Mohon tunggu...
Afifah Wahda
Afifah Wahda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar Kehidupan

Hanya pembelajar yg punya hobi mencatat. Tak pandai bicara. Bercita-cita menjadi penulis & psikolog.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diary Belajar Cinta #2: Berani Memilih

8 Januari 2019   14:58 Diperbarui: 8 Januari 2019   15:03 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebelum membaca tulisan saya ini, semoga teman-teman berkenan membaca "Diary Belajar Cinta #1" di catatan sebelumnya.

Sedikit flasback saja, bukan karena yang kutulis di catatan ini pembelajaran pertama dan kedua lantas saya memberi judul itu, bukan. Ini karena kode dari saya untuk mengajak para pembaca belajar memaknai cinta lebih mendalam. Hehehe :D

***

Di kehidupan ini, kita takkan pernah menemukan seseorang yang sempurna. Apapun itu posisinya, baik itu adalah keluarga, saudara, teman, sahabat, guru atau bahkan pasangan. Karena itu lah, kehadiran kita diantara mereka adalah untuk menemukan potongan-potongan puzzle kemudian menyusunnya menjadi satu bingkai puzzle. Entah bagaimana caranya, mereka bisa kita tempatkan pas di ruang-ruang hati. Dan dibagi berapa lagi kuantitasnya tiap orang agar tetap bisa adil porsi cinta yang kita berikan untuk mereka.

Orangtua, anugerah ter-magis yang pernah diberikan-Nya pada kita. Yang mengherankan adalah diantaranya miliaran orangtua di dunia, kenapa Allah pilihkan mereka untuk kita? Dengan wujud yang tidak kita pinta sebelumnya, Allah sudah takdirkan. Ini bisa dibilang konsep jodoh sebelum jodoh (pasangan) yang sudah digariskan bahkan sebelum kita lahir.

Bagiku, kehadiran mereka adalah rasa syukur yang takkan tergantikan sekalipun kelak akan kutemukan pasangan yang akan menjadi penggenapku. Karena tanpa mereka, aku takkan bisa memilih lelaki terbaik di kehidupanku nanti.

Saudara. Ini juga bagian dari takdir-Nya. Dimana silsilah keluarga menjadi penentu bahwa mereka adalah saudara satu keturunan.

Teman dan Sahabat. Untuk relasi yang ini kita dipertemukan dengan teman-teman juga bagian dari takdir, namun untuk teman dekat atau sahabat kita bisa memilih. Selama ini pun, kita pun sering memilih karena hati. Tidak melihat latar belakangnya, penampilan, atau kepribadian. Ketiga faktor ini seringkali kita terjang karena ketulusan hati mereka yang kita pilih.

Guru. Ma'af menempatkan posisi ini di urutan kesekian karena jujur selama ini aku masih menemukan sedikit dari mereka yang benar-benar peduli dengan anak-anak didiknya. Tapi ini bisa berubah karena perjalanan waktu. Sungguh, ini hanya penilaian subjektif karena sedari TK sampai jenjang perkuliahan yang kutemui lebih banyak rasa kecewa dibandingkan bahagia. Tapi harapanku ke depannya, aku akan berusaha mencari dan menemukan guru-guru inspiratif (pilihan) karena aku berani memilih. Memilih untuk berani memperjuangkan cinta dari mereka. Catat, bisa dimulai dari tulisan ini terposting di catatan facebook. Bismillah.

Pasangan? kutempatkan di posisi terakhir karena aku tau datangnya juga terakhir. Tapi aku berharap lebih banyak padanya. Untuk menciptakan peradaban di masa yang akan datang bersama, berirama dan berdansa (eh bukan, maksudnya dan... banyak lainnya). Di sini diperlukan keberanian memilih yang sangat mantap. Sehingga dalam prosesnya, perlu melibatkan semua. Baik Allah, orangtua, keluarga, dan lain-lain. Termasuk diri sendiri pula. Jadi teringat lagi nasehat yang masih aku pegang prinsipnya. Ketika belum selesai dengan diri sendiri, jangan berani coba-coba untuk mencintai. Tentu ini tidak mudah, begitu banyak godaan yang menerpa. Ketika ada yang pergi, ada pula yang datang. Begitu seterusnya. Kita hanya bisa berpuasa lebih kuat imannya, agar tidak mudah batal. Berbuka di saat yang tepat. Ketika diri ini sudah selesai dengan diri sendiri dan berani untuk memilih.

Ketika kita mencapai titik berani memilih, maka saat itu lah kita berani pula menerima semua konsekuensi dari pilihan itu sendiri. Kita hanya perlu berjalan, menatap ke depan dan sesekali menengok ke belakang hanya untuk merefleksi dan membelajarkan diri. []

Ditulis di Malang,
Minggu, 11 Februari 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun