Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kasus Sekolah Ryan dan Alya (7-Habis)

20 April 2012   06:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:23 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13345472051020446037

(Sebelumnya ....) Kompleks SMAN 1 Depok nampak berbeda di malam hari. Jalan depan yang dikira akan lebih lengang ternyata jauh lebih riuh oleh pengendara muda yang menikmati kebebasan mereka dari belenggu rutinitas sepanjang pagi hingga sore hari. Warung-warung tenda yang menyediakan makanan khas baru mulai dibuka dan puluhan tukang parkir berjejer di pinggir jalan siap-siap mengeluarkan jurus pelayanan demi seribuan rupiah. Semua sudah berkumpul ketika justru Adam yang menghilang. Empat orang guru termasuk seorang guru agama berkopiah hitam yang tak bisa berhenti mengomel karena sebentar lagi waktu magrib, satu wakil kepala sekolah berambut botak, dan seorang petugas kebersihan. Duduk di depan ruangan kelas XI B adalah Ryan yang ditemani Alina dan berbincang sedikit. Tak lama kemudian dari arah gerbang, Reza datang bersama Alya, diantarkan oleh petugas satpam yang kini tak lagi berseragam. Alya langsung mendekat ke Ryan ketika ayahnya menghampiri guru. Reza memilih menjabat tangan para guru satu-satu meski sempat terjadi keengganan ketika sampai giliran wakasek. Turut dihadirkan Annisa, sang ketua kelas yang menemukan keanehan pertama kali tadi malam. "Di mana Adam?" tanya Alina kepada Reza. Namun tamu itu tak tahu aral. Mereka kemudian saling berbicara satu sama lain ketika tiba-tiba Adam berjalan dari arah salah satu ujung gedung sebelah utara. Investigator itu menyapa semuanya sambil menutup telepon genggam lipatnya. "Siapa yang barusan kamu telepon? Alina bertanya dengan tanggap sekali. Ia hanya menggeleng karena lagi-lagi Adam hanya menjawab dengan kedipan mata. Isyarat yang nyaris membuatnya bosan. "Baiklah, karena semua sudah berkumpul. Oh iya, di mana Pak Hartono, dia bintang utama kita malam ini. Oh itu dia ...." Adam lalu berjalan ke arah lapangan dan menjabat tangan Hartono yang datang bersama isterinya. Terduga itu begitu tenang, bahkan raut mukanya memancarkan optimisme tinggi yang justru membuat Adam semakin bersemangat. "Malam ini kita akan menyaksikan drama yang memberi semangat untuk kebenaran yang mengejutkan." Hartono melihat gestur itu hanya dengan cibiran. Ia lalu berbincang kepada rekannya para guru yang nampak sangat mendukungnya. "Cepatlah, Pak Adam. Kalau memang ada yang ingin Anda demontrasikan. Kami tidak punya  banyak waktu," kata wakil kepala sekolah yang diamini para guru. Adam yang mendengar pesan itu dengan jelas lalu mengajak mereka ke ruangan XIB, tempat di mana rekonstruksi dilaksanakan. "Oke, Ryan dan Alya, sekarang waktu bagi kalian. Pak Habibi, tolong Anda bersiaga seperti yang saya instruksikan tadi." Sejurus kemudian kedua siswa itu ikut Adam ke dalam ruangan sementara petugas kebersihan berlari ke bagian lain kompleks namun tetap kelihatan. Setelah semua berkumpul di dalam ruangan itu, Adam berdiri di atas ubin yang biasanya diinjak oleh guru, sedangkan para guru itu, sebagaimana diminta, berdiri sebagai siswa. Hartono tetap berada di samping Adam tanpa melirik sekalipun. Ia hanya tersenyum-senyum melihat istrinya yang juga berdiri sebagai siswa. Ryan dan Alya berdiri di baris belakang, sebagaimana awalnya. "Kalian memang berdiri di dekat pintu tadi malam?" tanya Adam. Lalu kedua anak itu mengangguk bersamaan. "Baiklah kalau begitu. Mula-mula Annisa. Kamu Annisa?" tanya Adam kepada ketua kelas lalu menginstruksikan. "Kejadiannya sekitar pukul 24.00. Tepat seperti ini ..." Lalu tiba-tiba lampu dipadamkan. Ruangan itu gelap gulita seketika. Semua orang saling bercakap, sebagian terkejut karena tidak mengerti mengapa sampai rekonstruksi dilakukan dengan sangat detil. Mereka tak bisa saling lihat karena tak satupun menyiapkan cahaya cadangan. Habibi si petugas kebersihan melaksanakan tugasnya dengan baik ketika saklar lampu utama itu bekerja. Dalam keriuhan itu, tiba-tiba terdengar suara ambruk yang lalu menggeser kaki meja. Annisa si ketua kelas langsung menjerit dan meminta agar lampu segera dinyalakan. Lima detik kemudian cahaya kembali memenuhi ruangan itu. Mereka semua terkejut, termasuk Hartono, karena yang menggelepar di lantai adalah Adam. Dengan mulut berbusa dan badan yang bergetar hebat. Annisa mendekati investigator itu sama seperti ia mendekati wali kelasnya malam sebelumnya. Hartono terdiam dan merasa seperti mengalami kejadian yang berulang. Saat semua mulai mendekat, Adam terbatuk-batuk lalu tertawa, membuat Annisa dan tiga guru perempuan itu mengelus dada. Sebagian dengan spontan mencubit lengan sang investigator. Satu-satunya yang nampak tidak lega melihat tipuan itu adalah Hartono. Saat bangkit, Adam merogoh saku celananya dan mengeluarkan bungkusan kecil yang berisi benda bulat. "Tablet effervescent." Semua saling pandang. "Banyak dijual sebagai minuman energi, mudah dibeli di banyak toko. Sebuah trik mudah yang bisa meyakinkan banyak orang bahwa Anda benar-benar terkena racun atau gejala epilepsi. Yang, pada faktanya, tidak pernah dilaporkan atas Anda sebelumnya. Anda, Pak Hartono, sengaja tidak memakai pasta gigi untuk tipuan ini karena lebih susah dibusakan dengan sedikit ludah, dan juga, akan mengeluarkan aroma mint yang akan membongkar trik Anda. Karena itu Anda memakai tablet ini." Investigator itu lalu berjalan sambil melihat ke arah lantai. "Saya menemukan fakta ini setelah melakukan wawancara sederhana dengan Ryan dan Alya. Menurut pengakuan mereka, Anda sempat menawari salah satu tablet ketika rencana tipuan untuk Annisa ini, direncanakan di Ruang Anda, bukan? Saya yakin beberapa bungkus permen masih ada di laci meja kerja Anda." Annisa terkejut. "Apa? Mau ngerjain saya?" Adam mengangguk dan senyum. "Singkat cerita, lalu menghilanglah Ryan dan juga Alya malam itu. Tepat sebagaimana kali ini, kita kehilangan ...." Adam memanjangkan lehernya dan mengingat-ingat lagi siapa yang tidak di situ. "Alya! Di mana Alya?" teriak Ryan yang mencak-mencak di bagian belakang. Reza yang berdiri di sampingnya juga berteriak sama pada akhirnya. Ayah itu lalu bergegas mendekati Adam dan bertanya. "Ha! Alina, mantan istri saya, dan juga Alya!" katanya pada akhirnya. Lalu tanpa disadari sebelumnya, memang orang itu sudah tidak berada di dalam ruangan. "Tenang, Pak Reza. Semua aman. Anda silakan kembali ke tempat. Kita akan melanjutkan." Hartono mulai menyerah. Para guru lalu melihatnya dengan pandangan tajam kini, termasuk juga muridnya yang adalah Annisa. "Awalnya saya menduga Ryan dan Alya menghilang dari ruangan ini saat lampu padam, ternyata itu tidak masuk akal karena mereka pasti akan ketahuan dari bunyi penahan pintu yang terlepas. Kamudian saya berkesimpulan, mereka keluar persis saat lampu kembali menyala," Adam menjelaskan. "Ryan dan Alya memanfaatkan keriuhan orang-orang yang mendekati rubuhnya Pak Hartono, kemudian membuka pintu, dan berlari ke luar kelas. Ke arah toilet di belakang ruangan ini, saya menebaknya." Wakasek kemudian memotong. "Sebagaimana mereka ditemukan pagi harinya?" "Tepat sekali," kata Adam. "Sulit menemukan alibi bagi mereka berdua karena terlanjur berada dalam jebakan yang menyakitkan. Dugaan saya, awalnya Hartono meminta mereka pergi ke toilet itu tengah malam, berdua, guna bersembunyi. Karena tak satupun orang akan mencari di sebuah toilet yang lama tak terpakai dan berbau tidak sedap. Berbekal itulah Ryan dan Alya ikut perintah, semata-mata di hati mereka agar tipuan ulang tahun bagi Annisa, kawan karib mereka, berlangsung seru." Adam lalu menatap ke arah Annisa. Ketua kelas itu melihat jauh ke Ryan yang justru menunduk malu. "Sebelum membuka pintu, Ryan mengambil botol berisi air minum yang disiapkan sebelumnya di dalam keranjang sampah ruangan ini. Persis di situ." Adam menunjuk keranjang pendek yang dilapisi plastik hitam berdiri di dekat pintu bersama sapu dan alat kebersihan lain. "Ryan membuka pintu, mengambil air minum karena memang sebelumnya mereka kehausan. Air minum itu disediakan oleh siapa lagi kalau bukan dalang dari rencana ini, Anda, Pak Hartono." Adam lalu mengeluarkan botol bekas air minum dari tasnya. Botol itu kini kotor dan dipegang dengan lapisan tisu. "Botol ini masih tersisa setengah porsi air saat saya temukan di salah satu toilet pagi tadi. Maaf, Pak Wakasek karena saya melakukan penyelidikan sederhana secara diam-diam." Wakasek mengangguk, dengan raut muka yang lebih mafhum. "Malang bagi Ryan dan Alya, karena mereka tidak menyadari bahwa Anda telah memasukkan obat tidur ke dalam minuman ini sebelumnya. Itu yang membuat mereka terjatuh lemas dan baru sadar ketika ditemukan pagi hari berikutnya. Saya menduga, dalam keadaan mengantuk berat itulah Ryan melepas kemejanya dan menutupi badan Alya yang terjatuh tidur lebih dulu. Itu naluri laki-laki. Sama seperti jika orang dewasa melihat kekasihnya yang kedinginan. Sial bagi anak ini, karena ia akhirnya jatuh tertidur ketika tangannya belum terlepas dari tubuh kekasihnya." Hartono mulai bernapas lebih cepat. Sementara istrinya mendekatinya, mendekap lengannya, sekadar menyemangati. "Ada aroma zat sedatif dari mulut botol ini. Kurang jelas memang, tapi terang bahwa ini bukan air mineral biasa. Obat tidur gampang ditemukan zaman sekarang. Apalagi bagi Anda, Pak Hartono. Saya tidak berani menduga terlalu jauh tanpa bukti, akan tetapi jika saya punya anak seorang dokter yang dekat dengan obat-obatan, tentu tidak mudah mencari tahu bahkan mendapatkan obat tidur." Hartono dan istrinya lalu saling pandang. Mereka lebih banyak menunduk kini. Di luar ruangan itu, Alina dan Alya terduduk di depan toilet yang pintunya terkunci. "Semalam, kalian kunci pintu toilet ini dari dalam?" Alina melempar pertanyaan itu begitu saja setelah mereka sama-sama terdiam. Alya yang juga sadar pada akhirnya lalu menjawab ringan, "Iya. Seperti yang disuruh Pak Hartono." "Bagaimana perasaanmu waktu berada di ruangan gelap bersama Ryan?" Alina melihat ke arah anak itu dengan penasaran. Alya yang merasa diserang tiba-tiba, lalu tertunduk. "Takut," kata gadis kecil itu. "Tapi pada awalnya. Selebihnya aku merasa tenang, sedikit merasa lega, karena ..." "Karena ada Ryan di samping kamu?" Alina menebak. Alya tersipu dan berusaha tidak menunjukkannya. Suara serangga-serangga mulai menyeruak dan ngengat mulai berkerumun di dekat lampu kecil lima watt yang menggantung di sudut atap. "Ya. Aku percaya sama dia. Dan aku baru pertama kali merasa aman di dekatnya. Aku masih merasakan dia melepas paksa kemejanya, berbisik keras di telingaku, tapi aku tak bisa membalasnya. Sesaat kemudian sudah kurasakan tubuhku lebih hangat, dan dia memegang tanganku. Sebelum akhirnya aku tidur." Alina mengangguk. Di dalam hati, mata air seperti mencuat kembali. Deja Vu. Perasaan akan mengikuti hal apapun yang memanggilnya kembali datang. Tak terkecuali cerita kecil dari gadis yang pernah mengalami perasaan sama. "Itu pasti indah sekali ...," kata Alina. "Memiliki seseorang yang bisa dijadikan pegangan." Alya mengangguk. Mereka berdua lalu melihat ke arah cahaya lampu yang dihiasi serangga-serangga terbang itu. Mereka mendapati cahaya yang sama, perasaan yang sama, meski keadaan dan masa mereka berbeda. Untuk sejenak, dua perempuan itu menikmati belaian pada naluri mereka yang mensyukuri cinta, segila apapun itu adanya. Di dalam ruangan kelas, Adam bertopang dagu. Ia memperhatikan tempo bicaranya, memberi kesempatan kepada hadirin untuk benar-benar mengerti kejadian yang sebenarnya. Para guru bisa lebih mengerti, karena Hartono ternyata tak menyanggah satupun kalimat yang disampaikan Adam. Ancaman dan gertakan yang ia lancarkan ketika di rumah siang tadi tak dibuktikan sama sekali. "Satu pertanyaan besar, sebenarnya." Adam berbicara dengan nada yang jauh lebih rendah, namun tetap mengalihkan perhatian. "Bagi saya, yang mengganjal adalah motif dari aksi ini sendiri, Pak Hartono." Investigator itu melihat tajam ke arah terduga. Sorot mata tetap bercahaya meski sikap tubuh kini lebih tertutup. "Apa yang mendasari Anda melakukan hal ini. Tentu ada alasan. Yang, di mata saya klise." Adam berjalan lagi ke arah Reza, kemudian berhenti beberapa langkah sebelum mendekati pintu dan berbalik badan. "Kenekatan Anda melakukan fitnah atas Ryan dan Alya semata-mata dilandasi oleh dendam pribadi Anda kepada Pak Reza, bukan?" Hartono terperanjat. Wakasek, guru agama, dan tiga guru lainnya sama terkejutnya. "Apa maksud Anda?" Adam tersenyum. "Anda boleh menyanggahnya, Pak. Tapi saya menduga, sebagaimana disebutkan oleh klien saya yang dengan penuh hormat dan menghargai integritas, menceritakan bahwa sejujurnya Anda punya perasaan yang kurang nyaman kepada keluarga Pak Reza. Saya menyebutnya, rasa asmara yang dipendam?" Hartono semakin tak bisa berkata. Kini bibirnya kelu. Di depan istrinya, ia lalu tersenyum. Baru ketika Adam ingin menjelaskan, ia sudah memotong duluan. "Menurut Pak Reza, Anda pernah punya hubungan dengan ...." Kata-kata Adam berakhir di situ. Hartono tiba-tiba memotongnya dan ganti menjelaskan. Ia merebahkan tubuhnya di kursi guru begitu saja. Lengannya lunglai di atas bidang meja. "Belum sempat punya hubungan asmara, Pak. Saya sewaktu kuliah sangat mengagumi seorang perempuan. Wulan Citraningrum. Ya, istri Pak Reza. Saya mendekati gadis itu, waktu itu, dengan segala upaya. Saya bahkan menyogok teman-teman agar terpilih menjadi ketua BEM, dan benar terpilih. Hanya saja, ternyata itu belum cukup bagi Wulan untuk menerima cinta saya. Saya coba berkali-kali, namun gagal berkali-kali. Wulan waktu itu, di mata saya, adalah seorang primadona yang nyaris tak bisa disentuh, sementara perasaan saya semakin menggebu-gebu." Reza menatap sahabatnya itu kini dengan wajah simpati. "Sampai saat ini saya masih sakit hati, maafkan saya Pak Reza. Tapi sejak tahu bahwa Wulan sudah menikah, saya trauma. Saya sempat berhenti belajar di kampus ketika mendengar bahwa Wulan menikah dengan orang yang tinggal di Yogyakarta. Akhirnya dengan bekal sisa cinta dan rasa kecewa saya waktu itu, saya pindah ke Yogyakarta selepas kuliah. Saya mencari tahu di mana Wulan kemudian tinggal. Dan ternyata, saya mendapati kalau dia mendapatkan seorang suami yang lebih sukses daripada saya. Itu yang mebuat saya terpukul. Tidak sewajarnya memang, saya hanya .... Saya hanya merasa kalah." Hartono menjelaskan itu seperti ABG yang putus cinta. "Sampai akhirnya saya menemukan cinta saya sendiri," kata Hartono yang kemudian melihat ke arah istrinya. "Saya menikah, dan melupakan masa lalu saya bersama Wulan. Namun ternyata, dendam lama akan kembali jika terus menerus menyimpan rasa iri. Itu yang saya rasakan. Melihat kehidupan Pak Reza yang kemudian menjadi sahabat saya semakin sukses, saya mulai enggan dekat. Saya semakin merasa tidak enak berkunjung ke rumah Pak Reza sekadar untuk curi-curi pandang melihat Wulan yang juga jarang bisa saya temui. Saya menjual beberapa burung ke Pak Reza dengan harapan Wulan ingat saya, tidak juga berhasil. Nyatanya, niat buruk dan rasa dengki saya hanya membuat keluarga itu semakin bahagia. Akhirnya kuputuskan, aku harus melakukan sesuatu yang jahat, sekadar untuk memberi pelajaran bagi keluarga ini betapa kemesraan tak bisa terlalu ditunnjukkan di depan orang-orang yang merana. Lalu saya menemukan Ryan dan Alya bersekolah di sekolah yang sama. Saya merasa tertolong karena saya dibekali keterampilan berbicara, sampai akhirnya saya melamar jadi guru di sekolah ini dua tahun lalu. Pak Reza mendukung sekali saya, dan mempercayakan anaknya kepada saya. Saya menyesal ...." Guru itu mulai menutupi matanya. Ia terisak namun air matanya tak kunjung keluar. "Ternyata dendam lama saya harus mengubah saya menjadi jahat. Menjadi perusak bagi anak-anak didik saya sendiri." Dari pintu kemudian muncul Alya ditemani Alina yang lalu sempat mendengar sepotong pengakuan sang guru itu. Di belakangnya, si tukang kebersihan sekolah mengintip seperti ingin mengakui perannya. Annisa menggeleng melihat wali kelasnya. Ia tak lagi melihat ke arah Ryan ataupun Alya, tetapi perasaannya justru tersentuh oleh cerita luar biasa yang bisa mengubah gurunya menjadi kekenak-kanakan. Adam lalu mendekat dan menepuk pundak Hartono. "Pak guru, Anda memang telah melakukan kesalahan. Anda juga sudah mengakui semuanya. Itu awal yang baik untuk perbaikan diri, bukankah begitu, Bapak Ibu?" Para guru dan wakil kepala sekolah saling pandang. Hartono yang terisak kemudian merogoh saku celananya dan menyodorkan sebuah bungkusan kepada Adam. "Ini, Pak. Silakan Anda jadikan bukti di depan kepolisian jika memang perlu. Saya juga masih menyimpan sisa obat tidurnya, Anda bisa bawa nanti." Sebungkus tablet effervescent berbungkus kemasan warna oranye diterima Adam dan lalu dimasukkan ke sakunya. Hartono lalu bangkit dan berlutu di depan Reza yang kebetulan berdiri tidak jauh dari guru-guru lainnya. "Maafkan saya, Pak Reza. Saya tidak bermaksud membuat keluarga Anda sampai malu semalu-malunya. Hanya saja, saya bersalah dan mengaku telah bertindakk bodoh, karena pikiran dan kekalutan pikiran saya sendiri. Maafkan saya, Pak. Maafkan." Pria itu memohon-mohon seperti seorang anak yang bertobat di kaki orang tuanya. Reza yang tak tahan diperlakukan sesungkan itu kemudian mengangkat lengan sahabatnya sambil tersenyum. "Saya maafkan," katanya. Ia lalu merangkul dan memeluk tubuh Hartono. Air mata bercampur cairan dari hidung meleleh di pundak akuntan itu. Tanpa peduli banyak, akuntan berkacamata itu menepuk punggung sang guru beberapa kali. "Kadang hidup memang perlu peringatan, Pak Hartono. Agar manusia saling mendekat. Itu yang dipelajari oleh guru saya dulu." Adam melingkarkan lengannya di depan dadanya ketika perlahan-lahan terdengar bunyi tepuk tangan. Alina dan Alya bertepuk tangan bersamaan disusul Ryan dan beberapa guru, termasuk guru agama yang nampak sungkan dan hanya menyentuhkan kedua telapak tangannya satu kali. Annisa juga tersenyum dan sempat menyeka hidungnya. Bunyi tepuk tangan itu, bukan ucapan selamat. Tapi dorongan semangat. Agar kesalahan dimaafkan, dan kebenaran diungkapkan. Menjelang isya suasana di sekolah itu menjadi cair. Reza memutuskan untuk tidak menceritakan perkara ini kepada istrinya Wulan. Pun pihak sekolah membatalkan tuduhan kurang menyenangkan terhadap dua siswanya, Ryan dan Alya. "Untuk sementara sebaiknya kalian berhati-hati di sekolah ini. Bagaimanapun ini pelajaran agar pacaran pun kalian bisa dapat fitnah yang bahaya," kata Adam yang sengaja mengumpulkan Ryan dan Alya di sebuah sudut khusus samping gedung itu. Ryan mengangguk ketika Alya menyenggolnya. "Jaga pacarmu baik-baik, atau kamu akan berurusan dengan banyak orang tua yang bisa berbuat apa saja." "Siap, komandan," balas Ryan. Sementara gadis bertubuh mungil namun tegap itu hanya tersipu dan mencubit lengan pacarnya. Adam menepuk pundak keduanya ketika kembali ke dalam kerumunan di depan ruangan XIB. Sepuluh lilin sudah terbakar yang entah disediakan siapa. Mereka mengadakan acara ulang tahun sederhana untuk Annisa, ketua kelas dan seorang sahabat yang peka. Adam bernyanyi ditemani beberapa guru yang kemudian meminta berfoto bersama. Tak pelak, lengan investigator tamu itu tak lepas dari pelukan seorang perempuan karir yang menyebarkan senyuman penjagaan yang mendadak sangat ketat. "1 Januari. Ulang tahun yang sangat mudah diingat!" Guru agama itu bersuara juga apda akhirnya. Annisa tersenyum malu saat ia kemudian meniup lilin dan disambut tepuk tangan riuh. Hartono telah dimaafkan, dan kini duduk di dalam lingkaran yang sama. Mendengar perkataan barusan, Adam tersenyum kecut. Merasa tersindir seketika. Untung saja Alina hanya tersenyum dan menggeleng melihat tingkah mantan suaminya itu. Dalam benak, Alina berpikir pasrah bahwa ulang tahun pernikahan mereka yang tepat jatuh di awal tahun, akhirnya dirayakan di sebuah sekolah, setelah menyelesaikan sebuah kasus yang lebih mirip persoalan keluarga. Di hati lain,  Adam berpikir, hal-hal sederhana namun rumit seperti itulah yang menjadi aliran darah keluarga. Semua tergantung keberanian untuk mengambil pilihan. Ia memandangi Alina dengan senyum-senyum yang tak sepenuhnya senang. Ia khawatir, seperti apa ia akan hidup esok, ketika Alina benar-benar tak bersamanya lagi. Laki-laki itu, rindu hari-hari ketika ia menjadi seorang suami. Itulah makna sebenarnya dari senyuman di bibirnya. Cahaya merah sudah menghilang dari ufuk barat. Malam menggelayut, udara dingin lalu menjadi selimut yang mengingatkan orang-orang betapa mereka harus lebih peka terhadap tubuhnya sendiri. Setelah melalui hari yang melelahkan, Adam dan Alina sudah duduk berdua di meja kecil itu. Di bawah lampu remang dan ditemani gelas lilin apung di tengah meja, mereka sama-sama bertopang dagu. "Jadi ini yang kamu sibuk telepon ke sana ke mari?" Alina menebak sambil memandang mata mantan suaminya itu. "Iya, aku pesan satu meja. Dan berkat pelayan yang kukenal baik, kita beruntung. Mereka menyediakan meja dengan titik paling bagus, bukan? Aku juga memesan sup buah naga kesukaanmu. Untung mereka masih punya." Lalu datang seorang pelayan yang membawa dua mangkuk berisi sup buah segar berwarna warni. Pelayan lainnya membawakan papan bertuliskan spidol aneka warna. HAPPY 5th ANNIVERSARY, ADAM & ALINA tertulis indah di situ. Alina melihatnya terheran-heran. Tapi ia tak bisa menyembunyikan senyuman bibir yang ditutupi telapak tangannya. Adam menghela napas kemudian bersandar. Ia selamat, untuk sementara, pikirnya. "Alina," "Ya." "Lihat langit itu. Betapa Mars sendirian karena Venus tidak ada di sana." Alina menatap langit sebelah barat, ke arah sebuah  bintang yang bersinar sangat cerah kemerahan. "Ia dia kelihatan kesepian. Sepertinya Venus tak muncul di barat tahun ini." Adam lalu menegakkan badan, melipat lengannya di atas meja, kemudian menatap Alina. Sang mantan istri sempat kikuk sampai akhirnya ia balas juga pandangan itu. "Sebetulnya, Aku telah mencuri Venus dari dia, dan aku akan menatap kecantikannya saat ini. Kamu, lambang dewi malam yang menyimpan kekuatan serta kelemahanku." Ekspresi Alina malam itu, tak mungkin digambarkan dengan kata apapun. *** Selesai. +++++++ Nantikan aksi Adam Yafrizal di dalam kasus-kasus berikutnya. Baca juga: Misteri Kematian Gadis Titipan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun