Mohon tunggu...
Muhammad Afief
Muhammad Afief Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Risywah Antara Halal dan Haram

9 Oktober 2017   22:15 Diperbarui: 9 Oktober 2017   22:35 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

 Praktek risywah tidak bersifat rahasia lagi dikalangan masyarakat umum, karena hampir semua kalangan masyarakat dari kalangan atas sampai dengan kelas bawah mempraktikkan risywah tersebut. Praktik suap-menyuap banyak dikenal dengan sebutan "uang pelicin" atau "uang sogok" meskipun telah diketahui dengan jelas keharamannya, namun banyak orang yang mempraktekkan dan menganggap remeh untuk mencapai tujuan-tujuan bersifat pribadi yang duniawi seperti pekerjaan, jabatan, proyek, untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan, bahkan bagi petani yang bertugas untuk mengairi sawah mendahulukan orang yang membayar lebih banyak untuk melaksanakan tugasnya. (Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM, edisi bulan April 2012).

Risywah dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan suap. Jadi, Risywah adalah pemberian apa saja (berupa materi atau non materi) kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara dengan cara pintas dan bathil. Allah Ta'ala berfirman, "Dan janganlah kalian memakan harta-harta diantara kalian dengan cara yang bathil" [QS. Al-Baqarah: 188].Penyakit Risywah menyebar di semua kalangan baik pemerintah maupun swasta. Hampir semua hubungan baik antar individu atau kelompok jarang sekali bersih dari penyakit suap. Kasus penyuapan aktif diatur dalam pasal 209 dan 210 KUHP, sedangkan penyuapan pasif diatur dalam pasal 418,419 dan 420 KUHP. ( Suap_dalam_KUHP_dan_UU_Tipikor.html).

 Beberapa perundang-undangan telah berusaha menjerat dan menghukum para penerima suap dan orang-orang yang terkait dan terlibat bersama mereka. Bahkan hampir hukum dan penegak hukum bertekuk lutut dari penyuap. Suap merupakan bentuk korupsi dan penelantaran uang rakyat tanpa manfaat yang dapat dinikmati bersama.

Karena wabah inilah pembangunan ekonomi tidak bisa berjalan menurut konsep yang benar dan lurus sehingga pembangunan ekonomi tidak berjalan secara efesien dan efektif bahkan biaya ekonomi cukup membengkak, akibatnya pembangunan ekonomi terbengkalai dan tidak dirasakan secara optimal oleh masyarakat secara adil. Dari segi moral, karena uang suap yang diterima tidak memiliki kekuatan ekonomis lantaran diperoleh tanpa jerih payah dan usaha yang berat, maka ia pun kemudian digunakan untuk foya-foya, maksiat dan hal-hal yang tidak berguna karena sudah hilang keberkahannya. Olehnya itu Rasulullah SAW memberi peringatan tegas untuk menjauhi praktik suap, beliau bersabda; Allah melaknat orang yang memberi suap, penerima suap sekaligus broker suap yang menjadi penghubung antara keduanya. (HR. Ahmad).

Imam al Qurthubi mengatakan, "Makna ayat ini adalah janganlah kalian memakan harta dari yang lain dengan cara tidak benar," dan "Barang siapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka ia telah memakan dengan cara yang bathil (putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang salah tidaklah berubah menjadi halal dengan putusin hakim." (al Jami' Li Ahkamil Qur'an juz II hal 711).Dan yang lebih parah lagi orang-orang yang melakukan suap-menyuap adalah orang-orang yang beragama Islam, padahal jelas-jelas imam dan panutan kaum muslimin, Rasulullah SAW telah mengutuk dengan keras para pelaku suap-menyuap.

Akan tetapi hukum suap akan berbeda dan berubah menjadi halal apabila tidak mengandung unsur kezholiman terhadap hak orang lain sedikit pun. Seperti memberikan suap untuk mengambil sesuatu dari haknya yang terhalang atau dipersulit oleh pihak tertentu, atau melakukan suap karena untuk mencegah bahaya yang lebih besar atau mewujudkan manfaat (yang sesuai dengan syariat) yang besar. Dalam keadaan seperti ini maka si pemberi suap tidak berdosa dan tidak terlaknat. Dosa suap menyuap dan laknat Allah tersebut hanya ditimpakan kepada penerima suap.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, "Tentang memberikan uang suap, jika seorang itu menyuap hakim agar hakim memenangkan perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang sejalan dengan realita, maka memberi suap hukumnya haram. Sedangkan suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram (halal) sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan." (LihatRaudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-MuftinIV/131).

Maka kita katakan, bahwa jika orang yang memberi suap itu adalah orang yang berhak dan tepat terhadap pekerjaan yang dibebankan kepadanya itu, maka gaji yang didapatnya adalah HALAL karena gaji itu merupakan imbalan bagi pekerjaannya. Dan disyaratkan untuk kehalalan gajinya itu adalah ia bekerja dengan baik dan melakukan tuntutan pekerjaannya. Apabila ia tidak melaksanakan tuntutan kerja dan tidak bekerja dengan baik, maka hukum gajinya adalah haram. Karena ia telah menyia-nyiakan amanah pekerjaan yang dibebankan kepada dirinya.

Namun sebaliknya, jika si pekerja yang mendapatkan pekerjaan dengan jalan suap itu tidak berhak diterima karena tidak professional terhadap pekerjaannya dan selama mengemban amanah kerja, ia tidak pernah menunaikannya dengan baik dan benar, maka hukum gaji yang diperolehnya itu HARAM.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun