Mohon tunggu...
AD Tuanku Mudo
AD Tuanku Mudo Mohon Tunggu... Penulis - aktivis sosial kemasyarakatan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lawan Guru dengan Ilmu, Lawan Pandeka Lewat Silek

11 September 2020   17:44 Diperbarui: 11 September 2020   17:48 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halaqah atau pengajian umum di pesantren dilakukan dengan cara santri duduk berbaris menghadap guru. Pola ini membuat guru dengan mudahnya mengembangkan daya kritis santri. (foto dok wag alumni ppmu lubuak pandan)

Ungkapan melawan ulama dengan kajinya, melawan pandeka dengan sileknya adalah gambaran bagaimana mengembangkan ilmu dalam kitab kuning dengan pola kritis. Apalagi fiqh, kajian hukum Islam banyak mengkaji perbedaan ulama dalam satu persoalan yang membutuhkan daya kritis dari santri ketika berhadapan dengan gurunya.

Buchari Rauf, santri tahun 1960-an di Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan merasakan betapa Buya Tuanku Shaliah dalam menguji kemampuan santrinya bisa kritis, menjadi kecanduan tersendiri. 

"Setiap kali mengaji, tak ada yang tidak berdebat. Selalu dikritisi. Kalau tidak kita santri yang memulai, Buya dengan cepat melontarkan masalah. Kenapa kok itu. Kenapa ndak ini maknanya, dan lain sebagainya," cerita mendiang Buchari Rauf pertengahan 2007 silam.

Kebanyakan ulama, apalagi ulama yang memiliki banyak santri, pengikut, dan jemaah, sangat sulit menerima masukan dari pengikutnya. Akan berakibat timbulnya masalah negatif, suatu perlawanan yang dilakukan seorang murid terhadap gurunya. 

Tetapi bagi Buya malah sebaliknya. Dia mau menerima masukan, kritikan dari seorang santrinya. Malah kesanya, beliau dalam menguji kemampuan seorang santri sengaja mengembangkan pola pendidikan yang menyebabkan seseorang itu harus berani beda pendapat dengan guru.

Sebagai seorang santri, Buchari Rauf termasuk satu di antara santrinya yang tergolong berani melakukan "perlawanan" secara positif. "Pada suatu kali saya pernah melakukan Shalat Jumat yang jemaahnya hanya 12 orang. Padahal menurut kaji fiqh, terutama fiqh Mazhab Syafi'i yang notabene menjadi bidang studi utama di lembaga pesantren salafiyah, jelas-jelas tidak membolehkan hal yang seperti itu. Ketika telah selesai melakukan hal itu, dengan tidak mengulang Shalat Zuhur, ternyata Buya mengetahui perbuatan yang saya lakukan itu," ujarnya.

"Dimana kamu dapatkan pengajian yang membolehkan Shalat Jumat diikuti oleh jemaah yang tidak cukup satu mukim (40 jemaah)," kata Buya. Dengan tegas saya katakan, "coba Buya ulangi membaca kembali Tafsir Jalalaein di Surat Jumat. Di sana kita temukan, suatu ketika Nabi Muhammad Saw pernah melakukan Shalat Jumat dengan jemaah yang tidak cukup 40 orang, lantaran jemaah pada lari keluar masjid, karena memelihara diri dari kejaran musuh".

Nah, persoalan demikian tidak menjadi hukuman yang baku dalam melaksanakan Shalat Jumat. Setelah terjadi diskusi tersebut, akhirnya beliau mengakui serta menerima apa yang telah diuraikan Buchari. Inilah suatu prinsip yang menyebabkan Buchari sering berdiskusi, sekalipun diskusi banyak membahas perbedaannya dengan Buya. Saat itu dari raut wajah Buya tersirat, bahwa beliau bahagia melihat santrinya kritis dalam berbagai hal, terkait masalah pengajian.

Apa yang telah menjadi prinsip bagi beliau dalam mengembangkan pendidikan, itulah yang selalu mewarnai perjalanan Buchari dalam mengembangkan ilmu semasa dia menjadi dosen di IAIN Imam Bonjol Padang. Begitu juga ketika dia menjadi anggota DPRD Padang Pariaman dan DPRD Sumatera Barat, pemikiran-pemikiran seperti itulah yang menjadi pegangannya dalam melakoni berbagai aktivitas dalam hidup ini.

"Dengan seringnya perdebatan panjang antara saya dengan Buya, sampai-sampai suatu ketika perdebatan tersebut memakai taruhan. Kalau suatu jawaban yang saya tawarkan ternyata tidak ditemukan dalam kajian kitab kuning, saya kalah dalam perdebatan, dan selanjutnya berhak mengeluarkan uang yang telah disepakati untuk taruhan. Tetapi kalau jawaban tersebut memang benar, beliau berani mengeluarkan uang untuk saya, sebagai bayaran yang harus beliau keluarkan akibat dari kekalahan dalam perdebatan tersebut. Itulah keberanian, sekaligus kegemaran beliau dalam mencari sebuah kebenaran," sebut Buchari.

Dengan cara itu pula keakraban seorang murid dengan guru yang dibangun bersama Buya. "Saya termasuk santri yang berani tampil beda dari sekian banyak santri yang mondok dulunya. Baik cara belajar, maupun cara tingkah laku selama belajar," ulas Buchari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun