Mohon tunggu...
Adryan Samsu
Adryan Samsu Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Adryan Samsu: Genealogi Politik yang Selalu Berubah dari Masa Ke Masa

26 Agustus 2016   20:58 Diperbarui: 27 Oktober 2016   11:25 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kondisi nyaris pailit kepemimpinan yang kita hadapi sekarang berakar pada penyalahgunaan kekuasaan yang berlangsung lama, mulai dari era demokrasi terpimpin yang dilakukan Bung Karno plus TNI dan kian buruk di era Orde Baru di bawah Pak Harto plus TNI. Penyalahgunaan kekuasaan ini berdampak langsung terhadap kemandulan demokrasi sebagai rahim mahabesar dan mahaluas dari penyemaian benih-benih pemimpin nasional. 

Indonesia pernah menorehkan prestasi dalam berdemokrasi. Pada tahun 1950-an Indonesia memberikan contoh terbaik tentang demokrasi kepada dunia. Pemilu 1955 merupakan pemilu paling terpuji di seluruh dunia. Meski kampanyenya panjang dan menegangkan, tidak seorang pun yang jadi korban. Bandingkan dengan korban-korban yang jatuh pada pemilu pertama Orde Baru maupun pemilu pertama Reformasi. 

Pada Pemilu 1955 yang terpilih menjadi wakil rakyat adalah mereka yang sungguh-sungguh kompeten, cerdas, dan cemerlang dari setiap daerah di seluruh Tanah Air. Karena proses demokrasinya bagus, yang naik menjadi pemimpin adalah orang- orang berkualitas yang memang pantas menjadi pemimpin. Pada masa Orde Baru hal sebaliknya yang terjadi. Selama 30 tahun kekuasaannya, Soeharto menciptakan mesin politik Orde Baru yang ditujukan untuk membuatnya tetap berkuasa.

Ia membangun dukungan masif partai ciptaan negara (Golkar), mengontrol seluruh sumber daya ekonomi dan bertindak sebagai "pembagi kekayaan" pada orang atau golongan di bawah patronasenya, termasuk pengusaha. Selain skenario mempertahankan kekuasaan, tak ada skenario apa pun yang dibuat Soeharto untuk menumbuhkan benih-benih kepemimpinan. Yang terjadi, Soeharto menjalankan sistem otoritarian untuk mematikan bibit-bibit pemimpin yang tersebar di Tanah Air. Partai-partai politik dikebiri hingga kehilangan daya untuk berkontribusi membangun demokrasi. 

Ketika Soeharto tiba-tiba lengser setelah 30 tahun berkuasa, terjadi kevakuman pemimpin. Tak ayal, banyak orang dari berbagai kalangan berebut untuk jadi pemimpin, termasuk para pengusaha yang "disusui" Soeharto. Bagi para pengusaha ini, sistem politik demokrasi yang menggantikan sistem otoriter merupakan anugerah besar. Mereka eksodus ke dunia politik dan masuk ke jantung kekuasaan negara dengan watak instrumental yang mereka bawa sejak masa Orde Baru tetap melekat di dalam tingkah laku politiknya. 

Sungguh, inilah kejahatan terburuk yang dilakukan Soeharto pada bangsanya, yaitu mematikan rahim-rahim persemaian benih-benih pemimpin. Padahal, pemimpin nasional tidaklah muncul secara tiba-tiba atau dalam waktu 1-3 tahun. Ia muncul dalam waktu setidaknya 10-15 tahun, dimulai dari pengamatan orang-orang lokal, dari hari ke hari dan tahun ke tahun oleh masyarakat di sekitarnya. Mulai dari pemilihan tingkat terkecil sampai terbesar.

Bertahun-tahun calon pemimpin diamati karakter, perilaku, kebijakannya dan diuji serta diasah oleh peristiwa-peristiwa nyata di segenap sisi kehidupan masyarakat. Apakah benar-benar jujur, amanah, tak pernah mengkhianati orang-orang di sekitarnya, menjunjung tinggi cita-cita bangsanya. Semua tak terjadi karena Soeharto menutup peluang munculnya para calon pemimpin. 

Meskipun format politik Orde Baru sudah lama kedaluwarsa, Soeharto tetap mempertahankannya. Ketika Orde Baru runtuh, runtuh pula segala sesuatu yang mengatur dan menata negara ini. Sementara tak ada skenario yang dipersiapkan untuk menjalankan negara setelah Orde Baru runtuh. Ini menciptakan kondisi salah urus/korupsi dan penumpukan berbagai hal buruk yang menyebarkan irasionalitas, kerancuan dan kebingungan sosial politik dan sosial budaya ke dalam mental bangsa, dan membuat berbagai solusi untuk mengatasi permasalahan besar bangsa setelah runtuhnya Orde Baru menjadi bersifat simalakama. 

Dalam hal otonomi daerah (otda), misalnya, ketika Orde Baru runtuh, kita berpikir bahwa keruntuhan merupakan momen tepat menerapkan otda. Padahal, otda seharusnya sudah disiapkan dan dilaksanakan jauh sebelum Orde Baru runtuh. Kini otda menjadi simalakama. Bagaimana bisa otda kalau seluruh perangkat hukum di negara ini menjadi tak berdaya dan alat-alat negara yang mestinya menertibkan juga tak berdaya.

Meskipun rezim Orde Baru telah berganti dengan rezim Reformasi, sesungguhnya tidak ada pergantian rezim secara utuh. Orde Baru memang runtuh, tetapi rezim negara Orde Baru masih menjadi mesin negara reformasi, juga pejabat dan pemimpin-pemimpinnya. Yang berganti hanyalah aturannya. Artinya, motif-motif buruk yang berasal dari sistem politik Orde Baru dimasukkan mentah-mentah ke dalam sistem negara reformasi tanpa ada koreksi, tanpa ada hukuman apa pun terhadap yang salah dan tidak ada pembenaran pada yang benar. 

Inilah yang menciptakan kekaburan antara yang benar dan salah pada saat ini. Sebab, tidak ada landasan tentang yang benar dan yang salah. Koruptor besar bisa tersenyum terus di depan kamera dan tindakan ketua DPR meminta saham PT Freeport diperdebatkan etis tidaknya. Motif buruk "semua bisa diatur" dalam bentuk "adhokisasi" menjamur hampir di semua keputusan politik dan undang-undang. Itu semua berdampak pada menipisnya kepercayaan, bukan hanya antarsesama kelompok bangsa, melainkan juga kepada hampir segala bentuk otoritas. Yang terburuk adalah hilangnya kepercayaan pada ideal-ideal tertinggi bangsa sendiri, yaitu Pancasila, dan memudarnya kesadaran dan kecintaan pada bangsa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun