Kebiasaanku membaca buku kadang menyesuaikan dengan katagori atau tema. Satu ketika saya senang dengan filsafat, maka dalam rentang tertentu saya focus membaca buku filsafat. Kali lain ilmu-ilmu sosial lebih menggoda, saya juga membaca teknologi sebagaimana basicku, budaya dan juga agama saya baca sesuai dengan rentang tertentu.
Saya tidak bermaksud mempublikasikan atau iklan untuk kepentingan finansial. Namun tetap pada rujukan awal, bahwa kompasiana adalah tempat untuk berbagi.
Akhir-akhir ini saya senang membaca autobiografi tokoh-tokoh yang telah membuat inspiratif. Diantara sekian buku yang aku miliki ada 2 (dua) yang menarik perhatianku, karena buku itu ditulis sendiri. Berbeda dengan buka autobiografi yang biasanya ditulis oleh orang lain. Editing pastilah ada. Mana mungkin penerbit akan melempar ke pasaran tanpa editing.
Ada getaran yang sangat berbeda pada saat membaca, bila tiap huruf diketik sendiri oleh tokoh yang bersangkutan. Sekalipun bahasanya tidak begitu indah dan tidak sejalan dengan norma jurnalistik, tapi memikat. Ada daya magnit yang mampu menyedot perasaan.
[caption id="attachment_82385" align="alignleft" width="300" caption="(inibuku.com)"][/caption] “Titik-titik Kisar di Perjalananku” menceriterakan perjalanan hidup Buya (demikian dia sering dipanggil) sejak lahir sampai beliau mendirikan yayasan Institut Ma’arif adalah buku pertama. Buku ini saya beli saat menjelang lebaran tahun ini. Belum lama memang. Maksud diterbitkannya buku ini adalah menyemarakkan muktamar Muhammadiyah 1 abad.
Diakui oleh Buya sendiri, bahwa buku ditulis secara bertahap san sempat terhenti beberapa lama karena kesibukan beliau.
Buku kedua adalah “Habibie & Ainun”, juga ditulis sendiri oleh Bacharuddin Jusuf Habibie. Buku ini mengisahkan peran Ainun (istri beliau) sejak mulai menikah sampai pasca menjadi Presiden RI. Buku ini terbit atas desakan kolega-kolega beliau. Peran istri yang sangat berpengaruh terhadap karier habibie, selayaknya tidak rasakan sendiri dan keluarga, namun diinformasikan kepada orang lain sebagai bukti berbakti. Demikian maksud rekan beliau atas desakan kemunculan buka ini.
Dari dua buah buku autobiografi itu ada beberapa yang dapat saya tarik benang merahnya.
Pertama : Peran istri sangat vital. Pengakuan beliau berdua, bahwa peran istri-istri beliau sangat menunjang keberhasilan. Lip (Buya sering memanggil istrinya) adalah dari keluarga saudagar yang kaya dan terpandang. Beliau mau menjadi istri Buya yang berasal dari keluarga yang kurang berada. Rekan-rekan Habibie sempat mencemooh, dikala dia memiliki keinginan untuk mempersunting Ainun, mengingat keluarga Ainun dari kalangan pendidik dan terpandang.
Dalam perjalanan, Lip dan Ainun mendampingi suami harus mengatur ekstra ketat mengingat topangan ekonomi tidal kokoh. Lip sempat kehilangan putranya karena sakit. Lip juga sempat menjadi pengasuh seorang anak di luar negeri. Ainun sendiri rela mengundurkan diri dari seorang dokter di rumah sakit, saat thareq jatuh sakit. “Bagaimana mungkin saya merawat anak orang lain supaya sehat, sementara anak saya sendiri justru sakit”. Padahal beliau bekerja dengan maksud memperkokoh pondasi keuangan keluarga.
[caption id="attachment_82387" align="alignleft" width="300" caption="(gramediamatraman.wordpress.com)"]
Habibie pernah diminta hasil master plan tentang strategi pengembangan teknologi tinggi oleh pembantunya Soeharto. Habibie ngotot tidak membolehkan, karena bila diserahkan keesokan harinya master plan itu akan beredar di Hongkong, Singapura atau Glodog. Beberapa hari kemudian beliau dipanggil Soeharto sebagai Presiden. Soeharto marah karena tidak diperbolehkan mendapatkan master plan-nya, sampai Habibie mengucapkan “ ya… sudah…. Ini master plan-nya silahkan Pak Harto pimpin sendiri proyek teknologinya”. Setelah dibolak-balik, buku itu dikembalikan kepada Habibie. “Silahkan kerjakan, saya dibelakangmu” ucap Soeharto.
Masih banyak persamaan dari beliau-baliau sekalipun kedua tokoh itu berbeda jalur. Habibie komitmen di iptek, sementara Syafii menekuni sosial keagamaan.
salam affandi