Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haruskah Kita Menjadi Anggota "Geng"?

7 April 2018   21:58 Diperbarui: 8 April 2018   14:39 1585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul di atas menjadi pertanyaan yang mengusik saya selama beberapa hari terakhir. Berawal dari curahan hati seorang teman yang mengaku sedih lantaran merasa tidak memiliki teman. Ia mengeluh karena ia merasa sendiri. Dan membuat pertanyaan, tiba-tiba, itu muncul begitu saja. Padahal selama ini saya pribadi tidak terlalu memusingkan hal demikian. 

Tidak ada teman-teman terbaik yang merayakan ulang tahunnya, menemaninya ke manapun, atau sekedar mengajaknya nongkrong. Saya rasa hal itu bukan masalah besar, tapi baginya itu tidak wajar. Menurut dia, menjadi salah satu dari gerombolan yang mengatasnamakan persahabatan itu merupakan suatu kebutuhan. Kalau menurut saya B aja, sih.

Untuk itu, tulisan ini dibuat dalam rangka menyimpulkan beberapa hal yang ditarik atas kejadian-kejadian dalam dinamika kehidupan, terutama dalam menjalin hubungan pertemanan dengan cara berkelompok. Sumber tulisan ini memang lebih menekankan pada pengamatan dan pengalaman pribadi. Jadi, bagi kompasianer yang memiliki jawaban lebih tepat atas pertanyaan tersebut, kuy sharing!

Dalam istilah sosiologi, pola pertemanan berkelompok atau geng ini dikenal dengan sebutan "peer group (kelompok sebaya)". Geng biasanya terbentuk dengan tidak sengaja dari kumpulan beberapa orang yang memiliki persamaan hobi, kesukaan, kemiripan sifat, atau dari kedekatan emosi.

Di samping itu, interaksi antar sesama manusia akan membentuk pola hubungan berulang-ulang atau disebut dengan behavior approach. Nah, dari pola tersebut munculah rasa terikat satu sama lain hingga menyebabkan lahirnya sebuah geng.

Pertama kali saya mengenal dan bersentuhan dengan geng yakni ketika masih berseragam putih-biru. Bahkan saya dan teman-teman membuat nama geng kami dari singkatan inisial seluruh anggota geng, atau dari do'a-do'a kami yang konyol. Contohnya seperti "Luckind Lauf" yang memiliki makna "luck, kind, and always lauf (spelling dari katalove)" dengan harapan kami akan selalu membawa keberuntungan, berbuat baik ke pada siapapun, dan senantiasa menebar kasih sayang. 

Hahaha... kalau diingat-ingat kembali bikin geli juga. Demikianlah geng yang saya maksud dalam tulisan ini, bukan geng yang aneh-aneh, lho.

Tidak kalah dengan geng motor, geng sebelah (lah?), dan geng-geng lainnya, kami juga memiliki beberapa "aktivitas geng". Mulai dari merayakan setiap anggota yang berulang tahun (bahkan anniversary lahirnya geng tersebut), memiliki benda-benda yang sama sebagai identitas dan simbol persahabatan, sering hangout bareng atau sekedar wefie dengan menyelaraskan pose, aksesoris, hingga ekspresi. Ya... namanya juga anak baru gedhe. Maklum.

Hingga duduk di bangku kuliah, rupanya fenomena "geng-geng-an" masih harum semerbak. Hal ini baru saya sadari ketika menginjak semester 4. Tidak heran, karena kebetulan seluruh anggota kelas adalah perempuan yang notabene mengutamakan rasa nyaman dan kepentingan sendiri. Ada rasa sedih juga, sih, karena semakin hari suasana kelas semakin terasa kosong. Kekompakan yang ditampakkan hanyalah pencitraan, mayoritas sibuk dengan geng masing-masing demi mengatur jadwal pulang bareng, jalan bareng, makan bareng, foto bareng, dan bareng-bareng lainnya.

Sumber: Families Online
Sumber: Families Online
Tentu saja segala hal di dunia ini memiliki dua sisi yang berbeda. Bumi memiliki kutub utara dan selatan. Atom memiliki proton dan neutron. Tangan memiliki nama kanan dan kiri. Begitupula dengan pola pertemanan yang satu ini (permisalan macam apa itu?). Daaan adapun positive side dari adanya geng yakni sebagai berikut:

1. Geng akan memberi kesempatan bagi anggotanya untuk mengisi peranan sosial yang baru. yakni tentang bagaimana menjadi pemimpin yang baik, menjadi tempat keluh kesah antar anggota geng, bahkan menjadi "dompet cadangan" jika salah satu anggota geng membutuhkan ladang hutang, hehehe.

2. Geng merupakan sumber informasi yang cukup akurat bagi orang tua tentang hubungan sosial anaknya. Yap, ketika seorang anak tidak berkabar biasanya orang tua langsung menghubungi teman terdekat anaknya, bukan?

3. Geng juga dapat dikatakan sebagai tolak ukur kesan orang lain terhadap diri seseorang. Apabila ada salah satu anggota geng yang berhasil di mata orang lain, maka anggota geng yang lain biasanya akan dipandang sama. Dalam sebuah hadits pun Rasulullah SAW menjelaskan bahwa:

"Permisalan golongan teman yang baik dan buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu banyak wewangian, atau kamu bisa membeli minyak wangi darinya. Dan kalaupun tidak, kamu tetap bisa mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi bisa jadi percikan apinya mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak kamu tetap akan mendapatkan bau asapnya yang tak sedap." (HR Bukhari dan Muslim)

From this point we know that we have to be carefull to making friends. Right?

4. Dalam sebuah geng, seseorang akan lebih mudah untuk mengembangkan potensi dan mengekpresikan dirinya. Karena dengan sesama anggota geng, seseorang cenderung lebih bersikap terbuka. Istilahnya, jadi diri sendiri, gitu. Seseorang juga dapat mencapai kebebasan dalam sebuah geng. Kebebasan di sini diartikan sebagai kebebasan untuk berpendapat, bertindak, atau menemukan identitas diri.

Nah, geng juga memiliki beberapa dampak negatif yang harus diperhatikan lho:

1. Geng akan membuat seseorang cenderung menutup diri bagi orang lain yang bukan merupakan anggota kelompoknya. This is what I dislike. Dari pengalaman pribadi, sedih rasanya melihat sebuah geng yang tidak mau berbaur dengan teman lainnya. Mulai dari berangkat kuliah, makan siang, hingga ber-foto-ria seolah harus senantiasa bersama. Pun jika ada pembagian kelompok tugas dalam suatu kelas, maka seorang anggota geng akan lebih memilih bersama teman se-per-geng-nya.

2. Nah, dampak dari poin pertama yakni barangsiapa yang terlalu "fanatik" menjadi anggota geng, niscaya dia akan membuat sebuah kelas menjadi terpecah belah. Geng akan selalu berusaha mendominasi dan mendahulukan kepentingan kelompok daripada kepentingan khalayak. Selain itu, geng-geng yang lahir dalam satu kawasan yang sama akan menimbulkan kerusakan di muka bumi... nggak deng. 

Yang jelas this is what I dislike, too. Rupanya selama ini dibalik grup kelas ada beberapa grup bayangan yang hanya beranggotakan beberapa orang. Dan tak jarang terjadi saling ghibah (membicarakan keburukan orang lain) yang dilakukan antar sesama geng di grup bayangan tersebut. True story.

3. Biasanya, seorang anggota geng yang membatasi lingkungan sosialnya dalam suatu kelompok tertentu akan menghambat hubungan sosialnya dengan masyarakat luas. Ya, menurut survei abal-abal, beberapa anggota geng cenderung lebih banyak menghabiskan waktu dengan geng-nya untuk bermain, makan, atau sekedar chit-chat dibandingkan bersama dengan orang lain. Hal ini akan menjadi bahaya jika menyebabkan anggota geng tersebut mengalami ketergantungan. Padahal sesungguhnya teman sejati bukanlah anggota geng, melainkan amal ibadah kita. Yah, jadi ceramah...

4. Dalam sebuah geng, sering terjadi pergesekan antar anggota karena salah paham atau masalah perbedaan pendapat. Pertentangan pun juga sering terjadi akibat kecemburuan sosial, perdebatan kecil, dan yang paling sulit untuk diperbaiki adalah kebohongan. Jika masalah dalam sebuah geng sampai pada level expert alias akut, maka perpecahan yang terjadi biasanya lebih parah daripada pertengkaran antar seorang teman biasa.

Jadi, haruskah kita menjadi anggota geng? Jawabannya: tidak. Tidak harus.

Yang menjadi keharusan seorang manusia adalah berteman baik dengan siapa saja. Karena pada dasarnya manusia adalah homo socius, saling membutuhkan satu sama lain. Akan tetapi, bukan berarti kita menyalahi analogi "penjual parfum dan pandai besi" di atas, ya! Berteman dengan siapa saja bukan berarti kita mengikuti segala hal dalam diri mereka, namun kita harus pandai menjadi proffesional-filter. Ya, saring and caring! Ambil yang baik, buang yang buruk. Peduli dengan kebaikan, acuh pada kemungkaran. Kalaupun sekarang kamu masih menjadi anggota geng, itu sah-sah saja selama tidak menimbulkan dampak negatif di atas kok. Pada intinya, setiap orang berhak menentukan pola pertemanan masing-masing selama tidak membawanya pada marabahaya. Udah gitu aja.

Kompasianer, bagaimana dengan kalian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun