Mohon tunggu...
Afen Sena
Afen Sena Mohon Tunggu... Dr, IAP, FRAeS

Anak muda dari kampung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Psiko-Sosiologi Memperlakukan Hutang

31 Agustus 2025   00:49 Diperbarui: 31 Agustus 2025   00:49 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah gang kecil di pinggiran kota, seorang ibu rumah tangga duduk termenung di depan rumahnya. Tatapannya kosong, bukan karena ia tidak punya pekerjaan, melainkan karena pikirannya penuh dengan beban tagihan yang menumpuk. Besok anaknya harus membayar biaya sekolah, tetapi di dompetnya hanya tersisa uang pas untuk membeli beras. Di warung tetangga ia sudah berhutang beberapa kali, dan di aplikasi pinjaman daring ada pesan peringatan yang masuk setiap hari. Bukan ia tidak ingin membayar, tetapi keadaan membuatnya hanya bisa menunda. Setiap kali mendengar ketukan di pintu rumah, jantungnya berdegup kencang, khawatir itu adalah penagih. Dalam benaknya, hutang bukan lagi sekadar angka, melainkan bayangan gelap yang selalu mengikutinya.


Kisah seperti ini bukan hanya milik seorang ibu rumah tangga di pinggiran kota. Ia adalah potret ribuan, bahkan jutaan orang Indonesia dari berbagai lapisan. Hutang telah menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat kebanyakan. Ia ada di pasar tradisional, di kios warung kelontong, di kontrakan buruh harian, bahkan di ruang digital melalui pinjaman online. Hutang menjadi penghubung antara kebutuhan yang tak bisa ditunda dengan kemampuan yang terbatas. Tetapi pada saat yang sama, hutang juga bisa menjelma menjadi jerat yang membelit, membuat orang kehilangan rasa tenang, kehilangan harga diri, bahkan kehilangan harapan.

Dalam perspektif sosiologi, hutang adalah kontrak sosial. Ia tidak berhenti pada relasi antara peminjam dan pemberi pinjaman, melainkan menjadi bagian dari struktur masyarakat yang melibatkan nilai, norma, dan stigma. Orang yang tidak mampu membayar hutang bukan hanya ditagih secara hukum, tetapi juga dihakimi secara sosial. Mereka kehilangan muka, dianggap tidak bertanggung jawab, bahkan dipandang sebagai beban. Dari perspektif psikologi, hutang adalah sumber tekanan batin. Ia melahirkan kecemasan, rasa bersalah, dan depresi. Kombinasi antara stigma sosial dan tekanan psikologis inilah yang membuat hutang tidak sekadar masalah ekonomi, melainkan juga masalah kemanusiaan.

Hutang sebenarnya bukan hal baru. Dalam sejarah peradaban, hutang selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia. Di banyak komunitas tradisional, hutang bahkan dilihat sebagai ikatan sosial yang memperkuat solidaritas. Seorang petani meminjam benih dari tetangganya, lalu mengembalikan setelah panen. Seorang nelayan berhutang garam atau peralatan, lalu mengembalikan dengan hasil tangkapan. Hutang bukan sekadar transaksi, melainkan kepercayaan. Tetapi dalam masyarakat modern, terutama dengan berkembangnya sistem keuangan kapitalistik, hutang berubah wujud. Ia menjadi angka yang dingin, perjanjian hukum yang kaku, dan instrumen bisnis yang kadang tidak lagi peduli pada sisi kemanusiaan.

Di titik inilah polemik muncul. Hutang dipandang dengan curiga, peminjam dianggap lemah, pemberi pinjaman dianggap menindas. Hubungan sosial yang semula bisa dikelola dengan rasa saling percaya berubah menjadi hubungan kuasa yang timpang. Seorang peminjam yang kesulitan membayar tidak jarang dipermalukan di ruang publik. Aplikasi pinjaman daring bahkan mengirim pesan ke seluruh kontak telepon peminjam untuk memberi tahu bahwa orang tersebut menunggak hutang. Rasa malu itu lebih menyakitkan daripada jumlah hutang itu sendiri.

Namun, bagi masyarakat kebanyakan, hutang tetaplah bagian dari realitas hidup. Tidak ada yang benar-benar bisa sepenuhnya bebas dari hutang. Orang dengan gaji pas-pasan sering bergantung pada hutang untuk menutup kebutuhan dasar. Pedagang kecil bergantung pada pinjaman modal untuk bertahan di pasar. Bahkan kelas menengah pun hidup dalam bayang-bayang cicilan rumah, cicilan kendaraan, dan tagihan kartu kredit. Hutang seakan menjadi benang yang mengikat semua lapisan, hanya dengan kadar dan bentuk yang berbeda.

Yang membedakan hanyalah bagaimana masyarakat memperlakukan hutang itu. Ada yang melihat hutang sebagai jembatan untuk keluar dari kesulitan, ada yang memandangnya sebagai lubang yang membuat hidup makin dalam terperosok. Ada yang mengelola hutang dengan disiplin sehingga tetap bisa bernapas, ada pula yang terjebak hingga tidak bisa lagi membedakan mana jalan keluar dan mana jalan buntu.

Dari sudut pandang sosio-psikologis, ada beberapa hal yang membuat hutang mudah membelit. Pertama, budaya gengsi dan konsumtif yang tumbuh subur. Banyak orang berhutang bukan karena benar-benar butuh, tetapi karena dorongan untuk terlihat tidak kalah dari orang lain. Membeli gawai terbaru, pakaian bermerek, atau mengikuti gaya hidup yang sebenarnya tidak sesuai dengan kemampuan. Hutang dalam hal ini lahir bukan dari kebutuhan, melainkan dari tekanan sosial untuk diakui.

Kedua, rendahnya literasi finansial. Banyak masyarakat kebanyakan tidak benar-benar menghitung kemampuan bayar sebelum mengambil hutang. Pinjaman dianggap jalan keluar cepat, padahal tanpa perencanaan, ia justru membuka jalan buntu. Hutang lima ratus ribu rupiah bisa membengkak menjadi jutaan hanya karena keterlambatan membayar bunga.

Ketiga, cara penagihan yang menekan. Dalam masyarakat tradisional, menagih hutang sering dilakukan dengan cara halus, penuh basa-basi, bahkan dengan humor. Tetapi dalam konteks modern, terutama pinjaman digital, penagihan dilakukan dengan ancaman, teror, bahkan pelecehan. Akibatnya, hutang bukan lagi beban finansial semata, melainkan juga luka psikologis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun