Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Doa dari Phang Nga

11 Januari 2014   09:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:56 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13894088311839051899

*

Kalau bisa roh keluar dari tubuh dan menjelajah sendirian, Totok sudah duduk diam di rumahnya di Sleman kemudian tersenyum. Mungkin bersila di teras rumahnya bak pesenam yoga, kemudian melihat dirinya terhempas ke dinding lantaran kapalnya digoyang ombak sungai seluas lautan, ratusan meter lepas pulau Phang Nga, Thailand. Akan tetapi kenyataan pahit yang terjadi selama dua tahun berkali-kali berbisik di telinganya bahwa ia harus segera pergi bersama raganya sendiri. Di kepalanya berputar-putar suara orang-orang yang tertawa kepadanya, mengatakan berkali-kali “sudah kubilang” kemudian pergi memunggung.

Di usia memasuki senja, Totok memutuskan lebih sering melihat ke dalam dirinya sendiri. Pikir-pikirnya, keberhasilan atau kegagalan menjadi sutradara ibarat duduk diam menyaksikan film itu sendiri. Orang-orang mengatakan ini baik dan itu buruk sementara seorang duduk di sudut punya penilaiannya sendiri. Paling tidak, citra baik yang dibangunnya selama tiga belas tahun membawa sedikit harapan bahwa ia tidak akan meninggalkan pekerjaan itu, sehina apapun namanya di muka orang-orang. Akan tetapi, ia mencari sesuatu untuk dibawa pulang. Sebagai penanda bahwa ia berubah dan, mungkin akan membuat karya-karya yang sedikit lebih baik.

Totok memutuskan mengalami perjalanan batin dan raga yang membawanya ke sekelompok pulau di Thailand. Jadwal sudah disusun, daftar kunjungan sudah ditandai. Jikalaupun tidak semua tempat dan kegiatan yang ada di kertas berwarna merah itu bisa ia tuntaskan, ia harus membawa sesuatu saat pulang ke Indonesia. Maka pada hari ketiga Januari, ia beringsut memasuki kamar hotel Avon Sea, tepat di jantung distrik Patong. Air hangat terasa sama saja di mana-mana, pikirnya. Begitu juga udara tropis yang selalu menyegarkan kepala. Dari jendela lantai tiga hotel Totok melihat jalan-jalan kehidupan malam.

Dari brosur yang didapatnya di Bandara, Totok menandai Patong sebagai distrik “merah” pulau Phuket. Konon, Bangla Road yang terkenal itulah tempat di Patong di mana wanita-wanita umur duapuluhan menari tiang dari atas meja dan para turis barat bertepuk tangan untuk mereka. Konon, di distrik ini pula bahkan kelompok transeksual dijadikan komoditas wisata pertunjukan yang membanggakan. Dibayar lebih mahal untuk urusan seks ketimbang perempuan tulen yang berdandan pasaran. Totok menghela napas sekali lagi. Merenungi pilihannya untuk tidak menikah seperti mendudukkannya di bangku kuliah dengan ceramah agama yang dibawakan oleh seorang filsuf ateis. Ia tak pernah bisa mendebat hal yang masih menjadi teka-teki baginya. Di bawah sana seorang perempuan dengan kulit berwarna sambil tertawa dibonceng pergi oleh laki-laki berwajah Yunani. Amantes sunt amentes.

Jalan-jalan Patong selalu berakhir di Bangla Road, sebuah ruas jalan aspal sepanjang dua ratus meter yang saat malam dikuasai pedestrian. Alasannya sederhana: karena di dua sisi jalan berjajar puluhan diskotik yang berakhir di persimpangan pantai Patong di sebelah barat daya. Lampu-lampu merah mendominasi di antara laser-laser warna hijau. Musik bertempo dan bas tinggi seperti jadi ketukan catur bagi penari striptease yang mulai menggerak-gerakkan hak sepatunya saat malam beranjak pukul sembilan.Sementara pandangan mata para pejalan kaki tertarik begitu saja ke arah lobi-lobi ini, tubuh mereka bisa tertabrak oleh muda-mudi yang membawa kertas menu berlaminating bertuliskan take one get one free. Layanan plus-plus seakan tersertifikasi.

It’s three hours away.

Totok menoleh. Suara sapa itu ternyata datang dari arah samping kanannya. Segelas cha dum yen baru saja menyegarkan pikirannya. Sadar dirinya diperhatikan, Totok tersenyum dan menunjukkan lebih jelas brosur yang sedari tadi dibacanya. Bar kakilima yang semua kursinya terisi itu seperti gerobak mi ayam yang diserbu pekerja konstruksi yang kelaparan. “Yes. I think I’ll get the bus for this tomorrow,” balas totok kepada laki-laki kulit putih dan berkepala pelontos itu. Pria yang kemudian mengenalkan dirinya sebagai Jake Hoffmann, dari Frankfurt, Jerman.

Setelah mengenalkan dirinya dari Indonesia, Totok terkejut karena Jake ternyata sedikit bisa mengenali bahasanya. Bahkan, teman barunya itu bercanda dengan mengatakan “Bali itu tempat spiritual bagi saya di Indonesia. And you are here.”

Totok mengangkat bahunya, malu sejenak tanpa kata. Brosur di tangannya bertuliskan Kho Phang Nga, tentang perjalanan menelusuri sungai selama dua jam dan melihat tebing-tebing batu yang lebih mirip pulau-pulau tenggelam di belantara air. Jake berujar bahwa dirinya baru saja kembali dari tempat itu, sambil mengangkat jempolnya sebelum menenggak plong vodka dari botol ukuran sedang. “Ombaknya, the waves, from the river… almost majestic to me.

Anda tahu, setiap orang pasti akan mengambil jalan seperti yang Anda lakukan sekarang. Saya sendiri telah mengunjungi enam belas negara hanya untuk mencari jawaban untuk ‘what I’ve been looking for… in this life, you know,” ujar Jake sembari menambahkan bahwa kematian putrinya sebelas tahun lalu telah mengubah hidupnya. “Sampai akhirnya saya merasa bahwa semua uang yang saya miliki pasti diberikan Tuhan untuk tujuan tertentu. Saya tidak bisa menghamburkannya begitu saja, dan saya sampai bingung berhari-hari. Sampai akhirnya saya memutuskan mendengarkan bisik-bisik dari mimpi saya. Saya mencumbu istri saya malam itu juga, mengambil paspor, dan pada hari berikutnya saya sudah mendarat di Lhasa, Tibet.

Saya belum punya modal cukup untuk pergi sejauh itu.” Totok coba mengikuti alur cerita Jake, sambil merenungi dirinya sendiri bahwa nasib seperti itu (atau mungkin lebih parah,) bisa menerpanya. Setelah menceritakan masalah produksi film yang menjadi pusat kegusarannya belakangan ini, tentang karyanya yang ditolak dan membuatnya nyaris bangkrut, Totok merasa lebih tenang. Walaupun demikian ia heran, karena selama beberapa hari terakhir diam, ia malah merasa lebih dekat dengan orang asing. “Ini perjalanan pertama saya seorang diri. Saya harap berarti sesuatu. Saya akan meninggalkan Patong dan ke Phang Nga besok.”

Nikmatilah hiburan selagi di sini, bung. God knows who, among us, is looking for Him. Even from a street like this.

Totok mengangguk saja. “Yes. I think I can learn something here.

Jake Hoffmann melempar senyum, juga dengan anggukan simpatik. Niat memesan segelas untuk teman barunya terbatalkan begitu saja tanpa alasan. Totok beranjak dari bar mini itu saat melihat Jake sudah mendekat ke meja para penari dan mulai membuka kancing kemejanya. Seiring tempo musik meninggi, bulir-bulir keringat berjatuhan di lantai.

Pada pagi berikutnya Totok menikmati air panas sekali lagi, menyeka tengah kepalanya yang dikerubuti rambut-rambut perak dan tengahnya yang mulai mengkilap. Di cermin ia adalah seorang buruh dan ayah yang kelelahan, tapi sentuhan tangan pada setiap bagian tubuhnya seperti pengingat bahwa langkahnya bisa pergi lebih jauh lagi. Setiap manusia punya jalan kesendiriannya.

“Yang dibisikkan oleh Tuhan saat masih di dalam rahim, dan yang diingatkan saat mata tertutup.” Totok berbisik-bisik sendiri. Angin pagi menyeka rambutnya hingga kering. Matahari seperti memanjat dari balik bukit, sabar sampai cahayanya meluncur pelan-pelan pada pukul tujuh. Pemandangan panas yang eksotis di luar jendela semalam seperti terbang dengan sendirinya kini. Yang ada hanya jajaran kursi pendek yang lengang. Beberapa perempuan berpakaian minim jalan sempoyongan, sesekali tertawa kemudian diam begitu saja ketika melintas melewati seorang biksu.

Kemudian terlihat wajah yang familiar di bawah sana. Totok mengambil kameranya, menyorot fokus Jake Hoffmann yang menghentikan langkahnya di bawah sana. Lelaki Frankfurt masih mengenakan kaus abu-abu semalam, dengan bentuk segitiga lebih gelap di bagian leher dan dua ketiaknya. Sepertinya baru saja menunaikan transaksi dengan seorang perempuan bayaran di pojok gang. Totok membantin, laki-laki temannya itu seorang peminum alkohol, mungkin ayah yang gagal, manajer yang bingung dengan kekayaannya, dan seorang yang bosan dengan hidupnya. Pikiran-pikiran bebas Totok membuat kesimpulan sendiri bahwa mungkin Jake hanya melampiaskan kemarahannya pada diri sendiri dan berniat lari dari semua yang menjeratnya. Tapi apa yang disaksikannya kemudian menghilangkan semua prasangka itu.

Totok memperbaiki fokus matanya. Di bawah sana Jake berhenti, merapatkan dua kakinya, dan menangkupkan dua tangannya tegak di depan dada. Dagunya tertarik ke bawah setengah, seiring senyumannya yang bersih. Kepalanya seperti tersirami air suci. Di depannya, seorang biksu bersandal kemudian memegang tangan Jake, menyelipkan sesuatu ke dalamnya, kemudian berbicara dengan kata-kata yang tidak terdengar. Jake jelas senang mendengar kata-kata itu, kelihatannya, karena ia bahkan ingin memeluk biksu itu tapi lagi-lagi gerakannya batal begitu saja. Biksu itu membalas hormat dengan dua tangan di depan dada, melepas Jake berlalu dengan gelang tali merah melingkari pergelangan tangannya.

Di atas bus setelah satu jam perjalanan, Totok terus terbayang pemandangan yang disaksikannya pagi itu. Batinnya bertanya-tanya: untuk apa manusia mencari? Untuk apa seorang pemabuk didoakan seorang biksu? Menurut jawaban yang didapatkannya dari resepsionis hotel, setiap pagi memang biksu-biksu turun dari kuil-kuil di puncak bukit. Mereka keliling berjalan kaki seantero pulau dan mengambil sumbang-sumbangan dari orang-orang di jalan, juga dari pemilik toko. Keranjang bambu yang mereka bawa bersama balutan kain panjang coklatnya selalu terisi uang bath kalau bukan dollar Amerika saat mereka bisa sejenak menggunakannya untuk membeli beras. Meski begitu, kuil dan biara tidak pernah terlihat kaya. “Gelang itu doa. Sekaligus tanda kalau mereka bukan mengemis.

Totok memotret air yang beriak-riak. Mengombang-ambing perahu-perahu panjang beratap tenda dengan mesin diesel bekas bus sebagai penggerak. Totok teringat akan mimpinya. Persis seperti inilah air permukaan sungai Phang Nga. Hijau payau memantulkan cahaya. Warna air yang kehijauan itu tidak saling bermusuhan dengan langit biru yang tegas. Punggungnya agak sakit karena terlalu lama duduk –yang memang selalu jadi masalahnya di usia senja. Totok memilih menghalau jauh-jauh sejenak semua duniawi yang mengikat batinnya. Pemandangan di depannya sejenak membuatnya berpikir. Perjalanan batin di atas sungai akan membawanya ke gugusan pulau karang kecil yang selalu muncul dalam mimpi-mimpinya. Merapal doa suci berbahasa Hokkian yang ia sendiri tak ketahui artinya.

Di Kho Ping Kan, sebuah pulau kecil dengan tebing batu yang saling tindih, perahu rombongan wisata merapat bersama beberapa lainnya. Para turis dibawa oleh pemandu mereka masing-masing untuk melihat gua-gua batu. Beberapa rombongan sengaja mengantre untuk melihat karang yang bentuknya mirip paku, tertancap runcing setinggi tiga puluh meter di tengah air. Totok diam saja di atas batu, teringat Musi dan pegunungan di Malino. Kameranya sudah cukup mengumpulkan kabar.

Kemudian Totok melihat seorang gadis. Melayu, nampak dari kulitnya dan rambutnya. Pengalaman menangani banyak karakter orang membuat Totok sedikit bisa mengenali karakter beberapa bangsa tertentu yang dekat dengan kesehariannya. Gadis itu setidaknya Malaysia kalau bukan Indonesia. Duduk sendirian dengan kain pantai melilit kaki hingga pinggangnya. Kemudian lewat serangkaian pendekatan sederhana, Totok akhirnya bersalaman dengan gadis itu.

Gadis itu bernama Sanoh, seorang asli Phang Nga. Totok kikuk dan cepat-cepat meralat bahasanya ke dalam Inggris, meminta maaf dan berkilah sekenanya. Tapi kekhawatirannya kemudian terhalau aman karena ternyata gadis itu, Sanoh, bisa berbahasa Melayu.

Sanoh nampak sebagai seorang penerima yang baik. Bahasa tubuhnya sangat terbuka dan kata-katanya sama sekali tidak terbata. Totok ditawari duduk bersama di sebuah batu panjang tempat para turis lalu lalang tanpa terganggu. Dengan senyuman ramah khas tuan rumah, Sanoh menjelaskan kalau dirinya hanya menemani sang ibu yang berjualan baju di jajaran kios tak jauh dari situ. Totok menjelaskan dirinya singkat, sambil sedikit melebih-lebihkan soal Indonesia dan baru terdiam saat ingin menyinggung pekerjaannya.

“Kenapa Anda tidak menikah?”

Sanoh cepat-cepat meminta maaf setelah melontarkan pertanyaan itu. Untuk pertama kali setelah perbincangan lima-enam menit, wajah gadis itu nampak memerah. Usianya jelas bukan remaja lagi dan ia bisa merasakan kalau lawan bicaranya agak terganggu. Tetapi kemudian Totok tersenyum saja dan mengisyaratkan kalau semuanya baik-baik saja.

“Pekerjaan saya tidak memungkinkan itu. Anda mungkin tahu, seorang sutradara mudah saja menggaet pasangan hidup. Tapi kehidupan saya sedikit berbeda. Setelah ada beberapa orang yang dekat, akhirnya saya tidak menemukan satupun yang mengisi hati saya. Kemudian setelah semuanya berlalu, akhirnya saya kembali pada kesibukan kerja. Tanpa terasa, saya melewati usia empat puluh.”

Sanoh mengangguk memegangi lututnya. Ia memilih mendengarkan lebih lanjut cerita Totok, termasuk saat tamunya mengisahkan tujuannya mengunjungi Thailand, dan apa yang dicarinya di Phang Nga. Mendengar soal seorang biksu dan turis pemabuk di Patong, Sanoh hanya tersenyum. “Tidak cuma di Patong Anda bisa melihat hal macam itu. Di Phang Nga sini, pulau setelah ini, Anda bisa ketemu banyak restoran. Di sana banyak turis Amerika, Perancis, Jerman. Mereka cari gadis-gadis Thai untuk dipacari, ditiduri. Macam-macam. Ada pun yang nikah dengan gadis Thai dan bertahan tinggal di Phang Nga. Kata mereka, ada yang menemukan hidupnya di sini.”

Totok tidak sedikitpun meragukan itu. Malah, ia menambahkan, Phang Nga mungkin punya daya tarik lebih baik buat orang yang mencari cinta.

“Itu karena karang-karangnya saja, Tuan,” ujar Sanoh menimpali. Saat Totok memintanya menjelaskan lebih lanjut, ia mengambil jeda sejenak.

“Kata ibu saya, cinta di hati seseorang bisa berbentuk apapun. Saat di Phang Nga, mungkin serupa aliran sungai yang panjang dan luas ini. Airnya jernih, tak banyak berombak, tapi payau. Keseimbangan soal cinta selalu menyinggung riak-riak yang mengubah rasa air. Di sini, karang-karang berbukit selalu ada di sepanjang sungai. Kalau karang-karang itu penghalang aliran cinta, setelah suatu masa yang lama, ujung bawahnya akan semakin kecil. Air punya kelembutan yang bisa kalahkan kokohnya batu. Saya kira cinta juga begitu. Tidak salah kalau banyak orang menikmatinya mengalir dulu. Tidak memaksakan apapun, sambil menunggu karang jatuh dengan sendirinya.”

Totok tertawa. Ia berkilah dengan mengatakan bahwa hal seperti itu juga bisa terjadi di sungai manapun di dunia, termasuk di Indonesia.

“Memang benar,” balas Sanoh kemudian. “Tapi tuan mengambil perjalanan jauh kemari dalam keadaan sendirian. Bukan untuk berbelanja, bukan?”

Totok mengangguk.

“Maaf, saya cuma cerita apa yang diceritakan ibu saya. Terkadang, Anda harus mengunjungi suatu tempat untuk merasakan suasana batin tertentu. Kecocokan batin dengan suatu tempat tidak akan tergantikan dengan tempat lain, bukan?”

Setelah mereka membiarkan kerumunan orang berlalu dan angin menyapu sungai sekali lagi, Sanoh akhirnya mengangguk melempar senyuman. Ia memohon maaf sekali lagi, menambahkan bahwa mungkin ibunya sudah memanggil di depan sana. Gadis itu berlalu setelah memberi hormat cara Buddha. “Saya doakan semoga Tuan menemukan tujuannya.”

Totok membalas hormat sebelum terdiam di tempatnya duduk. Beberapa menit kemudian ia habiskan dengan susah payah mencoba mengusir rasa kesal yang mencuat karena merasa diceramahi mentah-mentah oleh seorang gadis belia. Ia sendiri merasa kembali harus menyusun butir-butir tujuannya. Meski nampaknya sangat muskil dan sedikit terlambat lantaran dua kakinya sudah menapak pasir pulau Phang Nga, ia tetap yakin akan dirinya. Perjalanannya hari ini dan besok-besok mungkin masih akan memberikan kejutan-kejutan.

Di atas pasir lelaki itu terkejut, mendapati batang kayu di tangannya ternyata menuliskan nama gadis itu.

--------------------------------------------

Ilustrasi: Pulau Ping Kan, Phang Nga, Thailand (foto oleh Yusran Darmawan)

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun