Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Merayakan Kegagalan" bersama Buah Hati

9 Desember 2016   05:57 Diperbarui: 9 Desember 2016   07:53 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masa kanak-kanak merupakan fase dimana pembelajaran dan pertumbuhan seseorang berada pada puncaknya. Di fase ini, berjuang dalam proses belajar dan berhadapan dengan dunia baru merupakan tantangan tersendiri bagi anak. Ketika menjelajah lingkungan, mempelajari sesuatu, mengembangkan kecakapan, mereka melewati siklus pembelajaran yang tiada habisnya dengan mengamati, mencoba, menguji, dan sebagainya. Kecelakaan, kekeliruan, dan kegagalan dari aktivitas yang ia lakukan pasti datang silih berganti. Namun melalui proses itulah, mereka mengerti bagaimana kehidupan yang semestinya sekaligus mengenal minat bakat dan mengukur kemampuannya sendiri. 

Sebagai manusia yang jauh lebih dewasa dari anak-anak, orangtua dapat merenung dan memikirkan kegagalan yang dapat membuatnya lebih kuat menghadapi persoalan dengan bijaksana. Melalui pengalaman-pengalaman di masa lalu, orangtua akan tahu bahwa terjatuh, terhempas, keliru, dan sebagainya adalah bagian dari proses pembelajaran. Namun ketika berusaha menerapkan kearifan tersebut kepada anak atas kegagalan yang dialaminya, orangtua sering kehilangan perspektif dan lebih memilih untuk tidak tega melihat kesengsaraan anaknya dalam bentuk apapun. Hal tersebut memang manusiawi, orangtua mana yang sanggup melihat anaknya berduka. Meskipun mereka tahu bahwa itu adalah bagian dari kehidupan, orangtua tetap saja tidak sanggup mendukung siklus alami tersebut ketika menyangkut pada urusan buah hatinya. Bahkan seringkali dirasa bahwa kegagalan tersebut bukan hanya milik anak, tapi juga milik orangtua. Untuk itu, berikut adalah langkah efektif dalam “merayakan kegagalan” bersama anak demi mendukung proses pembelajaran hidupnya :

Langkah 1 : Biarkan mereka bersedih atas kegagalannya

Kegagalan adalah hal yang wajar meski tetap akan membuat anak menjadi ciut hati dan sedih. Maka biarkan anak meluapkan kesedihannya terlebih dahulu. Biarkan emosi mereka muncul ke permukaan untuk kemudian lepas dan melayang jauh. Menurut David Elkind, seorang psikolog anak, mencoba melindungi anak dari perasaan sedih atau gelisah sama halnya dengan merampas motivasinya untuk bangkit. Lagipula anak harus tahu bahwa kegagalan bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika ia gagal dan tidak mau mencoba lagi. Cukup dampingi anak ketika bersedih, setidaknya mereka tahu bahwa orangtua memahami kesedihan mereka dan kesedihan pun bukan suatu masalah.

Langkah 2 : Bantu mereka untuk menemukan kembali percaya dirinya

Rasa percaya diri yang jatuh bebas ketika anak mengalami kegagalan butuh diangkat kembali. Dan hal tersebut tidak dapat mereka lakukan sendirian. Disinilah orangtua mulai ‘beraksi’. Setelah membiarkan anak murung, suruh mereka untuk mengingat keberhasilan-keberhasilan sebelumnya. Dan katakan bahwa satu kekalahan, meskipun telak, bukanlah penentu masa depan mereka. Ingatkan keberhasilan dalam bidang lainnya yang membuat anak merasa bangga. 

Selain itu, menceritakan kisah-kisah yang inspiratif dengan moral value “jangan menyerah” juga efektif untuk meningkatkan kepercayaan diri anak. Jangan biarkan anak berfokus pada kegagalannya sehingga melupakan hal-hal lain yang lebih bermanfaat. Namun yang perlu diingat, lakukan langkah kedua ini setelah langkah pertama terlewati, bukan sebaliknya. Karena anak butuh berpikir sendiri sebelum menerima dorongan dari luar.

Langkah 3 : Menganalisa penyebab kegagalan

Membuka lembaran menyakitkan untuk kemudian belajar dari lembar tersebut dan menemukan alasan atas kegagalan memang tidaklah mudah. Tapi satu hal yang harus ditanamkan pada anak bahwa keberhasilan dan kegagalan memiliki keterkaitan dengan kemampuan, usaha, dan doa. Setelah anak mulai tenang dan belajar menerima kenyataan, bantu anak untuk menganalisis penyebab kegagalannya, apakah ia kurang persiapan, atau kelelahan, belum maksimal, dan sebagainya. 

Mungkin anak akan mencoba menyalahkan pihak lain, berkata bahwa itu adalah hari sialnya, atau menuduh jurinya pilih kasih (ketika gagal dalam perlombaan). Maka biarkan anak begitu terlebih dahulu. Kemudian tanyakan, “jadi menurutmu apa yang harus diperbaiki?”. Dengan demikian, anak akan berpikir atas kegagalannya dan mengembangkan tanggungjawab atas dirinya.

Langkah 4 : Menanamkan ‘Failing to learn, learn to failing’

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun