Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gibran dan Gadis Tiong Hoa

31 Januari 2014   07:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:18 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

* Gibran mengayuh sepedanya cepat menyebarangi jembatan kayu yang berderit-derit. Kabar soal bioscoop yang dibuka di sekitar Tanah Abang membakar semangatnya, karena ia berpikir mungkin Melin suka nonton. Konon, bioscoop-bioscoop di Eropa memakai kain selebar enam belas meter yang membentang setinggi tujuh meter. Filmnya diputar lewat lampu pijar listrik yang menemani putaran seluloid, membuat gambar bergerak-gerak alami. Gambar Idoep[1] akan jadi tontonan menarik ketika sudah bosan dengan pementasan wayang. Apatah jadinya Batavia ketika tontonan berubah massal. Seperti semua orang, ia merindukan momen penting ini. Menit-menit kemudian pemuda itu teringat pelajaran sekolahnya beberapa jam yang lalu. “Tak banyak waktu untuk kalian, para lelaki pujangga, untuk mengenal atau memahami apa itu cinta,” demikian kata Pak Usman, seorang sarjana lulusan Bandung yang fasih berbahasa mandarin. Alisnya tebal membuatnya lebih mirip ustad di pesantren. Kata-katanya itu terus terngiang-ngiang di telinga sampai Gibran melewati Paser Baru. “… meskipun orang Eropa berkata ‘cinta ada di luar sana’. Itu sepenuhnya semu. Tugas kalian di HCS hanyalah belajar dan belajar. Atau berlatih memegang senjata. Di lain waktu ketika kalian telah jadi lelaki seutuhnya—perempuan seutuhnya, cinta akan datang dengan sendirinya. Seperti Politik Etis[2] yang terbukti dengan sendirinya. Seiring bahasa Cina-Hindia Belanda kalian telah sempurna.” Mata guru itu seperti terbakar kilau alami, berkaca-kaca seperti menangisi diri sendiri. Hampir saja tersandung batu saat Gibran terkenang-kenang kata ‘cinta’ dan bahasa itu. Sepedanya menderit-derit untuk kembali ke jalan dan seimbang. Sampai akhirnya ia berhenti mendadak di pinggir sebuah sungai. Dipungutnya batu kecil yang menarik perhatiannya, sebelum mengayuh kembali ke tujuan semula. Di benaknya ada alasan lain mengapa Pak Usman begitu menjunjung disiplin  belajar tinggi untuk murid-muridnya. Untuk selebihnya, Gibran yakin bahwa sifat antipati gurunya itu terhadap cinta, sangat dilandasi oleh nasib hidup sang guru yang ditinggal selingkuh oleh istrinya, yang pergi berkawin Belanda. Perjalanan tiga kilometer dengan kayuh cepat bukan tanpa alasan. Meski hujan mungkin turun nanti malam, Gibran tetap membulatkan niatnya mengajak Melin ke pembukaan bioscoop. Gadis itu pujaan hatinya, perlambang dirinya mulai menjajaki apa yang disebut ‘kelaki-lakian’. Meski si gadis masih malu-malu dan sering kali mengutarakan alasan ini-itu untuk sesuatu yang sebenarnya ringan, Gibran sering terkekeh saja. Menurutnya cinta memang soal malu-malu yang manis. Soal perasaan yang tak melulu butuh perkataan. Ia legakan hatinya, ia seka keringatnya. Ban sepeda sengaja direm agak membusur biar menarik perhatian. Di dekat tempat sembahyang, Melin, gadis pujaannya itu, tersenyum simpul, lantas memisah diri dengan teman-temannya. Lukisan ini hanya ia yang mengerti keindahannya. Ingatan Gibran terlempar ke tiga bulan yang lalu, ketika tidak sengaja ia tersungkur lumpur di pasar tempat bapaknya bekerja. Ketika itu, ditertawai teman-temannya dan banyak orang, seorang gadis malah membantunya berdiri. Gibran tak bisa bicara, mulutnya kaku karena lebam dan kegusaran yang tak biasa. Pasir-pasir basah mungkin telah dicecapnya. Hal yang muncul dalam kesadarannya pertama kali adalah bentuk bibir yang tipis dan berwarna merah muda basah, lengan yang lurus dan kurus, pinggang yang melekuk, dan kuncir rambut yang lebih mirip konde lucu. Gadis itu jadi malaikatnya dalam sehari. Noda lumpur dan rasa pegal ditelannya mentah-mentah, tapi gadis itu mengobatinya dengan satu sentuhan. Pada sapuan angin berikutnya, ia putuskan telah jatuh cinta pada Melin, seketika gadis itu menghilang di tengah kerumunan. “Aku tidak yakin bapakmu mengizinkan kita menghadiri acara itu.” Melin, setelah menarik lengan Gibran bersembunyi di balik tembok kelenteng, berucap ragu. Bisa kelihatan kalau gadis itu takut mengambil risiko. Gibran merapatkan telunjuknya ke bibir kekasihnya. “Sssh, jangan keras-keras dulu. Tanah abang cuma setengah jam dari sini. Kalau kita berangkat jam empat, nanti kita masih punya waktu untuk cari beberapa kawan di sana. Jam tujuh, aku bisa antar kau pulang,” bujuknya. “Tapi Gibran, kau tahu sendiri, bagaimana ayahku memandang keluargamu.” “Ah sudahlah. Biar orang tua pakai cara pandang mereka sendiri. Kita berdua berpendidikan dari mereka. Kau sekolah di THHT dan aku di HCS, pasti ada alasan kenapa orang tua kita menempatkan kita di sana. Itu sekolah orang-orang terpelajar. Dan orang terpelajar, selalu melihat kemajuan.” “Aku… Aku belum yakin.” “Melin,” Gibran memegang lengan kekasihnya. “Lihat aku. Kita mulai dewasa. Walaupun kamu dua tahun lebih muda, aku tidak pernah melihatmu sebagai kanak-kanak lagi, atau bahkan remaja. Segala sesuatunya mungkin isyarat, tapi aku memilih yakin pada langkah-langkah kita. Aku yakin kita akan baik-baik saja.” Melin mulai bisa tersenyum. Pendar-pendar cahaya yang terpancar dari kedua mata Gibran membuatnya bersemangat. Akhirnya ia pun berpikir yang sama: mengapa dua anak tunggal dipertemukan mungkin takdir, dan selebihnya ia hanya bisa mengisyaratkan bahwa tindakan mereka nantinya mungkin akan membuat beberapa orang marah. Meski begitu Melin mengangguk, sejurus kemudian ia sudah merasakan dingin kecupan Gibran di punggung tangannya. “Kita akan belajar dulu di kelas, baru keluar sore harinya. Kalau lewat jalan dekat sungai di utara, mungkin tak ada yang kenal kita. Dua hari lagi, aku jemput di sini. Kau baik-baiklah.” Sebuah batu giok putih kehijauan baru saja mendat di tangan Melin. Dengan janji berikat pemberian manis itu, ia mengangguk penuh kasih. ** Secarik alamat dan dua tiket seharga empat gulden sudah ada di tangan Gibran. Langkahnya bersemangat dan jalannya agak melompat-lompat. Ubin-ubin di koridor Hollandsch Chineesche School[3] mulai kotor dan beberapa menit kemudian murid-murid sudah berjongkok, merangkak, dan berjalan maju-mundur di atasnya. Kain lap berbilas air sabun batang itu seharusnya dipakai mandi, pikir Gibran diiyakan temannya. Tapi pengawasan Pak Usman dan Bu Lin-lin membuat mereka serba hati-hati kalau ngomong. Di sekaan berikutnya, Gibran gelagapan. Pak Usman yang baru saja berlalu di dekatnya kemudian berhenti, melihat ke arah lantai, lalu berdeham. Dengan ketakutan Gibran memungut kertas kuponnya dari lantai, berharap tak terlihat sedari tadi. Pekerjaan itu menuntaskan pelajaran hari itu tentang anatomi tubuh manusia, kandungan bubuk mesiu, dan beragam warna tanah. Karena semuanya dibahas dalam bahasa Cina, Gibran lebih banyak tidur. Pikirannya baru bersemangat kembali ketika jam pulang. Sementara itu, di Tiong Hoa Hak Tong… Guru bernama Cay Mei, yang terkenal menarik dalam menerangkan pelajaran, bahkan gagal menarik perhatian Melin. Beberapa kali guru itu memancing pertanyaan pada murid-muridnya, tapi hanya beberapa gadis di barisan depan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar teori Copernicus dan sesekali menyinggung pepadian. Melin diam saja. Raganya di papan tulis tapi jiwanya di luar sana, terbang bersama angin di bawah pohon-pohon beringin. Ia masih memikirkan tawaran Gibran untuk melihat bagaimana rupa bioscoop. Terlebih soal bagaimana rupa Tanah Abang, ia tak pernah tahu. Cerita-cerita tentang pasar dan perniagaan tak pernah masuk ke telinganya lewat bapak-ibunya. Di malam-malam berpendar cahaya lilin, Melin lebih sering tertunduk. “Tak ada apa-apa di Tanah Abang itu, Nak. Orang Arab saja, Orang India saja, tidak ada orang kita. Tidak ada Orang Cina. Dan kau jangan sekali-kali mau dipengaruhi sama orang-orang itu. Orang Belanda saja sudah bikin hidup kita serba-susah begini sejak mereka datang. Kita tidak ingin lebih susah lagi. Tugasmu adalah pelajari itu bintang, perapian, pembuatan sepeda dan kapal. Kelak kalau jadi insinyur, kau tak perlu ikuti aku atau mamamu. Keluarga kita sudah cukup dagang.” Kalimat yang disampaikan bapaknya membuat Melin tak selalu bisa membalas, kecuali tanggapan pertama seperti “Iya”. Kalau sudah ada kalimat penegasan dari bapaknya, biasanya Melin tak mendapat pembelaan apa-apa, bahkan dari ibunya. Karena itu untuk tanggapannya yang kedua “Mengapa begitu?”, tak selalu ia dapatkan jawaban jelasnya. Melin mendengar bahwa nama Tiong Hoa yang jadi dasar penamaan sekolahnya datang dibawa oleh sebuah Rumah Perkumpulan para pedagang yang termasuk teman-teman ayahnya. Para pedagang itu sepakat membentuk sarikat yang tujuannya untuk mencerdaskan anak-anak mereka. Akhirnya lewat apa yang dinamakan Tiong Hoa Hwee Koan, sekolahnya berdiri. Pengaruh pemerintahan Belanda membuat orang-orang Cina terpinggirkan. Tidak disekolahkan dan tidak dijamin untuk berdagang. Sarikat pedagang adalah jalan keluar kalau orang-orang Cina ingin mereka diakui di Batavia, mungkin di Hindia-Belanda. Buktinya, setelah beberapa bulan berjalan, rumah perkumpulan berhasil membuat takut Gubernur-Jenderal. Sampai akhirnya mereka membangun Hollandsch Chineesche School, tempat sebagian orang Cina ditarik bersekolah. Sejak itu Melin mendengar panggilan baru bagi orang-orang sebangsanya. Tiong Hoa untuk menandai orang-orang Cina. Orang-orang Cina hanya boleh kawin dengan orang-orang Cina. Begitu hukum lama yang melekat di keluarga. Melin sebetulnya percaya, diambilnya sebagai warisan akar budaya. Tapi pertanyaan-pertanyaannya soal kedewasaan dan cara berpikir manusia beberapa kali mengganggunya. Terlebih ketika datang tawaran cinta, Melin tak punya banyak pilihan jawaban kecuali “Iya”. Jawaban yang diajarkan ayahnya. Di matanya, Gibran, meski kulitnya tak kuning dan matanya lebih tampak bulat ketimbang sipit, baginya tetap anugrah. Keputusan hati yang ia sendiri tak bisa jelaskan. ** Pintu rumah bergaya Arab itu diketuk. Tuan rumah membukakan pintu, untuk mendengar berita aduan yang tidak mengenakkan. Saat Gibran tiba di depan rumahnya magrib, ia berpapasan dengan Pak Usman yang hanya menyapanya singkat sebelum berlalu. Muncul gelagat agak aneh di mata Gibran soal kedatangan Pak Usman, yang di ambang pintu sudah diamini tatapan tidak mengenakkan dari abahnya. “Makan dulu, Gib,” ujar sang abah begitu saja. Gibran melihat semua tanda. Bahkan uminya diam tak banyak bicara. Ia merasa semua pandangan menusuk hatinya, kalau tidak dibuang jauh dan percuma. Untuk pertama kali ia merasakan dirinya seperti penjara. Ada banyak tanda tanya yang abah-uminya biarkan begitu saja buatnya. Tak makan dan tak minum ia semalam itu. Satu-satunya hal yang menghibur hatinya adalah bahwa besok sore ia akan berangkat ke Tanah Abang dan Meli ikut bersamanya. Dengan kayuhan sepeda yang lancar di bawah cuaca yang mudah-mudahan elok, mereka bisa tiba sebelum jam lima. Walau anak lelaki itu tertidur dalam gusar, mimpi-mimpinya mendayu-dayu. Keesokan paginya, sepeda itu hilang dicuri. “Di mana sepedaku, umi? Di mana, umi?” tanya Gibran panik. Seharusnya ia sudah berangkat ke HCS, tapi sepeda itu tidak ada di tempatnya. “Aduh, Nak. Kemanapun sepedamu itu, pasti akan kembali. Sabar saja ya.” Jawaban uminya tak menenangkan hati. Mesti ada apa-apa. Tapi apatah itu rasa penasaran di dalam hati Gibran. Abahnya tak jua membalas jawab, malah pergi dengan karung-karung beras dan rempah ke atas kereta. “Aku tidak bisa ke sekolah kalau begini, umi.” “Tidak mengapa, Nak. Abah sudah memintakan izin buatmu, pada Pak Usman.” “Apa? Tidak bisa umi!” Kemudian dengan sandal kulit baru saja direkatkan, Gibran berlari kencang meninggalkan halaman. Tak peduli panggilan uminya berkali-kali dan hampir parau, anak lelaki itu makin menjauh. Ia tak bawa buku dan tak bawa pensil, tapi ia sudah tahu jalan mana yang dituju. Melewati pos jaga tentara Belanda yang asyik merokok, beberapa gerobak pedagang yang tak habis berteriak “Telor, Telor!” Gibran terus berlari. Ia tak habis pikir, bagaimana sepedanya hilang begitu saja. Ia tak bisa terima, kalau-kalau rencananya bersama Melin batal begitu saja. Setiba di HCS, Gibran dihadang Pak Usman. Pemuda itu coba memberi kode-kode mata pada Torik dan Gambul, temannya di belakang sana, tapi percuma saja. Sudah terlambat dua jam, ia tak mungkin bisa masuk kelas. “Tugasmu mengepel lantai, menyapu halaman. Jangan masuk dulu dan jangan membantah, Nak. Kau mau kupanggilkan tentara kemari dan kau diikat di pohon?” Mata Pak Usman melotot seperti kuda yang melihat ke kanan dan ke kiri. Gibran agak gentar tapi tak kehilangan kata-katanya. “Tapi, Pak Usman, Saya harus…” “Harus apa, Mau ke Tanah Abang? Ha-ha-ha…. Jangan pulang sebelum jam lima, Nak. Saya akan mengawasi kau.” Tangan-tangan kecil itu mengepal dengan sendirinya. Gibran tak kuasa melawan. ** Dupa baru saja ditancapkan. Tiga-empat orang berdoa dari pelataran kecil di pinggir jalan. Patung-patung dari keramik melambangkan dewa, dipajang di tangga-tangga batu. Lonceng berbunyi beberapa kali di dekat jajaran patung kucing berwarna emas. Dupa-dupa berupa batang merah itu ditancapkan di depan pintu tiap-tiap rumah. Baunya semerbak sampai berpuluh-puluh meter, membuat kawasan Menteng tak ubahnya jalan Guangzhou dari tenggara. Di toko kecil tempat barang-barang kelontong baru saja dirapikan, Liong Tan duduk mengobrol dengan istrinya. Sepertinya perbincangan mereka serius karena nampak dua-tiga orang pedagang ikut nimbrung. Gosip tentang dibukanya bioschoop pertama di Batavia merebak seperti berita tentara yang baru saja mendarat di suatu desa. Orang-orang saling bisik dan beberapa lainnya saling sindir. “Berarti kota pelan-pelan maju. Apa kataku, Belanda tidak jahat-jahat begitu,” ujar seorang pembeli minyak. Liong Tan menggeleng-geleng mendengarnya. “Salah, salah. Belanda tidak tahu apa-apa. Menurutku ya, orang-orang kita yang bikin kota ini maju. Apalah bisanya orang-orang Betawi, mereka banyak bercanda lalu tak lama begitu habis bertengkar. Kampung-kampung dekat sini dulu kan sepi, setelah orang-orang Tiong Hoa, kita-kita ini, masuk, baru banyak orang yang datang ke mari. Di Tanah Abang itu sama. Dengar-dengar, yang biayai bioschoop sampai dibawa ke Batavia, sebagiannya orang-orang Cina. “Eh, kalau begitu, enggak ada salahnya kita intip sedikit buatan barat begitu. Pak Liong nontonlah, Pak Lim dan Pak Han mau ke sana, sepertinya. Siapa tahu ada calon rezeki!.” “Oh, saya sama istri malah mau ke Tanah Abang nanti malam. Coba itu bioscoop, siapa tahu film bagus. Malahan kami mau berangkat sekeluarga. Iya, kan, ma?” Nyonya Tan mengiyakan perkataan suaminya. Meski untuk beberapa perbincangan selanjutnya mereka memilih berbahasa Cina, temanya masih seputar gosip kampung, bisik-bisik rencana tentara Belanda, dan kemungkinan bisnis mereka menguasai kota. “Tapi, Ma?” “Sudah engak apa-apa. Besok kan kau libur. Kita ke sana tidak sampai malam.” Melin lagi-lagi tak bisa membalas perkataan ibunya itu. Akhirnya dengan berat hati, lagi-lagi ia berucap “Iya”. ** Kelenteng ramai dengan orang-orang sembahyang. Tapi keramaian itu justru membuat Gibran gusar. Tidak ada Melin seperti ia inginkan. Bahkan, semua mata seperti mengawasinya. Ia melangkah mundur, kemudian berlari kembali ke jalan. ** Lapangan dekat Tanah Abang mulai disesaki orang. Beberapa berdiri di dalam barisan ketika yang lainnya sibuk berdesakan di dekat jajanan kerak telor. Di jam-jam seperti ini pasar baru saja tidur, mengikuti aturan jam malam yang kembali diberlakukan Gubernur-Jenderal Belanda. Pemimpin militer lebih sering turun ke jalan jelang Natal dan Tahun Baru, tapi malam ini pengamanan diperketat. Tiga puluhan tentara bersenjata lengkap mengawal beberapa orang berjas khaki rapi di dekat pintu masuk gedung paling besar di situ. Beberapa pasang lelaki dan perempuan saling peluk dalam remang-remang dekat sungai kecil belasan meter dari kerumunan. Sementara jalan-jalan mulai disesaki orang-orang yang makin penasaran dengan pertunjukan baru ini, di puncak gedung lampu-lampu petromak dipasang agak tinggi. Kemudian terpampanglah tulisan di spanduk besar-besar:  SELAMAT DATANG DI ‘GAMBAR IDOEP’ – SELAMAT MENJAMBUT TAHOEN BAROE 1902. Orang-orang bersorak-sorai menyambut panggung hiburan baru. Orang-orang berjas mengangguk-angguk puas. Tentara Belanda itu menghentikan isapan rokoknya ketika melihat seorang anak laki-laki kurus lari terengah-engah. Hampir saja ia tahan anak itu kalau saja ia tak terpantik api dan tangannya panas tidak disengaja. Gibran baru saja turun dari kereta kuda yang membantunya mendarat tak jauh dari jalan menuju pasar Tanah Abang. Menyadari ia mungkin mendapati abahnya yang belum pulang dan Pak Usman yang sengaja mengawasi –dengan sepeda miliknya yang mungkin telah sengaja ia ambil—Gibran melangkah lebih waspada. Matanya menyelidik ke kanan dan ke kiri, memastikan ia tidak diawasi. Setelah melewati beberapa gang dengan warung-warung yang mulai ditutup dan lapangan main anak-anak yang ditandainya, ia tiba di jalan utama tempat orang-orang berkumpul dengan sorak-sorai. Jam lima lebih lima belas menit, hari mulai gelap. Sementara orang-orang mulai ramai berjalan menuju satu titik berpendar cahaya, Gibran mengambil jalan lain. Dilihatnya Melin berdiri sendirian. Di dekat keramaian orang dengan sikap gugup yang tak biasa. “Melin!” Gibran memanggil. “Gibran,” ujar gadis manis Tiong Hoa itu. Dandangannya berkilau warna-warna emas. Garis-garis pakaiannya nampak jelas dibalut lebih rapi. Rambutnya berkilau di bawah cahaya kekuningan. Semerbak jasmin meruap-ruap berpadu wangi dupa. Gibran  hampir pingsan dibuatnya. “Kau tidak ada di sana waktu aku ke kelenteng.” “Iya, Gibran. Maafkan…” Tapi baru saja Gibran ingin menggandeng tangan gadisnya itu, dari belakang ia merasa pundaknya ditepuk. “Menjauhlah, Nak.” Tuang Liong Tan menghisap cerutu tebal. Jasnya sengaja dirapatkan untuk menunjukkan wibawa. Seakan-akan memberitahu anak itu siapa dia yang sebenarnya. Melin yang masih nampak gugup kemudian meminta maaf kepada Gibran, memberitahukan berita yang sebenarnya. Bahwa ia tak bisa pergi bersamanya tadi, dan bahwa orangtuanya sudah tahu semua rencananya. “Terima kasih, Nak. Sudah mau menghargai Melin,” ujar Tuan Tan memegang pundak Gibran. “Tapi Nak tahu bagaimana kami orang-orang Cina bekerja, menjalin hubungan. Tidak akan pernah berhasil kalau Nak mau berteman dengan anak saya.” Melin sudah bergeser mendekat ke perempuan paruh baya yang nyata adalah ibunya. Melihat itu, Gibran lemas. Perjuangannya sia-sia saja. Dan di tengah keramaian orang yang suka ria menyambut pertunjukan baru dalam peradaban, ia terkungkung dalam kesedihan yang mengejutkan. “Pulanglah, Nak,” kata Tuan Tan. “Tapi saya punya kupon untuk nonton, Tuan. Saya sudah bayar.” “Berapa, dua perak? Ha-ha-ha...! Saya uangmu tiga kali lipat, tapi tolong pulanglah. Saya tahu bagaimana perasaanmu sebagai laki-laki. Tapi zaman seperti ini belum memungkinkan dua ras berbeda untuk menjalin hubungan seperti yang kalian mau, Melin.” Bapak itu menasihati seperti melihat dirinya sendiri. Meski Tuan Tan menyimpan rasa marah dalam dadanyaa, ia coba menyampaikan simpati seperti yang selama ini ia ajarkan pada anak dan istrinya. “Saya pelajari bahasa Tiong Hoa mungkin terpaksa, Tuan. Karena sekolah saya mengajarkannya begitu. Tapi perasaan saya tidak pernah dipaksa oleh apapun. Seperti mata Tuan yang menasihati seorang laki-laki yang sudah beranjak dewasa. Atau tanya di hati Tuan tentang masa di mana orang beda kulit bisa menikah dan hidup  bahagia.” Tuan Tan tergelak oleh kalimat itu, meski ia tak harus membalasnya. Saat Gibran melangkah menjauh dari pelataran itu, ia sudah ditunggu sebuah kereta kuda dengan karung-karung beras di atasnya. Di tengah jalan berlapis tanah gerobak itu menepi, dijaga seorang tambun dengan topi bulat putih dan seikat sarung melilit di pinggang. Pecut dipukul-pukulkan ke betis sendiri, rupanya Djailani menanti sedari tadi. Gibran, yang merasa kalah, mengikut saja naik ke kereta itu. Menyambut abahnya dengan hati menderu-deru. Melin membalik wajahnya ke belakang, jauh mencari keheningan jalanan. Di depan gambar-gambar bergerak yang bisu itu, ia masih menyimpan tanya demi tanya. “Asal kau tahu, Nak. Abah sudah bicara dengan Tuang Tan,” ujar Djailani membuka pembicaraan. Suasana kaku dan hening tak pernah menenangkannya, apalagi di depan anak sendiri. Kereta dokar itu berjalan pelan di jalan tak rata. “Apa? Kapan abah…” “Satu jam yang lalu. Setelah tahu soal rencanamu ketemu anaknya, yang abah dengar dari Pak Usman –Kau tahu Nak, Pak Usman itu orang kepercayaan abah, dia rajin mengaji dan kenal dengan watak orang-orang Cina--, abah putuskan untuk mengikutimu kemari. Karena abah tahu kau orangnya nekat seperti abahmu ini waktu muda dulu. Soal perempuan, jangan dibilang.” Gibran mulai tersenyum. “Abah dulu pengejar?” “Ya. Jadi ringkasnya abahmu ini tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Hanya saja, kau sekarang ini, agak bahaya. Aturan masyarakat belum bolehkan kita terlalu dekat dengan orang-orang Cina. Mereka punya aturannya sendiri, tidak boleh kita langgar, atau mereka langgar. Kita tidak boleh saling ganggu kehidupan. Ya… walau begitu abah juga percaya cinta tak bisa dibatasi begitu saja. Hanya saja, belum waktunya saja, Nak.” “Kalau begitu sampai kapan, abah? Apa kita mau tunggu Belanda keluar dari Batavia?” Djailani tersenyum mendengar tanggapan anaknya. “Mungkin, Nak. Mungkin.” ---------------------------------------------- [1]  Gambar Idoep adalah nama bioskop pertama di Batavia, muncul pada tahun 1900, menayangkan film bisu yang kemudian menjadi titik awal era perfilman di Indonesia. [2]  Politik Etis = Paham kolonialisme yang diperkenalkan oleh wartawan koran De Locomotief Pieter Brooshooft dan politikus  C. Th. van Deventer pada 1900, mengatakan bahwa pemerintah Hindia-Belanda bertanggung jawab atas nasib warga pribumi. Era ini sekaligus mengkritik politik Tanam Paksa yang diajarkan V.O.C. [3] Hollandsche Chineesche School merupakan sekolah pendidikan awal yang didirikan pemerintah Hindia Belanda pada 1901. Sekolah ini ditujukan untuk menyaingi Tiong Hoa Hak Tong, sekolah anak-anak keturunan Cina yang didirikan oleh Tiong Hoa Hwee Koan (Rumah Perkumpulan Tiong Hoa), setahun sebelumnya. *

Tiong Hoa Kwee Koan juga menjadi perintis pemakaian istilah "Tionghoa" yang mengacu kepada masyarakat keturunan Tionghoa. Sejarah pemakaian kata "Tionghoa" berawal di kalangan perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) Batavia pada tahun 1900. Pada saat itu istilah "Tjina" atau "Tjienna" yang dipakai sejak lama mulai dianggap merendahkan. Pada tahun 1928 Gubernur-Jendral Hindia-Belanda secara formal mengakui penggunaan istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok" untuk berbagai keperluan resmi. Penggunaan istilah "Tionghoa" ini hanya bertahan selama 38 tahun, karena pada tahun 1966 pemerintah Orde Baru kembali menggunakan istilah "Cina" hingga akhir periode pemerintahan. (Wikipedia)

------------------------------ Ilustrasi: Potret siswa di kelas Hollandsche Chineesche School di Madiun, tahun 1901. (Wikipedia/Collectie Tropenmuseum Zesde) *

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun