Mohon tunggu...
Afandri Adya
Afandri Adya Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Afandri Adya, penulis lepas yang juga aktif di dua organisasi nirlaba : SCALA Institute dan SCALA Foundation

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meritokrasi Dalam Kultur Masyarakat Indonesia

5 September 2013   11:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:19 2814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Baru-baru ini, gubernur DKI Joko Widodo melakukan lelang jabatan dalam penempatan kepala camat dan lurah di seluruh Jakarta. Sontak kebijakan itu membuat geger puluhan camat dan lurah yang selama ini sudah enjoy menduduki kursi tersebut. Meski banyak diprotes -- terutama oleh pejabat yang biasa memperoleh upeti dari para warga, tindakan Jokowi itu malah didukung wakil gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Basuki atau akrab yang disapa Ahok, dalam keterangannya menyatakan bahwa ia dan Jokowi akan terus menerapkan merit system dalam pengisian jabatan-jabatan publik.

Entah apa kata yang cocok dalam Bahasa Indonesia untuk mengartikan “merit system”. Mungkin “sistem kepantasan”? Merit system atau meritokrasi adalah sebuah sistem yang menekankan kepada kepantasan seseorang untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu dalam sebuah organisasi. Kepantasan diartikan sebagai kemampuan per se. Tanpa memandang latar belakang etnis, agama, afiliasi politik, atau status sosial mereka. Di negara-negara maju, merit system telah diterapkan sejak ratusan tahun lampau. Malah di dunia Barat, meritokrasi menjadi salah satu kunci keunggulan mereka dibandingkan peradaban lainnya di dunia.

Amerika Serikat misalnya, sejak 1883 telah mereformasi undang-undang birokrasinya dengan menggunakan sistem kepantasan. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa birokrat Amerika haruslah orang yang memiliki kapabilitas dan kepandaian sesuai dengan posisi yang didudukinya. Di Australia, merit system didefinisikan secara lebih luas. Jika di Amerika latar belakang pendidikan memegang peranan untuk menduduki posisi tertentu, maka di Australia hal semacam itu tak terlalu dipertimbangkan. Sehingga di negeri kangguru, seseorang yang memiliki latar belakang sarjana hukum bisa menduduki jabatan menteri keuangan, selama dia mampu.

Jauh sebelum masyarakat Barat menerapkan meritokrasi, Dinasti Qin dan Dinasti Han telah terlebih dahulu mengaplikasikannya. Meritokrasi di China ketika itu, terutama untuk menjaga stabilitas negara yang terdiri dari bermacam-macam etnis. Pada masa kejayaan Dinasti Utsmani, merit system berjalan sebagaimana yang kita lihat di dunia Barat sekarang ini. Wazir, ulama, kadi, dan tentara, dipilih berdasarkan yang terbaik. Di masa itu tak heran jika melihat anak-anak Kristen dari Balkan, menjadi serdadu atau komandan militer Utsmani dalam penaklukan Eropa. Di Jepang, meritokrasi setidaknya telah berlangsung sejak Restorasi Meiji. Meritokrasi di negeri matahari terbit, bermula dari sistem pendidikannya yang memberikan kesempatan kepada semua orang untuk duduk di bangku sekolah. Murid-murid yang pandai, kemudian akan memperoleh beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan diberikannya akses pendidikan, bangsa Jepang memiliki modal yang sama untuk bertarung dan memenangkan kompetisi. Selanjutnya ketika mereka menjadi politisi dan birokrat, hanya orang-orang berkompeten-lah yang bisa menempati posisi-posisi kunci.

 

***

Dalam lanskap perpolitikan Indonesia, setidaknya republik ini pernah dipimpin oleh perdana menteri yang menerapkan zaken cabinet. Dia adalah Ir. Juanda, yang mengangkat menteri-menterinya berdasarkan keahlian mereka. Sebelum Juanda, Kabinet Sjahrir juga menerapkan sistem meritokrasi. Ketika itu, semua pos kementerian diisi orang-orang hebat dari berbagai latar belakang. Selain Sutan Sjahrir yang menjadi perdana menteri, dalam kabinet duduk pula Agus Salim, Natsir, Amir Sjarifuddin, Mohammad Roem, dan Johanes Leimena. Meski telah menerapkan merit system, namun kabinet ini hanya bertahan kurang dari dua tahun.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, pemerintahan Indonesia benar-benar tenggelam. Kabinet hanya diisi oleh orang-orang yang mau mendukung ideologi Nasakom. Politisi dan teknokrat yang anti-komunis, disingkirkan Soekarno. Bahkan beberapa orang hebat harus dibui dan mati dalam tahanan. Masuk ke masa Orde Baru, politik Indonesia agak membaik. Para teknokrat dan ekonom lulusan Barat, banyak direkrut oleh Soeharto. Mereka yang dikenal sebagai “Mafia Barkeley”, menjadi pilar utama kebangkitan ekonomi Indonesia. Orde Baru pada mulanya menerapkan sistem meritokrasi secara wajar. Namun setelah 10 tahun memimpin, Soeharto mulai memilih anggota kabinet berdasarkan kedekatan personal. Ketika itu, jabatan menteri banyak diisi oleh Angkatan Darat dan politisi Golkar. Pada Kabinet Pembangunan VII, Soeharto benar-benar kebablasan. Ia menunjuk putrinya Siti Hardijanti Rukmana sebagai Menteri Sosial serta Bob Hasan sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Meski keduanya tidak memiliki kompetensi, namun sang penguasa tetap memaksakan kehendaknya. Dari sinilah kemudian Reformasi 1998 bergulir, yang salah satu tuntutannya mengharamkan praktek-praktek nepotisme.

Setelah Reformasi, ternyata meritokrasi belum benar-benar diterapkan. Pada masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid, banyak menteri yang dipilih dari kalangan Nahdliyin -- organisasi massa yang menjadi basis pendukung Gus Dur. Megawati yang menjabat setelah Gus Dur, setali tiga uang dengan pendahulunya. Sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono, hanya menjalankan meritokrasi setengah-setengah. Yudhoyono hanya menerapkan sistem kepantasan pada menteri-menteri urusan teknis, seperti menteri keuangan, menteri dalam negeri, menteri luar negeri, dan menteri perdagangan. Untuk jabatan-jabatan non-teknis, ia banyak menyerahkan kepada para politisi yang terkadang kurang kredibel. Tak mampunya Yudhoyono menerapkan merit system, terutama karena kegalauan beliau terhadap tekanan partai politik di parlemen.

Nihilnya meritokrasi pada sistem pemerintahan Indonesia, dikarenakan gagalnya partai politik melahirkan tokoh-tokoh yang mumpuni. Salah satu penyebabnya adalah format partai politik yang menyandarkan eksistensinya kepada figur tertentu. Sehingga orang-orang yang duduk di kepengurusan partai, banyak yang dipilih berdasarkan kedekatan dengan sang figur, bukan karena ide atau prestasi yang dihasilkan. Dengan cara seperti ini, alih-alih ingin menumbuhkan negarawan terpandang, partai malah menjadi tempat pembiakan politik dinasti. Seperti yang terjadi belakangan ini, dimana banyak anggota parlemen, gubernur, walikota dan bupati, yang berasal dari keluarga tertentu.

Untuk mengubah sistem patronase yang berlaku selama ini, partai-partai tentunya harus menjunjung tinggi budaya demokrasi. Dewan Pembina atau Ketua Umum yang biasanya menjadi patron, tak seharusnya mencalonkan diri sebagai pemimpin nasional. Mereka bisa berperan sebagai seorang komposer atau king maker, yang mengatur arah haluan partai. Cara lainnya adalah dengan mengadakan audisi terbuka, dalam menentukan calon anggota parlemen atau calon presiden/wakil presiden.

Partai Golkar misalnya, pernah melakukan konvensi pada tahun 2004 untuk memilih calon presiden. Meski pesertanya hanya datang dari kalangan internal, namun proses penjaringan tersebut telah menyiratkan sikap Golkar yang pro-meritokrasi. Dari hasil konvensi, Jenderal Wiranto keluar sebagai pemenang mengalahkan ketua umum Akbar Tanjung. Namun terpilihnya Wiranto sebagai calon presiden dari Golkar, tak sepenuhnya didukung kader-kader partai. Jusuf Kalla, politisi Golkar lainnya, malah mencalonkan diri menjadi wakil presiden bersama Partai Demokrat. Ia kemudian terpilih sebagai pemimpin nasional, mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun