Keringat mengucur deras dari dahi. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya aku berjumpa dengannya.
Matanya terbuka dan dokter berseru, "Selamat Mbak, bayinya sehat!".Â
Hampir menangis aku saat melihat tubuh mungilnya. Ia menggeliat manja, memancarkan tangisan yang terdengar bagai alunan nada.Â
Pasca operasi, rasanya aku ingin tidur selama berjam-jam. Entah berapa hari yang kubutuhkan untuk istirahat.
Tapi mata ini batal terpejam. Kulihat Mas Bobby menyunggingkan senyuman. Berterimakasih karena aku telah bersusah payah mengandung dan melahirkan anak kami.
Sementara di luar sana ayah dan ibuku sudah diserbu wartawan. Berondongan pertanyaan meluncur dari mulut mereka
"Pak, cucunya laki laki atau perempuan?"
"Siapa namanya?"
bla bla bla..
Pertanyaan yang mendengung seperti lebah. Bagi ayah, ini sudah biasa. Bagiku?
Hmm, para wartawan itu masih sopan. Bagaimana kalau kami melakukan wawancara secara live di media sosial? Kemungkinannya ada beberapa:Â
1. Ada yang mengucap selamat
2. Ada yang menghitung masa kehamilanku (rajin bener yee)
3. Ada yang mengiklankan produknya
Yah, lebih baik aku baca iklan produk daripada baca komentar sepedas cabe. Tapi aku belajar dari ayah, tak usahlah mereka dipedulikan..
Karena jika aku  mematikan kolom komentar, nanti malah dibilang sombong.
Mungkin kau membayangkan kehidupan anak presiden. Bisa menikmati fasilitas ini dan itu. Identik dengan kemewahan? Mewah dan sederhana itu relatif, dear.Â
Aku melahirkan di sini karena cocok dengan pelayanannya. Bukan karena harganya.
Kalau aku melahirkan di Rumah Sakit biasa, malah dibilang pencitraan.Â
Kaupikir enak jadi anak presiden?