Mohon tunggu...
Faqih Ashri
Faqih Ashri Mohon Tunggu... Teknisi - The Revolutionist

Bima City, 06-02-1990 Menulis untuk mengetahui rahasia tak tertulis, mendamba setiap pengalaman baru yang tak terlupakan.. City Planner, Content Writer, YouTuber. www.faqihashri.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Clara dari Kaki Tambora (Chapter 2)

10 April 2016   17:49 Diperbarui: 10 April 2016   19:29 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ivan sedang benar-benar melamun saat suara keras musik dari sound system di luar jalan raya sana menghentak pendengarannya. Rumahnya yang terletak tepat di bibir jalan utama kota membuat suasana disini selalu ramai dengan suara kendaraan yang sedang berlalu-lalang. Bukan hanya kendaraan, tukang bakso keliling, penjaja jasa sol sepatu, penjual kue putu, pengamen, pengemis, gelandangan, pendemo, karnaval, jalan sehat, dan segala kompleksitas lalu lintas lainnya.

Kali ini yang membuat heboh di depan rumahnya adalah sekelompok manusia yang berada diatas mobil pick-up, penuh sesak hingga ada yang nyaris jatuh terjerembab ke jalan. Mereka sukses menarik perhatian para pengguna jalan maupun masyarakat yang berada dalam rumah. Penampilan mereka gabungan antara hedon dan norak, menggunakan riasan wajah yang serba menor, rambut dipirang, gigi dibehel, memakai hot pants, berbaju kerah rendah yang menampakkan belahan dada. Kesan pertama bagi yang melihat mereka bisa jadi amat beragam; ada yang geli, ada yang amat bernafsu, bahkan ada juga yang mual-mual. Kelompok ini lebih mirip orkes jalanan dari pada kumpulan pendulang solidaritas. Masing-masing dari mereka memegang alat musik seadanya. Tutup botol minuman penambah tenaga yang telah digepengkan biasanya dikumpulkan kemudian beberapa dipaku bersamaan pada sebuah kayu ukuran seperempat meter. Alat musik paling klasik yang pernah ada dalam dunia para pengamen.

Kelompok ini kemudian berkeliling kota dengan maksud mendulang dukungan untuk salah satu perwakilan yang berlaga di kontes dangdut ibukota. Gaya mereka khas. Gabungan dari jati diri seorang yang pernah maskulin dengan jati diri baru yang menuntut untuk tampil feminim. Tepat. Mereka tetap bangga dengan komunitas mereka, sangat percaya diri, tak mempan dengan ribuan cibiran. Prinsip yang dipegang teguh oleh mereka adalah, selama tidak merugikan orang lain pantang untuk surut ke belakang. Terhitung sudah 2 kecamatan yang mereka lalui untuk meraup dukungan masyarakat. Goyang kayang, goyang itik, goyang gergaji, goyang patah-patah, goyang ngebor, goyang bang jali; semua dijajal oleh mereka tanpa cela. Pos pemberhentian mereka biasanya di perempatan jalan utama. Disana mereka pamer kemolekan tubuh, eksotisme goyangan, sekaligus ber-orasi.

Ivan menggerutu di dalam ruang kamarnya. Sama sekali tak menarik baginya. Pikirannya tentang sesuatu yang lebih penting menunda rasa penasarannya untuk menengok keluar. Pekerjaan. Sudah terlalu lama dirinya menganggur tanpa pekerjaan tetap. Sudah cukup untuk terus menghamburkan uang orang tua, berhenti untuk terus menjadi benalu pada ranting-ranting pohon keluarga. Biar bagaimana pun dia lelaki. Tugas utamanya hingga akhir hayat kelak adalah menafkahi keluarga, menjadi atap sekaligus pondasi bagi keberlanjutan rumah tangga. Kekasihnya begitu sabar menerima dia apa adanya. Tidak pernah menuntut harus secepatnya bekerja, sangat jarang meminta sesuatu, namun selalu menguatkan saat moralnya mulai rapuh. Seraya menatap senyum indah berlesung pipi pada layar smartphone miliknya, Ivan mengelus perlahan wajah semu itu dengan lembut. Di bawah foto itu terukir indah tulisan "Clara & Ivan".

Apa lagi yang lebih indah dari sebuah sifat sabar? Kedua orang tua Clara yang begitu ramah saat menyambutnya di rumah mereka. Keduanya yang tetap tulus memberikan senyuman dan pelukan walau mereka mengerti Ivan sudah lama belum memiliki pekerjaan mapan. Awalnya Ivan selalu malu untuk bertamu ke rumah Clara. Berkat kelembutan Clara dalam meyakinkan Ivan, akhirnya dia mau juga. Rasionalisasi dari Clara begitu dewasa. Lelaki impian bukan hanya mereka yang telah memiliki segalanya dalam satu waktu, tapi mereka yang punya visi ke depan yang jelas dan tetap berusaha. Sebab tidak akan pernah ada usaha yang sia-sia bagi insan yang malu untuk berpangku tangan.

Ivan selalu tak kuasa menahan rasa haru saat membayangkan apa yang telah diberikan oleh keluarga Clara. Ini kado terindah dalam hidupnya. Tentu dia harus membalas semua kepercayaan itu dengan lekas bekerja dan melamar Clara. "Hei bung! coba tengok dirimu, usia sudah hampir menginjak kepala tiga, tapi belum juga berumah tangga. Apa harus menunggu kerjaan dulu baru ingin menikah? Apa kamu nggak percaya firman Tuhan tentang rezeki setelah nikah?". Bisikan halus seperti itu selalu bergema dalam lubuk terdalam di hati kecilnya. Malu, takut, dan sedih beradu mempengaruhi suasana hatinya. Entah dia lebih malu kepada siapa; diri sendiri, Clara, orang tuanya, atau pada Sang Maha Pencipta.

Proses hidup ini jelas semakin menghimpit semangatnya. Ivan kemudian meraih smartphone-nya, dia tahu siapa yang harus dihubunginya saat ini. "Ada apa abang? Nada suaranya kok lemas gitu?". Terdengar suara lembut dari seberang telepon. "Clara, apa gak sebaiknya kamu nyari pacar baru aja? Abang udah terlanjur malu. Semuanya begitu berat". "Bang, tolong gak usah ajarin Clara untuk membuat keputusan bodoh deh! Cinta itu bukan mainan yang bisa asal dilepas gitu aja saat sudah mulai usang. Abang itu lebih dewasa dari Clara, harusnya punya semangat yang lebih." Suara Clara berubah agak melengking. "Pekerjaan bisa dicari, tidak ada batasan umur. Clara dan orang tua gak memaksa harus jadi pegawai atau karyawan dulu kok baru boleh melamar. Kalau memang serius ayok kita nikah. Tapi apa selama ini? Hanya Clara yang serius, cuma Clara yang mengenalkan Abang ke orang tua, sebaliknya Abang selalu keberatan jika Clara minta dikenalkan kepada kedua orang tuanya Abang".

Ekspresi datar dan hening selanjutnya menghiasi suasana telepon kali ini. Keduanya, Clara dan Ivan, saling memegang Handphone namun tidak bersuara. Saling menerawang jauh pada dinding kamar masing-masing. Seakan-akan masa depan mereka bisa terbaca pada tembok putih rumah mereka. Keduanya ingin tetap yakin menjalani ini. Keyakinan hanya tinggal kenangan jika tidak segera dibuktikan..

 

Bersambung... (Chapter 3)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun