Mohon tunggu...
Afditya Iman Fahlevi
Afditya Iman Fahlevi Mohon Tunggu... -

Aktivis Keluarga Mahasiswa Universitas Bung Karno Jakarta (KM.UBK) | Pendiri kabarmahasiswa.com |

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengurangi Impor Pangan Menuju Swasembada Pangan

31 Maret 2014   09:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:16 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

"Sector pangan merupakan bagian paling penting dalam sebuah ketahanan dan kedaulatan dalam suatu Negara. Tak hanya itu, sector pangan juga sebagai penopang serta menjadi strategi  pertahanan dalam bangsa dan Negara, Khususnya Indonesia" #Keadilanpangan

Sebagai Negara yang terlahir sebagai wilayah yang agraris, Indonesia punya banyak kelebihan dalam sector pangan. Namun , Sejak tahun 1990-an ketahanan pangan nasional terus merosot bahkan hampir mendekati titik rapuh dari topangan ketahanan pangan itu sendiri. Jika dikatakan, siapa yang tak kuat bertarung dalam mekanisme pasar, maka Negara itu telah gagal dalam menjalankan percaturan politik pangan. Gagal sudah kedaulatan pangannya.

Seperti dilansir dari buku Ekonomi Politik Pangan : Kembali Ke Basis, Dari Ketergantungan Ke Kedaulatan”dikatakan bahwa, dalam sejarah dinamika ekonomi-politik pangan di Indonesia adalah atas dasar keyakinan terhadap betapa pentingnya pedesaan sebagai sumber pangan, sector pedesaan dan pertanian dipilih sebagai prioritas pembangunan nasional sejak proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945.

Berkaca pada sejarah, Prioritas dan semangat  menempatkan sector pangan sebagai kebijakan utama  ternyata dirancang serius secara subtantif-revolusioner, yaitu dibentuknya Panitia Agraria Jogjakarta pada tahun 1948.

Pangan adalah satu dari bukti kongkrit yang menentukan hidup matinya manusia, menentukan maju atau tidak sebuah Negara, baik secara ekonomi, social dan budaya. Pangan juga mampu memberi identitas terhadap ketahanan dan kedaulatan terhadap segala aspek kehidupan, Bukan hanya Negara, tetapi pada sector perekonomian dan tingkat kesejahteraan terhadap masyarakat.

Kebijakan Impor Sebagai Komoditas Pangan

Harus jujur kita katakan bahwa, Belakangan ini sedang menjamur politik impor sebagai kebijakan pemerintah pusat  guna memenuhi kebutuhan pangan. Menurut Harianto, Staf Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi yang dimuat laman resmi seskab, tertanggal 14 Agustus 2013, Mengatakan  bahwa alasan dari kebijakan impor adalah untuk menekan harga-harga kebutuhan agar kembali pada tingkatan harga yang wajar. Sebab, Impor pangan juga memberikan harga-harga kebutuhan pangan jauh lebih murah dibanding hasil dari dalam negeri.

Taka ada yang salah, persoalannya adalah tidak adanya control dan aturan ketat terhadap dari kebijakan impor sendiri. Harus disadari, Arus globalisasi dan system ekonomi kapitalis menjadi dasar yang kuat terhadap arus impor pangan secara besar-besaran. Sebagai contoh, program beras miskin (raskin) bukan mengadirkan penyelesain masalah pangan, justru menimbukan persolan baru. Mau tidak mau, Masyarakat dipaksa untuk merendahkan kualitas konsumsi pangannya sendiri.

Suatu bangsa akan rapuh bila pemerintahannya tidak dapat memberikan dan menggerakan rakyat untuk mengadakan pangan. Jadi, tidak tergantung pada fluktuasi persediaan dan harga ditingkat perdagangan internasional.

Pertanyaannya, Mengapa Pemerintah tetap menjalankan kebijakan impor pangan dalam skala besar sebagai pemenuhan pangan dalam negeri?  Ternyata, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah cenderung mendorong ke arah agribisnis pertanian yang didukung investasi besar.

Akibatnya, karakter pertania sudah bergeser pada produksi pangan Indonesia yang berbasis perusahaan, jadi bukan lagi produksi pangan yang berbasis keluarga tani.  Dampak lainnya adalah, produksi pertanian dalam negeri kalah bersaing, hasil produksi pangan dalam negeri secara otomatis akan mati dengan sendirinya seperti terkubur tanahnya sendiri.

Kebijakan impor pangan tentu tak lain hanya menimbulkan krisis pangan di Negara agraris, Negara yang seharusnya mandiri secara pangan, namun tak kuasa melawan gempuran impor pangan dari negeri luar sana. Sungguh ironis.

Sementara lain, Globalisasi bisnis dan teknologi pangan, Indonesia telah terperangkap dalam system korparasi yang berbasis perusahaan atas investasi besar tersebut. Lebih jauh dari itu, keberadaan atas teknologi ditengah-tengah lading pertanian jugan telah memangkas secara perlahan untuk meruntuhkan kebudayaan petani yang sesungguhanya. Gelombang bisnis tersebut ternyata juga tak sanggup dipagari dengan system otonomi daerah yang punya kebijakan atas wilayahnya sendiri.  System  otonomi daerah justru sebagai peluang melancarakan bisnis –bisnis di bidang pertanian. Pasar menentukan itu semua.

Seorang insider lembaga internasional terkait dengan pangan dan ditulis dalam buku Susan George, How  the Other Half Die ditegaskan bahwa, Pasar tidak pernah dapat menjadi jaminan ketersediaan pangan bagi semua umat manusia  termasuk rakyat Indonesia. Justru yang terjadi kebalikannya, Pasar mencipakan ketidakadilan pangan yang bermuara pada kelaparan.

Sebagai contoh, pada 2011 yang lalu, Ratusan petani kentang di Pangalengan, Bandung, Jawa Barat mengeluh karena produksi kentang mereka  mati total dan hasil taninya tidak laku, hal itu disebabkan karena gempuran impor kentang dari china sangat besar.  Sampai pada akhir para petani melakukan aksi mogok di depan Kementerian Perdagangan. Harga kentang impor jauh lebih murah dan buruk dalam aspek kualitas pangannya.

Tentu hal itu sangat menyimpang jauh dari keadilan pangan, juga melambung jauh dari amanat Undang-Undang Dasar 1945. Sudah saatnya Negara yang agraris ini harus kembali kepada khitahnya, kepada budaya sebagai kebudayaan tani yang gotong royong, Wujudkan keadiangan pangan.

Indonesia harus merujuk kembali  pasca dibentuknya Panitia Agraria Jogjakarta pada tahun 1948. Selain itu, membangung semangat nasionalisme terhadap petani juga menjadi langkah petani Indonesia melawan dan bergerak mendobrak system pasar pangan yang menciptakan ketidakadilan pangan. Kita harus tekankan bahwa pedesaan adalah sumber pangan. Dengan itu semua, harus disambut dengan mendorong pemerintah untuk mengurangi impor pangan.



Penulis: Muhammad Afditya Iman Fahlevi, Mahasiswa Universitas Bung Karno

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun