Apa yang mau diburu dari jalan kerelawanan? Sudah tempatnya jauh, medannya susah, akomodasi  juga bayar sendiri. Bukankan menjadi relawan itu sesungguhnya merugikan?
Mungkin bagi orang lain. Tetapi, tidak bagi saya. Menjadi relawan memberikan saya banyak kebaikan, yang tidak bisa digantikan oleh uang. Dan semua dimulai ketika saya menyaksikan dedikasi seorang perempuan muda di Fulur, Lamaknen, Belu, yang rela jadi volunteer untuk mengajar anak-anak di sebuah reading camp. Sejak itu saya mencari-cari tempat di mana saya bisa mengikuti jejak dia, meski takarannya tak sampai seujung kukunya.
Adalah ISL (Inspirasi Sekolah Literasi) Batch 3, tempat saya mengawali cerita bagaimana saya terjun menjadi relawan. Karena tak punya kemampuan sebagai videografer/fotografer atau fasilitator, saya melamar sebagai relawan pengajar. Selaku relawan pengajar, tugas saya adalah berbagi pengalaman soal profesi menulis yang saya geluti, sekaligus memberi motivasi untuk terus meraih cita-cita pada siswa-siswa sekolah dasar yang saya temui. Sejak itu saya seperti ketagihan. Ingin lagi dan lagi ikut serta dalam kegiatan ini, meski kenyataannya seringkali waktu berbenturan, sehingga tak selalu bisa ikut ISL sebagai relawan pengajar.Â
ISL yang salah satu fokusnya adalah literasi, tak hanya mengharuskan relawannya melakukan tugas sesuai job desk-nya masing-masing. Namun juga mengajak mereka terlibat dalam sesi bedah perpustakaan. Di mana seluruh relawan akan ikut membersihkan, menata ulang, dan membuat suasana perpustakaan jadi lebih layak dan menyenangkan untuk dikunjungi para siswa. Tidak hanya itu saja, kami juga membawakan buku-buku baru yang sesuai untuk anak. Menurut orang lain mungkin jumlahnya tidak banyak, tetapi harapan kami selaku relawan salah satu diantaranya bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak.
Jika ini saja sudah mengesankan, maka kisah-kisah  yang kami temui selama ISL tak terlupakan. Percayalah, mengikuti ISL akan membuka mata betapa njomplangnya pendidikan di sekolah yang kami datangi meski jaraknya hanya terpaut puluhan kilometer dari pusat kota. Jika segala sesuatunya terasa mudah di kota, di desa sebaliknya. Pada satu ISL saya mendapati kenyataan, untuk menuju ke tempat sekolah anak-anak harus menempuh jarak yang jauh dengan medan yang tak mudah.  Berbatu-batu dan merepotkan jika musim kemarau, licin dan sulit dilalui di musim penghujan. Tidak heran jika di musim penghujan jumlah siswa yang datang menurun tajam. Pun demikian di musim durian, karena mereka lebih fokus mencari uang.
Lalu bagaimana soal akses anak ke buku-buku? Dari sekian ISL yang saya ikuti, kebanyakan  sekolah memiliki sama. Ada kendala bagi para siswa untuk berdekat-dekat dengan buku. Buku yang ada di sekolah kebanyakan buku pelajaran. Buku cerita yang mengesankan kurang. Sudah itu kondisi perpustakaannya pun memprihatinkan. Ada yang ruangannya rusak, ada pula yang masih layak tapi suasananya muram. Ada yang bangunannya bagus tapi isinya hampir semua buku pelajaran. Buku lainnya ada, tapi jumlahnya kecil. Mungkin tak sampai lima persen.
Cerita-cerita semacam ini tak jarang memukul hati kami. Membuat kami tersadar, kami beruntung bisa mendapatkan pendidikan dan kemudahan mengakses buku-buku. Satu privilege yang patut kami syukuri.Â
Karena hal-hal inilah setelah vakum beberapa lama, saya akhirnya mendaftar kembali sebagai relawan pengajar di ISL Batch 13. Kali ini tempatnya di SDN 4 Kebunrejo  di perkebunan Malangsari, Kalibaru. Seperti biasa daerah yang dituju untuk kegiatan ISL letaknya terpencil. Jalan mulus hanya sampai di perkampungan sebelum perkebunan. Selebihnya berbatu-batu dan membuat para relawan yang duduk di atas pick up berseru sepanjang jalan. Seperti yang lalu-lalu relawan dari luar kota tak surut langkah untuk datang. Kak Ari (Jakarta), Om Wid (Pacitan), Faiz (Gresik), Mbak Tiwuk (Jogja), dan Zika (Lumajang) sepertinya malah menunggu tempat ajaib mana yang akan mereka datangi.Â
"Cuma sepuluh menit," begitu kata seorang ibu saat mengetahui kami hendak ke Kebunrejo.Â