Mohon tunggu...
Afda AlifMuhammad
Afda AlifMuhammad Mohon Tunggu... Buruh - Terkubur tanah hasrat.

Orang biasa.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Ketapel Bahasa

14 Mei 2020   21:19 Diperbarui: 14 Mei 2020   21:38 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Digeleng-gelengkan kepala
itu pertanda tak mau atau tak suka
Diangguk-anggukan kepala
itu pertanda ia mau dan juga setuju

Itu semua isyarat dalam bahasa
tanpa bicara orang mengerti maksudnya

Orang bisa bicara
walau tidak memakai bahasa
Untuk menyatakan cinta
cukuplah dengan pandangan mata..

**

Ada baiknya pembahasan ini kita mulai dengan nyanyian Ritta Sugiarto sambil diiringi Orkes Melayu Soneta.

Perbincangan masalah bahasa kerap kali digoreng habis-habisan oleh para ahli fisafat modern. Dibalik indahnya bahasa, ternyata juga ada kekacauan dibalik keindahan tersebut. Menurut filsuf asal Wina, Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus, kekacauan dalam bahasa terjadi karena "Kebanyakan dari pernyataan dan pertanyaan ahli filsafat timbul dari kegagalan mereka untuk menguasai logika bahasa".

Berangkat dari kutipan buku Ludwig ini pun penulis menangkap semiotiknya bahwa bahasa bukan saja perangkat untuk berpikir dan berfilsafat, tetapi juga sebagai perangkat yang sangat penting dalam menentukan hasil akhir dari filsafat. Maka tidak heran ahli filsafat asal Perancis seperti Henri Bergson (1859-1941) membedakan antara pengetahuan yang bersifat absolut diperoleh tanpa bahasa dan pengetahuan relatif yang diperoleh dengan bahasa.

Tetapi apa sebenarnya bahasa itu? Ketika ada seseorang melontarkan ucapan "Bahasa", umumnya konotasi kita mengarah kepada "serangkaian bunyi". Dan dalam "serangkaian bunyi" ini, umumnya kita gunakan sebagai alat komunikasi utama, baik dalam berkomunikasi pada seseorang atau sebagai petanda layaknya sebuah bel dan klakson.

Apakah bahasa dalam berkomunikasi kepada seseorang, kita harus betul-betul berbicara? Mengeluarkan suara? Tentu tidak. Kita bisa melirik pada orang bisu. Mereka tetap bisa berkomunikasi kepada sesama manusia meski "tanpa bersuara". Karena itulah Ernst Cassirer meyebutkan manusia adalah Animal Symbolicum, makhluk yang menggunakan simbol, secara generik mencakup makna yang lebih luas daripada Homo Sapiens (makhluk yang berpikir), karena dalam kegiatan berpikirnya manusia kerap kali menggunakan simbol.

Manusia tanpa bahasa tidak dapat mampu berpikir secara baik dan benar. Tanpa bahasa, mustahil manusia dapat berpikir rumit dan abstrak. Dalam Words and Their Meaning, Aldous Huxley mengatakan, "Mungkin saja terdapat jenius di antara para gorila, tetapi karena mereka tidak memiliki kemampuan bahasa, maka buah pemikiran dan penemuan jenius itu tidak tercatat dan menghilang begitu saja". Artinya, bahasa di sini berperan betul bagi manusia dalam berpikir dan menyampaikan hasil temuannya.

Contoh saja di dalam perbendaharaan kata-kata, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima. Di dalam kamus setebal itu terhimpun 127.036 lema dan makna, tentu saja itu semua sudah mencakup antonim beserta sinonimnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun