Mohon tunggu...
Afriyadi Sofyan
Afriyadi Sofyan Mohon Tunggu... Dosen - Saya adalah seorang pendidik dan pembelajar dari UNNES

Saya lahir di Musi Rawas (Kota Lubuklinggau) Provinsi Sumatera Selatan, saat ini berdomisili di Kota Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjaga Martabat Profesi dengan Supervisi

16 Desember 2022   18:54 Diperbarui: 16 Desember 2022   19:01 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menjaga Martabat Profesi dengan Supervisi

-Tinjauan Profesi Pendidik (Konselor)- 

Perkembangan Profesi Bimbingan dan Konseling dan Supervisi

Profesi dalam dunia pendidikan khususnya pada bidang bimbingan dan konseling yang pelaksananya lebih dikenal dengan istilah guru bimbingan dan konseling (BK) atau konselor di Indonesia telah digagas dan dimulai di Indonesia sejak hampir 6 dekade yang lalu. Diawali dari seminar yang diadakan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Malang pada tanggal 20-24 Agustus 1960, dilanjutkan dengan pembukaan program studi bimbingan dan penyuluhan dari perguruan tinggi yang ada di Bandung dan Malang (Kartadinata 2005).

Perkembangan profesi konselor khususnya pada bidang pendidikan di Indonesia hingga saat ini masih memiliki banyak hambatan dan tantangan, tentunya berbeda dengan yang ada di negara lain. Perkembangan profesi konselor di Indonesia telah menghadapi berbagai urusan terkait dengan masalah adaptasi budaya, adanya ketidakpercayaan, dan persoalan standar profesional yang rendah karena posisinya disekolah sebagai guru bukan tenaga khusus konselor, dan masih belum jelasnya lisensi standar sebagai konselor (gunawan and wahab 2015).

Nugroho & Fathoni, Nurismawan, dkk serta Wibowo (Wibowo 2017, Nugroho and Fathoni 2022, Nurismawan, Purwoko et al. 2022) mengemukakan bahwa salah satu hal yang membuat profesi konselor disekolah belum optimal adalah masih adanya jabatan konselor di sekolah di berikan kepada pendidik yang tidak berlatar belakang dari bimbingan dan konseling, hal tersebut membuat peranannya menjadi kontra produktif, tidak jarang ditemukan adanya konselor sekolah yang melakukan mal-praktik akibat dari tidak memiliki konsep, ilmu, keterampilan, dan kepribadian yang mendukung terhadap profesi konselor.

Permasalahan profesi konselor di sekolah tersebut di atas memberikan gambaran, bahwa meski keberadaan profesi konselor dalam pendidikan (sekolah) diakui dan bahwakan diatur dalam undang-undang (Nomor 20 tahun 2003) namun dalam pelaksanaannya profesi konselor belum berperan optimal. Jabatan konselor belum sepenuhnya di emban oleh orang yang memang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi yang semestinya. Padahal hal tersebut secara spesifik juga telah di atur oleh pemerintah melalui Permendiknas nomo 27 tahun 2008 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor, yang secara jelas mensyaratkan bahwa untuk menjadi konselor di satuan pendidikan (sekolah) orang tersebut haruslah berlatar belakang pendidikan sarjana pendidikan (S.Pd) dan sudah menempuh pendidikan profesi guru bimbingan dan konseling atau konselor.

Profesi konselor dilapangan juga memiliki persoalan terkait dengan supervisi. Sebagaimana di kemukakan oleh (Nurismawan, Purwoko et al. 2022), ia mengemukakan beberapa hal diantaranya yaitu pelaksanaan supervisi konseling saat ini belum mengarah pada ranah klinis lebih banyak bersifat administratif; supervisi di banyak sekolah belum terjadwal secara sistematis, instrumen supervisi konseling masih sedikit dan belum sesuai dengan konteks yang ada di lapangan. Ia juga mengemukakan beberapa alternatif solusi meliputi diantaranya yaitu: perlu adanya pelatihan supervisi konseling dari praktisi dan akademisi BK bagi pengawas dan kepala sekolah, pengembangan instrumen yang diperlukan untuk supervisi konseling yang lebih kredibel, workshop paradigma terbaru terkait supervisi konseling pada konselor sekolah, serta para pengawas dan konselor hendaknya melakukan supervisi dengan pola supervisi ke ranah klinis.

Rahim (Rahim and Hulukati 2022) dalam penelitiannya menemukan bahwa pelaksanaan supervisi berkenaan penyelenggaraan layanan BK yang dilakukan oleh konselor belum sesuai dengan ketentuan dalam supervisi bimbingan dan konseling, kesimpulan tersebut ditunjukkan dengan temuan data dari 248 guru BK 95% menyatakan disupervisi oleh supervisor yang tidak memiliki latar belakang keilmuan BK, supervisi terbatas pada aspek administrasi layanan, supervisi dominan menggunakan metode tanya jawab, pengawas/supervisor tidak mengamati langsung praktik guru BK/konselor saat memberikan layanan BK, supervisor kurang memberikan informasi terkini perkembangan pelayanan BK, kebanyakan supervisor tidak memberikan contoh praktik baik (best practice) konseling dan supervisor sangat jarang melaksanakan supervisi klinis. Dengan beberapa kondisi tersebut sangatlah wajar jika profesi BK nantinya kurang memiliki kepercayaan dari masyarakat, sehubungan tenaga pelaksananya kurang memiliki kompetensi yang memadai, kurang dukungan peningkatan atau pengembangan diri/kompetensi.

Martabat Profesi Bimbingan dan Konseling terkini

Prayitno (2008) mengemukakan kemartabatan suatu profesi yang ditampilkan sangat tergantung pada tenaga profesional yang mempersiapkan diri untuk pemegang profesi yang dimaksudkan itu. Kemartabatan yang dimaksudkan itu meliputi kondisi sebagai berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun