang sekarang.” Kalimat terakhir itu diucapkan sambil berlari kecil menjauh. Investigator itu kembali ke koridor yang masih dikepuli asap. Adam melambaik-lambaikan tangan saat ia sudah kembali berada di dalam ruangan itu. Eno yang melihat dari jauh kembali ke kamar. Polisi itu terkejut karena Dimas sudah tidak di sana. Tak satupun barang hilang, jadi ia bisa berkemas segera kemudian menaruh bungkusan kertas yang ternyata berisi batu itu di atas meja dekat buku catatan Adam. Tak lama kemudian Eno sudah meninggalkan rumah dengan taksi itu tanpa pamit kepada satu orangpun. Adam yang masih mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi kemudian kembali berdiri di koridor menghadap ke ruangan yang cukup lengang. Hanya ada tempat tidur ukuran dobel dengan lemari tinggi dengan cermin setengah badan dan sepasang meja baca. Beberapa orang yang melintas harus menutup hidung dan mulutnya ketika Adam justru mengendus beberapa aroma yang tersisa dari kepulan asap yang mulai memudar. Ia hanya melipat kedua lengan dan mematung memandangi karpet di lantai yang sudutnya terlipat karena tendangan tidak sengaja tadi. Pandangannya mengitari seisi ruangan, dari bawah hingga atas. Ia mendapati sebuah ventilasi kecil yang menggantung tinggi di dinding atas bagian kepala tempat tidur. Dari sanalah asap dapur itu masuk. Ruangan tidur itu memang cukup aneh, karena ditinggali oleh kepala rumah tangga sementara posisinya dekat dengan tempat para pekerja memasak dengan riuhnya. Adam menggosok dagu sejenak, kemudian melangkah lagi ke dalam. Dengan tangannya ia meraba kain tipis yang mirip selendang dan menggantung di atas ranjang. Bagian ujungnya berbentuk lingkaran dan sepertinya berhasil mencekik leher tuan rumah itu untuk beberapa detik sebelum akhirnya diselamatkan. Tak lama kemudian terdengar bunyi ambulan menjauh. Abdul Malik telah diangkut ke rumah sakit ditemani tiga orang, termasuk Syam saudaranya. Atas persetujuan kepala rumah tangga itu pula semua pegawai mengikuti setiap instruksi dan petunjuk dari Adam yang diberi kewenangan sementara untuk menjaga semua situasi yang bisa saja terjadi. Investigator itu sejenak melihat ke arah Balkon kamarnya. Pandangannya menjadi sangat mengherankan karena Dimas justru tersenyum padanya. Senyum seperti itu, dengan bentuk keramahan yang tak biasanya, justru terasa menakutkan bagi Adam. Anak itu bergeming, tapi Adam tak mau melangkah lebih dekat. Seperti ada yang tidak diawasi. Adam berpikir bahwa sesuatu telah dilewatkannya. “Astaga!” Ia lalu dengan sigap lantas berlari ke arah kamar belakang. Koridor sebelah yang mengarah ke bagian utara ruang tamu disusurinya dengan menyekakan tangan ke setiap dinding seperti orang mencari arah. Saat tiba di depan kamar itu, ia mendapati pintu kembar yang tertutup. Dengan memohon izin dan tanpa menunggu persetujuan, ia sudah menendang dan pintu itu terbuka secara paksa. “Sial!” Beberapa orang yang berdiri di belakangnya lantas menahan rasa kaget. Para perempuan malah menutup mulut dengan telapak tangan, karena mereka mendapati hal yang tidak mengenakkan. Marlistya dan Evelyn tidak ada di ruangan itu, dan dinding putih yang sebelumnya tertempel lukisan Cina kini dicoreti dengan pesan mengerikan yang dibuat dengan noda merah mengental. “Kejar daku kau kubunuh.” Adam berbisik ketika membaca kalimat yang tertulis itu. Setelah memberi isyarat bagi yang lain untuk tetap di tempat, investigator itu mendekat ke arah tempat tidur dan memeriksa sekitar. Kedua gadis itu tidak ditemukan di bagian manapun kamar itu. Tidak juga di toilet dan semua lemari pakaian. Akhirnya yang diperiksa adalah tulisan dengan noda yang menetes ke bidang tulisan yang sudah jatuh tergeletak di lantai. Tulisan itu seperti ditulis dengan kuas kecil meski samar. Adam menempelkan jarinya ke cairan yang menempel di tembok, kemudian mendekatkannya ke hidung. Bau yang familiar. “Ya tuhan! Siapa yang membawa teror sekejam ini?” Salah seorang tetangga yang sebelumnya membantu di dapur kemudian berkata dengan rasa takut. Mereka baru pertama kali melihat tragedi yang terjadi seketika dalam satu malam. Tanpa peduli perkataan mereka yang terkejut, Adam bergegas kembali keluar ruangan itu dan berlari ke arah halaman. Beberapa pria mengikutinya seperti menunggu temuan-temuan berikutnya. Tetapi pengejaran itu nihil. Tidak ada tanda-tanda kendaraan lain, tanda noda darah di lantai pun tidak ditemukan di ruang tamu dan pintu belakang tempat korban penculikan itu bisa saja dibawa. Saat sudah terduduk di tangga teras rumah itu dan menatap kelamnya malam, pikiran Adam melayang seperti meminta pertolongan kepada bintang-bintang. Ia mengharapkan satu titik saja petunjuk agar situasi ini menunjukkan kejelasan sedikit saja. Sejauh ini, pikirannya masih kalut karena rentetan kejadian yang tiba-tiba. Hilangnya Arza Basyahril, kemunculan Dimas si anak bertongkat, percobaan bunuh diri Abdul Malik Usman, dan sekarang menghilangnya calon mempelai perempuan Marlistya Usman. Dan lalu pesan mengerikan yang ditulis dengan darah. “Siapa sebenarnya?” Di tangannya, ia membaca lagi pesan itu dalam-dalam. Pesan aneh yang ia terima saat masih dalam perjalanan siang sebelumnya.

Kembali ke Yogya sekarang. Atau kamu akan menemukan keberanianmu teruji oleh hal-hal yang tidak kelihatan. Belahan jiwamu :D - Lady Papyrus.

Nama sama yang tertuang di dalam kertas kusut yang membungkus batu di atas meja. Janur kuning yang telah terpasang melengkung seperti mengejek. Bentuk lipatan bunga-bunga itu bergoyang-goyang di bawah langit yang mengguyur dengan gerimis halus. Adam menatapnya tanpa arti, meski hatinya berharap ada sedikit petunjuk yang memberinya semangat di dalam situasi yang serba tidak menentu ini. Ia merasa telah berada di dalam kubangan teka-teki yang mengandung ratusan pola yang memang tak terlihat. Nyaris mustahil untuk dipecahkan. Untuk sesaat, ia benar-benar merasa sendirian. (Selanjutnya ...)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun