Mohon tunggu...
Afiful Ikhwan
Afiful Ikhwan Mohon Tunggu... profesional -

الكلام ينفذ مالا تنفذه الإبر Perkataan itu dapat menembus apa yang tidak bisa ditembus oleh jarum

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pemberian Gelar Profesor sudah Tepatkah??

24 Juni 2013   22:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:29 3170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang dosen tua pernah mengatakan kepada saya bahwa gelar profesor itu adalah gelar yang diberikan negarakepada seseorang yang bekerja sebagai guru diperguruan tinggi. Gelar ini diberikan negara karenajenjang kepangkatan seseorang tersebut sudah mencapaititik tertinggi dalam jenjang kepangkatan yang disusun negara. Dulu istilah ini dikenal dengan Guru Besar (Guru Besar Madya dan Guru Besar). Istilah Guru inikarena memang mengacu kepada pekerjaan seseorang yangbekerja sebagai guru di perguruan tinggi. Istilah inisekarang lebih populerkan disebut Profesor, dalampenulisan nama tidak dikenal lagi Guru Besar Madyaatau Profesor Madya yang ada hanyalah Profesor atauGuru Besar.

Berdasarkan uraian di atas, maka seorang profesoradalah seorang yang sudah bekerja lama di duniapendidikan tinggi sebagai pendidik dan jenjangpangkatnya sudah mencapai jenjang yang tertinggi. Maka gelar profesor bukanlah gelar tertinggi dari duniaakademik, karena gelar tertinggi dari dunia akademikadalah Dr atau Ph.D. (jenjang pendidikan S3). Profesor atau Guru Besar (termasuk Guru Besar Madya) adalahmerupakan jenjang jabatan fungsional dosen tertinggipada program pendidikan akademik. (Ini lucu! dalamdunia empirik, jabatan itu bisa bertukar dan berganti, tetapi dalam dunia pendidikan tinggi jabatan Profesoratau Guru Besar seumur hidup, disini fungsinya sudahberubah menjadi gelar akademik tertinggi).

Berdasarkan keterangan yang diberikan dosen tuatersebut, dengan melihat kondisi pemberian gelarprofesor saat ini di Indonesia, makna gelar profesortersebut sudah menyimpang. Gelar profesor dikaitkandengan jenjang pendidikan seseorang. Seseorang yang berpendidikan S3, berpangkat 4a, kalau sudah dapatmengumpulkan KUM 1000, dia berhak mengajukan untuk mendapatkan gelar profesor. Maka bila disetujui, bisasaja pangkat yang bersangkutan 4b, tetapifungsionalnya setara dengan 4d (jenjang kepangkatanyang tertinggi yang ada pada PNS). Istilah yang tepatkepada mereka seperti ini adalah meloncat. Bagi mereka ini antara jabatan fungsional dan kepangkatan tidakseiring sejalan. Bisa jabatan fungsionalnya lebih tinggi dari kepangkatannya.

Namun bagi yang hanya berpendidikan S1 atau S2, sistem meloncat ini cenderung tidak diberlakukan. Kepada mereka ini harus mengikuti tahap-tahapan sepertibiasa, dari 4a, naik ke 4b, lalu naik ke 4c, laludiusulkan menjadi profesor madya (4d). Kepada merekaini antara jabatan fungsional dan kepangkatan harusselalu seiring sejalan. Tidak diberlakukan peraturan pangkat yang bersangkutan 4b, tetapi fungsionalnyadapat setara dengan 4d seperti yang perpendidikan S3. Lalu bagi yang menduduki jabatan struktural, merekaboleh naik pangkat reguler. Maka banyak kita temukanseorang dosen, yang berpangkatan 4a atau 4b, karenaterlalu lama duduk sebagai pejabat struktural dilembaganya (misalnya menjadi dekan, atau pembantu dekan) pangkatnya naik terus, sementara fungsionalnyatidak naik. Pangkat mereka bisa jadi 4a atau 4b, namun fungsionalnya setara dengan 3d (untuk yang berpangkat 4a) atau (untuk yang berpangkat 4b).Bagi mereka ini antara jabatan fungsional dan kepangkatan tidak seiring sejalan. Kepangkatannya bisa lebih tinggi dari fungsionalnya. Lalu dengan membanding ketiga kategori di atas, jelasjabatan fungsional (gelar profesor) memang telah diselewengkan maknanya menjadi secara tersirat gelar tertinggi dari dunia akademik, padahal gelar tertinggi dari dunia akademik adalah Dr atau Ph.D.


  1. Yang boleh meloncat mendapatkan gelar profesor hanyalah mereka yang sudah berjenjang pendidikan S3. Makanya ada si A kepangkatannya baru 4a, namun sudah diberikan gelar profesor.
  2. Bagi mereka yang belum berjenjang pendidikan S3, walaupun pangkatnya sudah layak mendapat gelar profesor, tetapi karena karya ilmiahnya tidak seperti yang dikehendaki tim penilai dimana-mana tidak diluluskan mendapat gelar profeser. Maka ada si B yang berpangkat 4d, tidak diberikan gelar profesor.

Kedua kasus di atas jelas penyimpangan. Kasus nomor satu adalah penyimpangan dan kasus nomor dua adalah pengingkaran, dalam pemberian gelar profesor. Gelar profesor yang pada awalnya sebagai penghargaan negara kepada seseorang yang bekerja sebagai tenaga pendidik di pendidikan tinggi karena jenjang kepangkatannya sudah mencapai jenjang tertinggi, kini diselewengkan maknanya menjadi gelar akademik yang tertinggi. Gelar akademik yang tertinggi bukan Dr. atau Ph.D., tetapi Profesor inilah gelar akademik tertinggi sekarang, diakui atau tidak ini adalah fakta. Sebab kalau namanya jabatan bisa bertukar dan berganti, tetapi dalam dunia pendidikan tinggi jabatan Profesor atau Guru Besar seumur hidup, maka disini fungsinya sudah berubah menjadi gelar akademik tertinggi.

Penyimpangan dan pengingkaran ini semakin diperkokoh dengan surat edaran dikti tanggal 14 Mei 1999, Nomor: 1248/D/C/99, perihal : Loncat jabatan fungsional dosen ke Guru Besar Madya dan kenaikan jabatan fungsional dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun, bagi mereka yang ingin mendapatkan gelar Profesor yaitu kewajiban menulis 2 (dua) artikel ilmiah dalam Jurnal Ilmiah Internasional, atau 4 (empat) artikel Ilmiah dalam Jurnal Ilmiah Nasional atau kombinasi keduanya. Menulis di jurnal Jurnal Ilmiah Internasional jelas menjadi kendala tersendiri bagi kebanyakan staf pengajar di Indonesia, menulis di Jurnal Ilmiah Nasional yang terakreditasi oleh direktorat jenderal pendidikan tinggi, tidak semua disiplin ilmu di sebuah Universitas mempunyai jurnal ilmiah yang terakreditasi oleh direktorat jenderal pendidikan tinggi ini. Bagi staf pengajar yang bekerja di sebuah didisplin ilmu yang tidak mempunyai jurnal ilmiah yang telah diakreditasi oleh direktorat jenderal pendidikan tinggi di lembaganya akan semakin konyollah dia. Menulis di jurnal ilmiah di luar universitas sendiri, lebih besar main konco-koncoisme. Kalau konconya, tulisan yang tidak layak pun dipublikasikannya.

Menerbitkan buku yang ada ISBN, memerlukan biaya besar. Hanya satu dua penerbit yang berani mendanainya, selebihnya lebih besar didanai oleh penulisnya sendiri. Di era otonomi ini, ada pula universitas (UPT Percetakan dan penerbitnya) yang menjual ISBN yang mereka miliki kepada siapa saja termasuk staf pengajar mereka sendiri, bila ingin menerbitkan buku. Bukan diberikah gratis kepada stafnya agar stafnya terdorong untuk menerbitkan karya-karyanya sesuai dengan kemampuan keuangan yang dimiliki stafnya sendiri. Lembaga yang menerbitkan ISSN pun kini sudah mulai mengkomersilkan pemberian ISSN kepada peminatnya (harus membayar untuk mendapatkan ISSN tersebut).

Ada rahasia umum yang beredar dari mulut ke mulut SK DIKTI Nomor: 1248/D/C/99, beserta lampirannya sebenarnya untuk menyelamatkan kawan-kawan atau konco- konco orang tertentu dibagian-bagian tertentu di diknas, agar diakhir tugas - purna baktinya sebagai staf pengajar, purna bakti sebagai seorang Profesor. Kondisi ini semua semakin mempersulit mendapatkan kelayakan yang wajar dalam dunia perguruan tinggi di Indonesia. Namanya dunia ilmiah, tapi rasionalitas peraturan yang dibuatnya di bawah 60%.

Barangkali ada baiknya:


  1. Untuk itu sebaiknya pemberian gelar profesor dikembalikan kepada makna awalnya yaitu sebagai penghargaan negara kepada seseorang yang telah mencapai jenjang kepangkatan tertentu di dunia perguruan tinggi. Bukan maknanya dibelokkan menjadi gelar akademik tertinggi.
  2. Kepada staf pengajar yang telah menyelesaikan pendidikan S2 melalui jalur penulisan tesis (sebab ada pendidikan S2 bukan melalui jalur tesis) yang ijasahnya diakui negara, langsung saja dinaikkan pangkat dan fungsionalnya setingkat secara otomatis. Kepada yang menyelesaikan S2-nya tidak melalui jalur tesis, harus mengikuti seperti kondisi sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun