Mohon tunggu...
ahmad kareem
ahmad kareem Mohon Tunggu... -

Pengajar jurnalistik di SMA Muhammadiyah 1 Gresik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perpusda Jangan Perpustakaan Asal Ada

16 April 2011   11:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:44 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kisah pilu dunia pustaka seakan tiada habisnya. Terakhir,Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin terancam gulung tikar karena masalah subsidi terus menyusut(Jawapos, 31/3/2011). Ketua Dewan Pembina Yayasan PDS HB Jassin Ajip Rosidi menyatakan akan menutup PDS itu karena kesulitan dana. Sebelumnya, Perpustakaan Bung Hatta di Yogyakarta yang menyimpan 40.000 buku juga ditutup dan bukunya dititipkan ke Universitas Gajah mada (Kompas, 27/3/2011). Kondisi seperti itu sama dengan kondisi yang tengah terjadi pada ribuan perpustakaan lain di tanah air kita. Hidup segan, mati tak tega.

Budaya membaca agaknya masih belum bisa dibanggakan di negara kita, apalagi budaya menghargai bahan bacaan. Jika membaca saja belum membudaya, tentu tidak akan tercipta penghargaan terhadap bahan-bahan bacaan itu. Tidak adanya penghargaan terhadap bahan bacaan akan menyebabkan rendahnya minat kita menjaga dan mengembangkan bahan bacaan. Inilah yang menyebabkan pengelolaan perpustakaan kita apa adanya.

Padahal perpustakaan memiliki potensi yang besar untuk mencerdaskan bangsa. Namun kenyataannya potensi itu tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Pengelola perpustakaan, baik di tingkat sekolah, universitas, maupun pemerintah daerah seringkali memandang keberadaan perpustakaan sebagai pelengkap saja. Akibatnya tidak ada keseriusan dalam mengembangkan budaya baca-tulis melalui perpustakaan. Mungkin perpustakaan di universitas saja yang agaknya lebih baik dari yang lain, meski itu terbatas pada universitas-universitas ternama.

Omong kosong jika pemerintah dan masyarakat bermimpi mencerdaskan bangsa tapi tidak meningkatkan budaya baca-tulis, dan tingginya penghargaan terhadap karya juga merupakan salah satu parameter keberhasilan penciptaan budaya itu. Perpustakaan adalah salah satu sarana terbaik dalam meningkatkan budaya tersebut.

Menurut Drajat setidaknya terdapat lima fungsi dari perpustakaan. Pertama, merupakan sumber segala informasi. Kedua, merupakan fasilitas pendidikan nonformal, khususnya bagi anggota masyarakat yang tidak sempat mendapatkan kesempatan pendidikan formal. Ketiga, sarana atau tempat pengembangan seni budaya bangsa, melalui buku atau majalah. Keempat, memberikan hiburan bagi pembacanya. Dan kelima, merupakan penunjang yang penting bagi suatu riset ilmiah, sebagai bahan acuan atau referensi (Drajat; 2009).

Kondisi Perpusda

Perpustakaan milik pemerintah daerah (Perpusda) sebenarnya memiliki potensi sebagai perpustakaan sentral di tiap kebupaten/kota. Perpusda harusnya bisa menjadi penggerak terciptanya budaya baca-tulis dan budaya menghargai bahan bacaan oleh masyarakat di daerah tersebut. Namun kenyataannya yang terjadi malah sebaliknya, kondisi Perpusda pada umumnya sangat memprihatinkan.

Jika kita berasumsi sekarang ada sekitar 370 kabupaten/kota dan setiap daerah memiliki satu Perpusda, maka jumlah Perpusda di Indonesia cukup banyak. Tapi kuantitas Perpusda ternyata berbanding terbalik dengan kualitasnya. Ini sangat ironis, mengingat Perpusda relatif lebih mudah dalam pengelolaannya. Setidaknya angaran untuk menggaji pegawai dan pembelian buku berkala bisa dibebankan kepada APBD setempat.

Tidak berkembangnya Perpusda disamping karena pemerintah sendiri hanya memandang Perpusda dengan sebelah mata—baca: memberikan porsi anggaran pembelian buku yang minim—juga karena manajemen dan program Perpusda yang kurang baik. Mungkin ada Perpusda di daerah yang cukup maju karena pendidikannya juga maju, namun lebih banyak yang tidak serius dalam pengelolaannya.

Misalnya saja Perpusda di kota saya. Mulai dari persoalan administrasi keanggotaan yang masih manual dan tidak tertata rapi—banyak anggota yang sudah mendaftar tapi catatannya hilang, administrasi perbukuan konvensional, buku-buku bacaan yang tidak update, hingga masalah yang sangat substansial—menurut saya—seperti jam buka yang kurang efektif.

Anda bisa membayangkan, bagaimana mungkin Perpusda akan dikunjungi pembaca jika jam kerjanya sama dengan jam kerja pegawainya. Jam buka pagi dan tutup sekitar jam 3 sore, lalu siapa yang akan membaca? Jika sasaran pengunjung Perpusda adalah pelajar dan pembaca umum, maka pada jam-jam tersebut mereka masih bersekolah dan bekerja. Seusai aktivitas harian pengunjung mau membaca, eh Perpusda sudah ditutup. Masalah Jam buka ini harusnya menjadi perhatian bagi pengelola Perpusda.

Ketersediaan buku juga kurang diperhatikan. Jika anda pernah ke Perpusda di kota anda, anda akan setuju dengan penyataan ini. Kalau kita ingin membaca buku-buku terbitan terbaru, lebih baik kita ke toko buku, bukan ke Perpusda. Deretan buku di Perpusda lebih banyak buku-buku lama, bukan berarti buku lama tidak berguna namun pembelian baru secara berkala juga harus dijalankan.

Revitalisasi Perpusda

Dari sisi penyediaan sumber daya manusia, Perpusda tidak akan mengalami kendala karena pegawainya sudah digaji oleh negara. Meskipun kita tidak menutup mata, pekerja di Perpusda lebih banyak yang mubadzir karena mengerjakan sesuatu yang tidak berhubungan dengan buku.

Persoalan hulu dari pengembangan Perpusda adalah harus ada perhatian serius dari Pemerintah Daerah setempat untuk mengalokasikan dana yang cukup bagi pembelian berkala. Pembelian berkala harus dilakukan dalam rentang waktu yang pendek, misalnya 1 minggu sekali, agar koleksinya selalu ada yang baru. Dalam penyediaan koleksi buku, penerbit semestinya juga memiliki kerelaan untuk memberikan buku terbitannya kepada Perpusda, jadi tidak terkesan mengkomersialisasikan buku.

Perpusda juga harus membenahi manajemen perpustakaannya. Saat ini di perguruan tinggi sudah banyak yang menerapkan Digital Library (Digilib) atau Library Automation Service. Digitalisasi ini—apalagi jika diintegrasikan dengan teknologi Web—akan memudahkan pengunjung mencari ketersediaan koleksi, bahkan mengakses koleksi digital tanpa datang ke Perpusda.

Perpusda juga perlu mengadakan alternatif kegiatan dalam memasyarakatkan budaya baca-tulis. Misalnya mengadakan perpustakaan mini di tempat-tempat publik, seperti di taman kota, mall, atau sekolah-sekolah. Mengadakan bedah buku, seminar menulis, atau bisa juga lomba-lomba penulisan resensi.

Kegiatan dengan menggandeng guru-guru bahasa di sekolah juga bisa menjadi alternatif lain. Kunjungan dan pengenalan perpustakaan bagi siswa bisa lebih mempopulerkan Perpusda di kalangan pelajar.

Tentu kita berharap bangsa ini lebih cerdas dan bermartabat. Itu bisa dimulai dari mengembangkan budaya membaca, dan Perpusda punya potensi besar untuk membuat itu semua terealisasi. Semoga di masa depan tidak ada lagi perpustakaan yang mati.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun