Mohon tunggu...
Faqih Ashri
Faqih Ashri Mohon Tunggu... Teknisi - The Revolutionist

Bima City, 06-02-1990 Menulis untuk mengetahui rahasia tak tertulis, mendamba setiap pengalaman baru yang tak terlupakan.. City Planner, Content Writer, YouTuber. www.faqihashri.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Be Positif Thinking, Hidup Bukan Sistem Perdagangan!

20 Maret 2014   13:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:43 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saya tertarik menuliskan kandungan makna dari salah satu bab buku karangan S.P. Sharma yang berjudul Succes Through Positif Thinking. Kehidupan masa kini sudah dinilai sebagai transaksi jual beli. Kita semua merasa bertindak sebagai pedagang yang menjual beraneka ragam barang demi mendapatkan keuntungan. Tentu saja kita sebagai penjual tidak ingin rugi, sesuai dengan prinsip ekonomi; memproduksi dengan biaya serendah-rendahnya untuk mendapatkan laba yang setinggi-tingginya. Transaksi di dalam lingkungan pasar memungkinkan kegiatan permintaan dan  penawaran, dimana penjual terus ngotot dengan harga yang lebih tinggi dari harga pokok, sedangkan pembeli harus pandai-pandai dalam mengurangi harga hingga menyentuh titik terendah. Penjual tidak akan bisa meneruskan serta memutar ekonomi usahanya jika terus mengalami kerugian. Anehnya, karena semua itu sudah menjadi semacam fakta dunia perdagangan, maka fenomena itu berlangsung tanpa kata-kata, berjalan  sesuai alurnya sendiri. Jarang penjual yang sekonyong-konyong mengungkapkan harga asli (harga pabrik) dari barang yang dijualnya. Walaupun mungkin dia mengungkapkan, itu hanya bagian dari strategi menarik hati pelanggan.

Begitulah kira-kira hidup yang sedang kita jalani. Kita membiasakan sifat selalu mau mendapat untung (laba) itu di dalam kehidupan sehari-hari. Otak yang kita punya selalu dipacu untuk memikirkan dan menghitung keuntungan. Suatu waktu kita mencintai seseorang untuk mendapatkan balasan cinta pula. Suatu waktu kita memberikan hadiah kepada seseorang dengan mengumpulkan harapan agar suatu waktu kita yang diberikan hadiah. Suatu waktu kita bertutur kata sopan agar saat orang lain berbicara juga menaruh penghormatan kepada diri kita. Bisa dirasakan sendiri, ketika dua sejoli sedang kasmaran, maka di awal hubungan sangat manis sekali untuk berkorban tanpa mempermasalahkan. Namun ketika sudah beberapa bulan hubungan, maka muncullah perasaan bosan yang timbul karena masalah sepele. Misalnya saja karena yang traktir makan selalu pihak cewek, yang nelpon duluan selalu pihak cowok, yang memberikan surprise di hari ulang tahun selalu hasil inisiatif dari pihak cowok. Semua berlangsung begitu saja, sehingga tidak disadari bahwasanya hukum perdagangan tadi sedang berlangsung. Kedua belah pihak saling menagih untung, tidak mau terus-terusan menanggung kerugian. Inilah yang menjelma menjadi sebuah lingkaran setan yang tiada pernah terputus di kehidupan masa kini!

Pada era yang semakin menjadikan ekonomi sebagai Tuhan saat ini, nampaknya sangat sulit untuk sekedar berharap memutus perlahan lingkaran setan yang sedang melilit tersebut. Harun Yahya pernah mengatakan bahwa hidup kita adalah kumpulan dari persepsi dalam jumlah yang tak terhitung. Diri kita, lingkungan kita, apa yang kita lihat, apa yang kita dengar; semua memproduksi persepsi. Kenyataan itu membuat kita sulit hidup tanpa memperhatikan persepsi. Misalnya saja kita sedang berdagang, kemudian kita ingin menerapkan sistem perdagangan baru yang berbeda dengan cara-cara lama, maka kita akan lebih dahulu takut dengan apa yang akan dikatakan orang, kita akan merasa takut akan menanggung kerugian dari sistem yang tidak seperti biasanya. Contoh lain, suatu saat kita dikondisikan oleh persepsi manusia bahwa cowok yang putih, tinggi, berkemeja rapi, badan kekar, itu adalah bentuk pria idaman kaum hawa yang cantik. Oleh karena persepsi itu, maka setiap pria akan merasa dirinya jelek dan tidak percaya diri jika tidak memiliki salah satu sifat morfologi tubuh seperti itu. Padahal sudah jelas bahwa dalam pandangan Sang Pencipta, kualitas idaman seorang manusia, siapa pun itu, tergantung hanya pada amalan dan kebersihan hatinya. Begitulah kejamnya kerja persepsi manusia, dengan jutaan contohnya di kenyataan sehari-hari.

Kita bisa tengok satu per-satu fakta yang terjadi. Para caleg dan capres yang berjuang di tahun politik saat ini hampir pasti tidak akan bisa menang jika tidak menggelontorkan uang hingga jumlah sembilan digit. Politik uang dijadikan budaya yang tengah mengakar kuat di masyarakat. Masyarakat sebagai calon pemilih dikondisikan sedemikan rupa sehingga amat apatis ketika disuruh memilih tanpa iming-iming uang. Masyarakat zaman sekarang dinilai pintar ketika bisa mengumpulkan uang yang banyak dari para calon pemimpin mereka. Masyarakat menilai bahwa toh hanya di momen pesta demokrasi inilah wajah para calon pemimpin itu nampak batang hidungnya, nanti ketika sudah terpilih mereka tidak akan pernah lagi turun melihat penderitaan masyarakat, maka sudah sewajarnya masyarakat meminta uang kepada mereka untuk satu kali ini saja. Toh, nanti mereka juga akan cepat balik modal dengan melakukan korupsi di gedung kantornya. Kita tengok di bidang lain. Biaya pendidikan semakin mahal, padahal pemerintah berkomitmen untuk mengalokasikan 20% APBN untuk bidang pendidikan. Dua puluh persen dari APBN (20% x 1800 T) itu tidak sedikit, Bung! Namun kemana tempat mengalirnya dana alokasi pendidikan itu? Diperkirakan tiap tahun sekitar 35% APBN bocor/lenyap/menguap entah kemana. Alokasi pendidikan yang sedemikian besar saja masih membentuk oknum-oknum pendidik yang makin gila terhadap uang. Biaya-biaya di sekolah makin beragam aja, ada uang ektrakurikuler, uang hibah, uang ikatan orang tua, uang baju olahraga, uang kesenian, dan masih banyak lagi. Para pendidik sudah banyak yang tidak tulus mengabdi, semua ditakar dengan ekonomi. Zaman sekarang kebanyakan guru sudah tidak ingin ada yang jalan kaki, semua sudah ingin naik motor dan mobil. Itulah yang terjadi! Lantas langkah apa yang bisa memotong rantai setan itu?

Pemecahan yang paling bijak tentu dengan tidak lagi mengaharap imbalan. Apakah itu sebuah solusi yang mudah untuk dilaksanakan? Itu tergantung pada siapa yang menilai dan rasa optimis kita. Pada awalnya kita pasti langsung berpikir bahwa hukum perdagangan akan kita hentikan, apa yang akan dikatakan orang nanti? Apa yang dikatakan orang ketika melihat kita berdagang dengan tidak mengharapkan keuntungan atau pun balik modal? Tentu itu sebuah hukum perdagangan yang ganjil. Namun itulah yang mesti dilakukan untuk memutus rantai setan yang melilit tadi. Kita tidak boleh terus menganggap diri kita sebagai pedagang, kita perlu untuk menganggap bahwa kita adalah seorang yang memiliki sesuatu dalam jumlah berlebih. Maksudnya bagaiamana? Misalnya saja kita anggap diri kita sebagai pemilik kebun apel. Kebun kita selalu berbuah lebat setiap hari, sehingga kita punya buah apel yang selalu melebihi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kita akan rela membagikan apel milik kita kepada tetangga atau pun kerabat yang membutuhkan tanpa mengharapkan imbalan, toh kita memang memilikinya dalam jumlah berlebih. Begitu menyenangkan jika membayangkan dunia yang manusia-manusianya selalu membatasi diri hanya pada apa yang dibutuhkan, dan kelebihannya akan dibagi kepada orang lain secara tulus. Indah bukan? Inilah kiranya yang membuat analogi tentang koperasi menjadi sangat masuk akal. Kita tidak harus terus berdagang dengan sistem konvensional yang terus menekankan pada keuntungan, namun perlu menerapkan sistem koperasi. Koperasi tidak memperjuangkan keuntungan hidupnya sendiri, sebab dalam koperasi pihak yang menjual, membeli, dan menerima laba; semua dilakukan oleh anggotanya sendiri. Arti analogi ini apa? Jadi, kita mensejahterakan diri sendiri dan orang lain dalam tatanan keanggotan hidup yang berbasis kekeluargaan. Tidak ada keegoisan, tidak ada keuntungan mutlak, tidak ada kehidupan dalam kesepian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun