Mohon tunggu...
Afer Malanguna
Afer Malanguna Mohon Tunggu... -

Pendidikan S1, Wartawan Jawa Pos sejak 1989

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Degradasi Mental Jokowi

24 Januari 2015   22:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:26 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

‘Degradasi Mental’ Jokowi

Oleh: Afer Malanguna

Masih sangat segar dalam benak saya, sebagai pendukung Joko Widodo (Jokowi) yang tidak lain adalah presiden RI terpilih saat ini, bumi seolah bergetar ketika digelar Konser Salam Dua Jari di Senayan dalam rangka kampanye presiden 2014…. Masih terbayang jelas bagaimana Jokowi berlari kecil menaiki pentas di antara ratusan ribu pendukungnya yang gemuruh meneriakkan yel-yel mendukung dirinya….. Masih terekam jelas ketika Jokowi menyerukan ‘revolusi mental’ sebagai landasan dia dalam membangun negeri yang bersih, bebas dari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Berbagai elemen masyarakat termasuk hampir semua selebriti negeri ini mendukung Jokowi, bahkan yang tadinya berada di ‘kubu sebelah’ seperti Raffi Ahmad, akhirnya hijrah ke kubu Jokowi…… Mantan Walikota Solo yang kemudian menjadi gubernur DKI Jakarta ini, bahkan disandingkan dengan presiden Amerika Obama yang datang dari kalangan sipil datang untuk membuat perubahan. Begitu banyak sanjungan sekaligus harapan yang diletakkan di pundak Jokowi sebagai calon presiden. Stigma bahwa Jokowi adalah ‘Si Putih’ dan lawannya berpredikat ‘Si Hitam’ tanpa sadar terbangun di kalangan masyarakat….. Sekali lagi, slogan kampanye REVOLUSI MENTAL Jokowi, telah menjadi bius yang membuat para pendukungnya melihat pria bertubuh kurus itu sebagai manusia setengah dewa……

Singkat cerita, Jokowi pun terpilih jadi presiden, meski lewat perjuangan berat di mahkamah konstitusi! Sudah pasti para pendukung (termasuk saya) ikut bersukacita dan mulai harap-harap cemas, apa yang bakal dilakukan presiden di awal pemerintahannya? Bahasa politisnya, di 100 hari pemerintahannya? Ujian pertama Jokowi adalah sikap dan kewibawaannya dalam memilih pembantu (menteri). Sebab di awal-awal, Jokowi berkoar akan lebih mendorong tampilnya para professional dan orang-orang independen yang punya rekam jejak yang baik untuk duduk sebagai menteri di kabinetnya…. Masih kata Jokowi, dia akan membatasi orang partai bahkan sempat terucap dia tidak begitu peduli dengan koalisi besar atau kecil…..

Lalu apa yang terjadi…? Ketika Jokowi mengumumkan nama-nama calon menterinya, banyak pendukung (termasuk saya) terkesima…… Pertanyaan paling sederhana: Koq…. yang banyak justru orang-orang partai…? Tapi Jokowi masih berkelit, orang partai yang masuk kabinetnya adalah orang professional…..it’s ok….!! Para pendukung masih bisa ‘maklum’ karena, (setidaknya), para pembantunya ini telah lolos ‘uji moral’ di PPATK dan KPK, kecuali ada nama seperti Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno Soewandi yang pernah berurusan dengan hukum karena diperiksa KPK…. Tapi konon pemilihan Rini sangat terkait dengan kedekatannya dengan Megawati Soekarno Puteri, Sang Penguasa di PDIP…. Satu hal yang juga menjadi kontroversi adalah tampilnya puteri Megawati, Puan Maharani sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Sosial Budaya yang berusia 41 tahun. Banyak masyarakat yang bertanya, apakah Puan sudah layak duduk di ‘kursi’ menteri? Apalagi sebagai menteri koordinator…? Tapi, pertanyaan-pertanyaan itu berlalu seiring dengan berlalunya sang waktu….

Tiba-tiba di penghujung tahun 2014, public dikejutkan dengan penunjukkan Muhammad Prasetyo sebagai jaksa agung oleh Presiden Jokowi….. Protes publik menyeruak karena jelas-jelas Jaksa Agung pilihan Jokowi adalah Kader Partai Nasdem, yang nota bene adalah partai pendukung pertama dan utama Jokowi. Lagi pula, pemilihan (penunjukkan) ini tidak diawali dengan ‘uji moral’ di KPK. Banyak pendukung Jokowi yang protes, karena selain tidak melewati KPK, Jaksa Agung versi partai ini (meski akhirnya Prasetyo mundur dari Nasdem), dikuatirkan akan ‘terkontaminasi’ dengan berbagai kepentingan di luar penegakkan hukum… Namun, kembali…. Kontroversi itu perlahan hilang ditelan bumi…..

Lalu, di awal 2015, Jokowi kembali membuat keputusan blunder…. Budi Gunawan yang berpangkat Komjen Polisi, diajukan sebagai calon tunggal Kapolri. Tanpa berkaca pada ‘kasus’ Prasetyo yang tidak melewati KPK, tampaknya Jokowi tetap ‘tegar’ menyodorkan nama Budi Gunawan meski protes keras dari masyarakat termasuk KPK mulai muncul secara sporadis…. Masyarakat memprotes pencalonan Budi karena dia salah satu perwira yang oleh Majalah Tempo dinyatakan bermasalah akibat terlibat rekening tidak wajar yang popular dengan istilah rekening gendut….. Namun Jokowi tidak bergeming. Alasannya, nama Budi telah lolos ‘seleksi’ Kompolnas. Namun, KPK berkata tidak! Setelah berusaha melobi istana agar pencalonan Budi dibatalkan dan gagal, KPK kemudian mengumumkan temuannya bahwa sang Jenderal punya bukti telah melakukan tindak pidana korupsi….

Drama pun memanas. Pengumuman nama Budi sebagai tersangka ternyata tidak menyurutkan niat Jokowi untuk tetap menyodorkan nama jenderal bintang tiga itu untuk jadi kepala kepolisian negeri ini. Dan –ini yang aneh bin ajaib—ketika nama Budi Gunawan disodorkan di DPRI untuk uji kelayakan dan kepatutan, baik lawan (koalisi merah putih) dan tentu saja kawan (koalisi Indonesia hebat) secara bulat menyatakan si Budi layak dan patut menjadi orang nomor satu di Polri. Dan semua ini kemudian diresmikan secara politis di sidang paripurna…… !

Setelah itu, DPRRI terus mendorong pelantikan si Budi. Namun, kali ini Jokowi masih sedikit mendengar seruan public yang marah dan minta Jokowi membatalkan pelantikan. Namun bahasa yang keluar dari Jokowi bukanlah membatalkan pelantikan tapi menunda. Kalimat ini kemudian mendorong protes baru, karena berbagai pihak telah menyarankan Jokowi untuk mencoret nama Budi Gunawan karena terindikasi korupsi…..

Di tengah keriuhan dan upaya KPK membuktikan tindak pidana yang dilakukan Budi, berbagai upaya dilakukan untuk ‘membersihkan diri’, misalnya membeber harta kekayaannya di depan DPRRI dan meyakinkan bahwa semua hartanya ‘halal’. Lalu, ada upaya pra peradilan KPK dan terakhir (meski Polri berulang kali membantah) penangkapan Wakil Ketua KPK,Bambang Widjojanto yang tidak etis…dan sangat bertendensi politik bahkan balas dendam!

Lalu apa yang dilakukan Presiden Jokowi sebagai ‘atasan’ Polri? Sangat disayangkan, pernyataan Jokowi yang seharusnya memprotes keras cara-cara Polisi menangkap Bambang sebagai seorang pejabat Negara, Jokowi hanya sekedar mengeluarkan statement normative yang disebut-sebut setara dengan omongan Ketua RT dan tidak ada solusi sama sekali untuk meredam kekisruhan ini. Hingga dalam press conference yang digelar KPK, banyak tokoh yang menumpahkan kekecewannya atas jawaban Jokowi menanggapi aksi ini. ‘’Saya kecewa pada Jokowi,’’ kata Pakar Hukum Todung Mulya Lubis serta sejumlah tokoh yang hadir membela KPK.

Seharusnya dalam kondisi seperti ini, Jokowi memerlukan ‘pertimbangan’ yang ‘jernih’ dari berbagai pihak. Namun, sekali lagi, apa yang bisa diharapkan dari deretan nama yang duduk dalam lembaga yang namanya Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang hampir semuanya orang partai? Sebagai catatan, awal tahun ini juga, Jokowi terang-terangan melantik para anggota Wantimpres yang hampir seluruhnya berasal dari Partai Politik. Membandingkan dengan mantan presiden SBY, apa yang dilakukan SBY dengan memasukkan nama-nama independen seperti Adnan Buyung Nasution yang dikenal vocal, jauh lebih baik dibanding Jokowi…..

Lalu, apa yang kita harapkan dari slogan Revolusi Mental Jokowi? Dari kondisi awal kebijakkannya, khususnya dalam ketegasannya untuk berdiri sebagai presiden yang diharapkan dapat membersihkan birokrat negeri ini dari sampah koruptor, itu tidak nampak. Yang terjadi malah DEGRADASI MENTAL, ya contohnya, seorang yang terindikasi korupsi terus didorong bahkan jadi calon tunggal untuk memimpin penegakkan hukum di negeri ini. Kondisi ini kemudian membuat masyarakat mulai membandingkan (secara subyektif) bahwa Jokowi tidak lebih baik dari pendahulunya…. Hanya waktulah yang akan menjawab, apakah stigma negative itu akan terus melekat pada dirinya selama lima tahun ke depan….!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun