Mohon tunggu...
Afifah Naila
Afifah Naila Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memahami Sikap Teladan Seorang Guru

30 April 2018   00:30 Diperbarui: 30 April 2018   01:04 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (kompas.com/ronny adolof buol)

Bertolak dari hal-hal yang sangat gencar di tengah tengah kita yang memunculkan antusiasme masyarakat kita, yakni sebuah sistem pendidikan yang makin berkembang pola ajarnya, begitupun makin canggihnya dengan perantara teknologi yang semakin maju saat ini. Guru tidak usah berlama-lama menggunakan metode konvensional ceramah, ataupun meneulis di papan lagi, itu semua sudah tergantikan oleh alat bantu ajar yang semakin maju, misalnya lcd proyektor, dll.

Kita semua sepakat bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang menunjang dan menentukan kemajuan sebuah bangsa. Bahkan maju atau mundurnya sebuah peradapan bisa saja di pengaruhi oleh pendidikan. Ironisnya, manakala pendidikan yang telah lama berjalan atau telah lama dirancang dan dilaksanakan tidak menunjukkan hasil yang sesuai dengan harapan, banyak orang yang malah memilih untuk mengabaikan masalah ini dengan cara saling lempar dan tunjuk menunjuk kesalahan mengenai kegagalan masalah ini. 

Bahwasannya guru lupa akan tujuan mulianya, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dan perantaranya pun beragam ada yang menekankan pada sebeuah bimbingan karakter atau teladan pada guru itu sendiri, ada pula yang menekankan lebih kepada keterampilan siswa dalam menyelasaikan masalahnya, atau beragam metode pengajaran yang beragam.

Berkaca dari masa lalu, coba mari kita renungkan kembali betapa hebat perjuangan seorang guru atau pendidik bahkan pemikir pendidikan sekalipun, yang rela dibayar murah demi melihat anak didiknya sukses. Dan tak sedikit pula anak yang sangat mengingat sosok gurunya dulu yang penuh perjuangan di tengah himpitan segala masalah masih rela mengajarkan sebuah ilmu kepadanya. 

Banyak guru-guru terdahulu yang rela berjalan kaki berpuluh kilo demi bisa mengajar kepada peserta didiknya, bahkan mengayuh sepeda ontel tuanya demi bisa menularkan ilmunya kepada siswanya. Disini kita tidak melakukan pembenaran salah satu pihak, melainkan disini kita belajar bagaimana caranya berkorban demi kemajuan bangsa dan negara walupun hanya dengan keikhlasan dan keteladanan. Dan contoh real nya bisa kita jumpai pada guru-guru terdahulu yang rela berbasah-basahan bahkan keringat bercucuran demi bisa menyumbangkan ilmunya kepada siswanya.

Sebenarnya yang di butuhkan oleh seorang siswa itu bukan pintar atau cerdasnya seorang guru, melainkan seorang yang mau membimbing dan mengajarkanya serta memberi teladan dengan tulus dan ikhlas serta penuh kasih sayang. Pintar dan cerdas itu memang perlu, namun lebih penting lagi guru yang mempunyai sifat sepeti yang sudah saya paparkan diatas tadi. Jadi, bisa kita simpulkan sementara bahwa guru adalah contoh teladan, berangkat dari singkatan guru itu sendiri "GURU: diGugu lan ditiRu" disitulah ruh seorang guru berasal.

Pasti banyak orang bertanya, dulu kok sampai ada siswa yang di pukul ? dan anaknya terlihat tenang tenang saja. Karena pada saat itu seorang guru mampu memberi contoh dan teladan sebelum ia melakukan hal tersebut. Dan pada saat melakukan tindakan tersebut tidak didasari dengan rasa emosi atau ingin mencederai, melainkan hanya ingin merubah atau mebuat anak itu mengerti bahwa hal itu kurang benar. Dan tempat memberi peringatannya pun tidak di tempat yang fatal. Misalnya seperti di pantat dan samping paha, bukan di tempat yang fatal seperti kepala, tengkuk kepala, ulu hati dll

Di era sekarang, tentunya tantangan guru semakin beragam, misalnya dalam pemberian punishment. Mau menerapkan seperti yang dulu sama halnya dengan dipukul atau tidak banyak guru yang dilandan lema. Pasalnya jikalau itu tetap digunakan takutnya banyak wali siswa yang tidak terima atau bahkan meneuding gurunya tidak pandai mendidik. Itu menjadi serba salah juga, mau ditegasi lebih takutnya banyak yang melarang. 

Alih-alih sekarang ada peraturannya dan tak jarang murid sering mengabaikan punishment atau hukuman yang tidak tegas atau hanya sekedar verbal saja. Lalu bagaimana cara mendidik anak yang seperti ini ? janganlah pernah bosan bagi guru dan kita tentunya yang juga jadi guru kedepannya untuk memberi nasehat dan teladan secara terus menerus dan yang paling peneting juga mendoakan kebaikan untuknya di sela-sela do'a kita, bahkan menempatkan sebagai do'a yang diprioritaskan, salah satu kunci anak tersebut berhasil yaitu lantaran dari do'a kedua orang tua dan yang mendidiknya, yakni guru mereka.

Karena kecerdasan hakiki, dan kepintaran sejati hanyalah milik Allah yang Maha Tinggi. Kita hanya menegikhtiarkan dan mengupayakan namun ketetapan hanyalah milik Tuhan yang Hakiki.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun