Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - Student of Master Degree - Diponegoro University

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengingat Debat dengan Segelas Kopi Susu

11 Mei 2021   21:13 Diperbarui: 11 Mei 2021   21:20 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rasa dalam segelas kopi susu kesukaan kita tidak pernah berubah. Dia tetap memiliki pahit yang pas dan manis yang cukup. Susunan kursi di kedai yang dulu menjadi tempat kita membunuh waktu pun tidak berganti. Semua masih sama, kecuali kita yang tidak lagi pantas disebut "kita".

Haha, tak terasa, ya? Hari ini genap dua tahun kita berdebat hebat di tempat yang dulunya nyaman untuk berbagi keluh. Kamu tahu? Hari ini aku memberanikan diri untuk duduk sendirian di bangku yang sama. Bangku yang menjadi saksi, bagaimana kamu menjelaskan hal yang tidak ingin aku simak dan bagaimana bebalnya aku memohon sebuah "cukup" yang tidak terkabulkan.

Memoar yang penuh getir itu kembali membuatku sesak, tapi tidak sampai memantik air mata. Aku tidak menangis lagi, aku sudah menerima bahwa memang segala sesuatu di masa lalu tidak akan bisa diperbaiki. Namun setidaknya kini, aku dan kamu sudah sama-sama sepakat untuk melawan canggung yang terlanjur kokoh dengan bijaksana. Iya, awal bulan lalu kita sudah sepakat untuk memperbaiki komunikasi dan meruntuhkan keterasingan yang selama dua tahun ini membelenggu. Lagi-lagi kamu memohon sebuah perbaikan, dan aku pun mengiyakan. Namun satu hal yang perlu kita pahami bersama bahwa, aku mengiyakan pengupayaan ini tanpa ekspektasi lagi. Tidak seperti dulu, aku yang sekarang adalah aku yang tidak lagi mengharapkan apapun tentangmu. Jika kamu mulai mengingatkanku tentang hal baik yang telah terlewati, maka aku hanya akan tersenyum dan mengulangi kalimat,

"tugasku sudah selesai. Aku hanya temanmu di saat merangkak, bukan orang yang akan mendampingimu di puncak. Sebab, tujuan kita sudah berbeda dan aku sudah mantap untuk mengingkari janji yang dulu aku katakan. Maksudku, janji soal kesediaanku berada di sampingmu untuk memperjuangkan mimpi dan ketidakmungkinan yang kita coba terjang."

Pernyataanku bukan tanpa dasar karena aku mengatakannya dengan sadar. Seperti saat ini, ketika aku mengetik tulisan ini pun aku dalam kondisi yang sepenuhnya sadar. Aku sadar kalau aku rindu. Aku sadar, setiap sudut di kedai ini masih mengarah pada sosokmu. Bahkan, aku pun sadar jika kamu masih menempati posisi terbaik dalam hidupku. Namun, aku juga sangat sadar bahwa luka yang menghentikan pengharapanku terhadapmu bukanlah luka yang disebabkan oleh naifmu. Sungguh, aku sudah mengampuni hal itu sejak perdebatan di bangku ini dua tahun lalu.

Satu hal yang justru tidak akan pernah bisa aku terima, sekaligus akan menjadi pengingatku untuk berhenti adalah pernyataanmu. Aku tahu, perihal kepergianku ke Jogja di hari pentingmu hanyalah bom yang sengaja kamu ledakkan agar aku tersudut. Tak apa, aku terima. Aku tidak akan marah karena hal itu, tapi, coba ingat-ingat lagi! Untuk apa kamu meminta aku bertahan di tempat saat kita berdebat di bangku ini, jika pada ujungnya pun, kamu memaksakan "usai" di hari pentingku.

Untuk apa kamu marah saat tahu aku mengupayakan sebuah beasiswa di benua seberang dan menjadikan kalimat, "kau mau aku tetap di sini, tapi kau sendiri yang mau pergi" sebagai penahan langkahku. Untuk apa kamu menolak permohonanku untuk mencukupkan kebersamaan kita di kedai ini, jika pada akhirnya, tepat di detik-detik terakhirku menuju final dalam sebuah kompetisi, kamu justru memaksakan sebuah perpisahan. Parahnya lagi, kamu yang masih dikendalikan amarah pun dengan sadar menyatakan bahwa aku bukanlah bagian dari perjalananmu pada proses hidupmu di sini.

Aku tahu, perkataanmu hanyalah hasil dari kristalisasi amarah yang sampai kini pun belum bisa aku terima alasannya. Tapi, ya mau diapakan lagi? Aku pergi ke Jogja di saat aku sudah mengabulkan permohonan "usai" yang kamu ajukan. Lalu, tepat di hari pentingmu, kamu menjadikan kepergianku di kota itu sebagai senjata yang menyudutkan posisiku. Argggghhhh, kalau dipikir-pikir, kerumitan ini adalah rancangan terbaik dari Tuhan. Sebab, Tuhan terlalu menyayangi kita. Maksudku, Tuhan tidak tega membiarkan kita terlarut lebih dalam lagi pada sebuah ketidakmungkinan yang dipaksakan. Jadi, Tuhan juga yang menyengajakan perpisahan kita dalam skenario pahit.

Sakit jika dipikir ulang, tapi rasa sakit itu juga yang akhirnya mendewasakan, kan? Haha, tai. Sok bijak sekali aku di saat sedih seperti ini, haha.

Hmmmm, sudahlah ya, sudah cukup.

Cukup sudah prosesi pemutaran memoar tentang kita di kedai ini. Kopi susuku sudah habis dan sudah saatnya aku menutup kembali memoriku tentangmu. Tapi, tenang saja. Sekalipun kita bukan lagi dua orang yang "saling" dalam satu tuju, namamu tetap menjadi bagian dalam doaku. Bedanya, jika dulu aku menjadikan namamu sebagai salah satu inti yang aku pinta dengan paksa pada Tuhan, sekarang namamu hanyalah satu dari sekian nama yang aku harapkan kebahagiaanya sebagai teman. Tidak ada pengistimewaan lagi, walau dalam lima waktuku tetap tersisipi namamu. Semoga, kamu dipertemukan dengan perempuan yang sepadan untuk membersamaimu berjalan dalam kasih Kristus.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun