Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mencintai Indonesia dengan Kritik

4 November 2014   20:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:41 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera Indonesia berkibar di dekat kapal Frigate milik TNI AL. Sumber: Kompasiana.com/kearifan-umi/Kaskus.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Bendera Indonesia berkibar di dekat kapal Frigate milik TNI AL. Sumber: Kompasiana.com/kearifan-umi/Kaskus."][/caption] Dalam sebuah kunjungan ke sebuah toko buku-buku impor awal 2014 lalu, tidak sengaja saya menemukan buku ini, judulnya Ring of Fire: An Indonesian Odyssey. Buku setebal 248 halaman karangan kakak-beradik Lawrence dan Lorne Blaire tersebut menarik bagi saya karena diangkat dari saga dokumenter hasil penelitian mereka selama 10 tahun pada 1988, dimulai dari Sumatra. Di sampulnya yang bernuansa marun tergambar gagah Kapal Pinisi dan hamparan rempah-rempah Pulau Banda. Di bagian kata pengantarnya, Lawrence menuliskan ketergangguan dan depresinya ketika membaca buku itu lagi di Bali pada tahun 2009, dan merasa bahwa Indonesia “kini telah banyak berubah”, menyitir fakta-fakta perambahan hutan sampai tinggal sepertiganya, pertumbuhan penduduknya hingga 240 juta jiwa, dan laju demokrasi yang menyisakan banyak limbah plastik.

Tentu saja sudah banyak buku tulisan peneliti luar yang membahas detil berbagai tempat di Indonesia dengan banyak sudut pandang. Saya sendiri menyimpan beberapa (buku tulisan antropolog M.T.H. Perelaer, arsitek Marcus Zahnd, biolog Alfred Wallace). Kesemuanya begitu terbuka, rinci, dan menggambarkan hasil riset mendalam. Mereka begitu memuji tetapi juga sangat mengeritik. Sementara di sudut pandang orang Indonesia sendiri, sering kali hingar-bingar publikasi asing menimbulkan rasa iri dan penerimaan kenyataan bahwa mereka memang sanggup menjelajah lebih jauh dan mendalam, ketimbang yang justru hidup berpuluh-puluh tahun di sini.

Kemudian saya bertanya dalam hati, “Apa sebenarnya perbedaan motif penjelajahan orang-orang Barat dengan kita?”

Jawaban pertama muncul mungkin ilmu pengetahuan, atau rasa penasaran. Orang Indonesia memang masih berkutat dengan kepentingan formil ilmu pengetahuan, tetapi belum banyak yang menggalinya atas dasar rasa penasaran atau rasa haus akan penemuan. Orang-orang Jakarta mungkin sangat menikmati kunjungan ke Raja Ampat untuk dipamerkan foto-fotonya bersama penduduk lokal atau sekadar catatan perjalanannya, tidak lebih. Orang-orang Ambon yang berhasil mencapai Sabang mungkin hanya bisa bercerita soal menyedihkannya tugu Nol Kilometer Indonesia di Pulau Weh, bangunan kecil yang oleh banyak orang di Timur sebelumnya dianggap kabar angin atau sisa dongeng kolonial dari nenek-kakek.

Kemerdekaan sebagai bangsa muda membuai kita dengan perasaan berhak menikmati tanah sendiri dengan cara sendiri. Kita membayar murah sementara wisatawan asing membayar dua-tiga kali lipatnya. Akibatnya, kita sering kali lupa bahwa bahkan perjalanan menjelajahi tanah sendiri harusnya tetap mengandung kritik. Terbuai kekaguman, kita lupa bertanya Mengapa Danau Toba dijadikan objek wisata yang kini malah berakibat pada tergerusnya tanah adat di sekitarnya? Atau tanah-tanah pulau di sekitar Raja Ampat dan Wakatobi justru menguntungkan banyak pemodal asing?

Kasus diusirnya jurufoto lokal oleh seorang “pengelola” pulau resor Cubadak di sekitar perairan Sumatra Barat dua pekan lalu menegaskan hegemoni pemodal asing di atas Tanah Indonesia. Meskipun ini bisa terjadi karena salah regulasi pemerintah setempat, tetap saja tidak mengenakkan untuk disadari. Kita mungkin kalah cepat mempelajari potensi dan menangani tanah kita sendiri, tetapi gambaran seperti itu menimbulkan kesan paradoks yang mengganggu.

Bulan Mei 2011 silam, saya bersama kompasianer Aziz Abdul Ngashim berkesempatan menjelajahi pedalaman Entikong di Kalimantan Barat, wilayah hulu yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia. Karena tema wisatanya adalah home trip, kami lebih banyak menyusuri sungai, bukit, jalan setapak dusun yang terpencil, dan menginap tanpa listrik di rumah-rumah warga.

Suatu sore setelah mendarat di pedalaman paling hulu, kami diajak melihat-lihat satu-satunya gereja di dusun itu oleh tokoh masyarakat setempat. Dari perbincangan di situ kami mengetahui, bahwa kebanyakan dana bantuan langsung yang diterima warga datang dari sekelompok Orang Barat yang membawa misi gereja. Saat saya singgung soal fasilitas antena telepon dan parabola berlabel “Kementerian” yang terpasang di tengah kampung, narasumber kami menggeleng kemudian menjawab, “Cuma begitu saja. Mereka datang, pasang, lalu pergi.”

Meski secara teritorial wilayah Entikong tidak termasuk peta pariwisata, pemandu kami bercerita bahwa tak jarang mereka mengantarkan orang-orang berkulit putih yang ingin melihat dusun-dusun di hulu sungai atau konflik-konflik sosial di perbatasan. Sebagian lainnya tertarik dengan cerita-cerita suku Dayak (dan legenda pengayauan sebagaimana digambarkan dalam buku Perelaer), mencari corak-corak kuno, atau ingin meneliti orangutan. Saya sendiri, selama perjalanan itu banyak mengamati dikotomi sosial. Bagaimana masyarakat perbatasan sudah lelah menunggu “program pemerintah” sementara kehidupan mereka terus berlanjut. Biaya tinggi dan isu pertukaran uang dianggap sudah lazim, tetapi bagi saya justru mengandung kritik pedas bagi kementerian yang bertanggung jawab soal perdagangan gelap, migrasi orang, lebih-lebih carut-marut infrastruktur dasar. Masalah berlarut-larut sampai dianggap sudah biasa. Laporan perjalanan kami waktu itu saya bahas lewat tiga episode tulisan bertag "ceritaperbatasan" di Kompasiana, seminggu berikutnya.

Meski belum begitu banyak, pengalaman mengunjungi tempat-tempat di Indonesia mulai membuka mata saya tentang karakter mendasar kebanyakan orang Indonesia saat melancong. Kita menikmati, mengabadikan, membuat deklarasi semacam “jangan tinggalkan selain jejak”, dan membangun gaya lewat komunitas-komunitas inklusif yang bergerak dengan dana terbatas tapi cukup.

Sayangnya, jarang terjadi interaksi mendalam soal tempat-tempat yang pernah kita datangi. Fotografer, saya pikir, bisa merasakan keterkaitan batin lebih yang membebani mereka tanggung jawab mengabarkan apa adanya keadaan suatu tempat, sambil berharap orang-orang akan datang dan memperbaiki keadaan. Tetapi selain fotografer dan atau penulis blog, siapa lagi yang berpeluang mengampanyekan? Karena melancong lebih sering bernuansa liburan, berpikir lebih atas suatu tempat atau daerah tidak begitu masuk ke dalam perencanaan perjalanan, dan memang kedengarannya terlalu muluk-muluk. Padahal, misi kolektif yang dipersuasi pemerintah tentang berbagai daerah yang berpotensi wisata mulai disiarkan lewat tangan-tangan terampil para pelancong sendiri via blog, kontes foto, dan atau film pendek. Bentuk edukasi informal yang bisa berdampak besar.

Di atas pesawat dalam perjalanan pulang dari Entikong-Kalimantan itu, teman seperjalanan saya, Aziz, menyampaikan ide briliannya soal rencana membukukan “temuan” kami di rimba-raya perbatasan dalam bentuk buku etnografi. Meski belum terwujud hingga sekarang, setidaknya niatan itu memberi motivasi bagi saya untuk suatu hari kembali Entikong, menerabas sungai Bengkayang menuju hulu dan bertemu orang-orang hebat yang pernah saya temui di sana, kemudian menulisnya.

Mungkin pun jika suatu saat bukunya benar-benar kami buat dan jadi, saya pikir belum akan selengkap dan sekaya cara Blaire bersaudara menceritakan pengalaman mereka menembus Sumatra hingga Banda. Mereka bermandi-lumpur selama 10 tahun sementara kami hanya melancong kurang dari sepekan. Sungguh wujud perjalanan dan dokumentasi yang berbeda dari segi waktu, kedalaman niat, dan penemuan. Lagipula, memang tidak adil menyamaratakan catatan penelitian berbiaya besar dengan aksi jalan-jalan sambil belajar yang dibiayai terbatas.

Sebenarnya, ada banyak orang Indonesia yang akhirnya memutuskan menjelajah dari pulau ke pulau dengan alasan berbeda-beda. Kebanyakan dari mereka karena kesenangan, menguji keberanian, dan sebagiannya lagi karena mengampanyekan isi pikirannya.

Saya membaca kisah-kisah Mbah Boncel (Yogyakarta), Mohammad Yusuf (Riau), dan Anggi Putra Prayoga (Bogor) yang merampungkan ambisi jelajah mereka berkeliling Indonesia mengendarai sepeda. Ada juga kisah Sri Lestari, perempuan 41 tahun penyandang disabilitas dari Klaten yang bercita-cita keliling Indonesia dengan motor beroda tiganya, atau kisah Murtini, perempuan tunanetra yang berkeliling Indonesia guna meraih gelar profesor (menurut pengakuannya) dengan meneliti kualitas pelayanan instansi pemerintah terhadap penyandang keterbatasan penglihatan.

Orang-orang ini punya keinginan, keberanian, dan metode jelajah. Hanya saja, mereka kebanyakan beraksi di luar sorot media dan publisitas. Meskipun kritik yang mereka bawa sangat konkret dan sangat mungkin terjawab, apa yang mereka perjuangkan baru akan terungkap jika tertangkap lensa wartawan. Dalam teropong yang lebih luas, publik bisa menilai aksi mereka sebagai kejadian luar biasa, meski pada kenyataannya mereka memperjuangkan isu-isu mendasar yang bersinggungan dengan siapa saja.

Sebagai bukan pelancong dan bukan penjelajah, saya punya otokritik sendiri terhadap cara orang Indonesia memandang perjalanannya menjelajah negeri. Saya pernah menulis kisah-kisah kecil seperti “salah tulis papan petunjuk wisata” di Tamansari Yogyakarta, atau terbengkalainya Pantai Bira, di Bulukumba. Catatan ini sendiri setidaknya tersampaikan sebagai bentuk otokritik itu sendiri, meskipun harapan lebih itu pasti ada. Kita sering kali harus membaca buku-buku tua agar menyadari seperti apa kegagahan bangsa kita menjelajah Tanah Airnya sendiri dulu. Kita membaca Negara Kertagama, babad Tanah Jawi, atau I La Galigo yang menggambarkan betapa dulu kita tidak terdahului siapapun. Tetapi kini catatan-catatan seperti itu tercecer di halaman-halaman koran, majalah cerita perjalanan, foto-foto studi wisata sederhana. Sementara buku-buku antropologi, arkeologi, dan sosial-budaya kebanyakan kita baca dalam bahasa Inggris atau Belanda.

Di masa kini media memberi kesempatan kepada banyak orang untuk melakukan perjalanan melintasi pulau-pulau, dekat maupun jauh. Para blogger dan fotografer bisa memanen hadiah kunjungan dan kesempatan mengabarkan kondisi daerah apa adanya. Kejadian-kejadian pengusiran jurufoto di pulau kita sendiri mungkin masih akan terulang, tetapi yang lebih penting adalah menemukan kembali jatidiri kita sebagai orang yang begitu bersemangat ingin menjelajahi tanah airnya sendiri.

Kita bisa belajar mengkritik dan mengabarkan lebih banyak dari sekadar yang indah-indah. Kritik yang datang dari Orang Indonesia akan terasa lebih dekat, lebih memahami, dan lebih membumi. Berbagai masalah dan penyelesaian isu-isu pariwisata ataupun penemuan alam kita harus bersaing dalam solusi, dan melibatkan semakin banyak orang kita yang peduli, atau setidak-tidaknya merasa gusar dengan keadaan.

-------------------------

Tulisan Mei 2011 yang saya singgung di atas (karena masalah teknis kesulitan memasukkan link, jadi saya cantumkan di sini): Cerita Perbatasan 3: Masalah yang Sama

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun