Mohon tunggu...
afri meldam
afri meldam Mohon Tunggu... Freelancer - penyuka jengkol, ikan segar, dan rempah

Lahir di sebuah desa kecil di pedalaman Sumatra. Menghabiskan masa kanak-kanak dengan mandi di sungai dan bermain lumpur di sawah. Mempunyai ikatan dengan ikan-ikan. Kini tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Isi Ulang Daya ke Banda Neira

10 September 2019   16:06 Diperbarui: 10 September 2019   18:15 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan yang cukup lama membuat para penumpang membuka obrolan dengan penumpang lain. Saya kebetulan duduk di depan seorang bule dari Inggris yang ternyata adalah anggota sebuah komunitas menyelam (diving).

Edward, si bule ini, adalah seorang guru Kimia di Hongkong. Ia bercerita, sudah 17 tahun ia memimpikan untuk bisa berkunjung ke Banda Naira. Di bagian 'Banda Naira' di buku Lonely Planet yang dihadiahkan oleh istrinya pada Natal 2003, ia telah menandai beberapa bagian di kepulauan Banda Naira yang ingin ia kunjungi.

Obrolan terus berlanjut ke berbagai hal, mulai dari topik remeh-temeh hingga perbincangan serius tentang agama. Hingga di ujung garis laut mulai terlihat gunung Banda Api yang menjulang dengan gagah.

***

Duduk di beranda Bintang Laut, tempat penginapan yang dikelola Lukman, yang dari pinggirannya Anda bisa mencelupkan kaki ke laut yang penuh ikan sambil memandang Gunung Banda Api atau sekadar menyaksikan kapal yang berlalu-lalang merupakan salah satu aktivitas favorit saya selama di Banda. Baik pagi maupun sore hari, suasana yang tercipta sungguh mendamaikan hati. Apalagi ditemani secangkir teh kayu manis dan sepiring pisang goreng hangat.

Di pagi hari, dari arah pasar yang mengular hingga dermaga kecil yang hanya berjarak sepelemparan batu dari Bintang Laut, akan terdengar riuh-rendah orang-orang yang berebutan membeli ikan langsung dari nelayan yang pulang melaut. Tak hanya satu, tapi bisa dua atau tiga kapal sekaligus. Para pembeli yang sudah siap dengan kantong masing-masing berdesakkan, menunggu di semua sisi dermaga.

Lalu jual-beli pun berlangsung. Hiruk-pikuk khas kampung nelayan. Ikan-ikan segar satu persatu masuk ke dalam kantong plastik atau tas belanjaan, lalu berpindah tangan. Seorang yang ditunjuk khusus dari para pelaut di masing-masing kapal bertugas mengumpulkan uang. Kantong kresek yang ia pegang tampak penuh oleh lembar-lembar rupiah.

Tak butuh waktu lama sampai ikan-ikan ludes terjual. Terlambat sedikit saja sudah bisa dipastikan Anda tidak akan kebagian.

Saya yang tak terbiasa dengan pemandangan "khas" seperti itu pun tergoda untuk ikut mencoba merasakan secara pengalaman membeli ikan langsung dari nelayan yang pulang melaut. Lumayan buat dibakar nanti malam.

Dan Anda tahu harganya berapa? Lima ekor ikan yang menyerupai tuna kecil (saya lupa namanya) dijual hanya dengan harga Rp. 10.000 ( sepuluh ribu rupiah). Saya memang tak pernah membeli ikan di pasar-pasar di Jakarta ataupun di Padang, tapi saya yakin dengan uang Rp.10.000 Anda tidak akan bisa mendapatkan bahkan satu ekor ikan dengan jenis dan ukuran yang sama. Apalagi dengan tingkat kesegaran yang sangat terjamin.

Laut Banda memang surganya ikan segar. Seperti yang diungkapkan Lukman, "ikan di Banda cuma mati sekali. Ikan di Jakarta mati berkali-kali..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun